Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Aku tak pantas menerima bunga itu

Purnomo's picture

         

             Bulan Agustus 2011 aku diajak orang tua Monik ke Malang menghadiri acara wisudanya. Melihat ia duduk di antara wisudawan aku berusaha menahan air mataku. Ketika akan mengirim uang kepadanya untuk pertama kalinya aku berkata kepada ayahnya, “Tidak ada perjanjian yang mengikat antara aku dan anakmu. Ada uang aku kirim, tak ada uang wassalam.”

           Lebih mudah bagiku mencari orang untuk memberiku 500 ribu –  tetapi untuk satu kali saja, tidak untuk berulang kali  –  daripada mendapatkan orang yang mau memberiku 100 ribu setiap bulan.       Saat itu aku sendiri tidak yakin apakah bisa mengumpulkan uang dari teman-temanku sampai dia lulus. Hampir 15 orang aku libatkan dalam penyantunan untuknya selama hampir 3 tahun. Rasanya sulit memercayai akhirnya aku bisa melihatnya diwisuda.

           Ketika acara pemberian tanda terima kasih dari para wisudawan, dia berjalan turun dari panggung dengan 2 tangkai bunga di tangannya. Dia menghampiri kedua orang tuanya dan memberikan setangkai. Lalu dia menoleh berkeliling dengan setangkai di tangannya. Aku tahu dia mencari aku. Dia tidak akan menemukanku walau ayah ibunya berdiri ikut mencari. Aku sudah pindah ke ruang lain menyaksikan acara wisuda itu lewat layar lebar.  Aku tidak layak menerima bunga itu. Walau aku juga menjadi seorang dari donaturnya, Tuhanlah yang layak menerima tanda terima kasih itu. Mengapa?

           Dua tahun setelah dia menerima bantuan pertama, jumlah donasi yang terkumpul untuknya sudah mencukupi sehingga uangku tidak terpakai lagi untuknya. Lalu uangku itu aku pergunakan untuk menyantuni 5 anak di sebuah SD Kristen. Kisahnya aku tulis di SABDA Space dan respon dari beberapa blogger mencengangkan, bahkan membuat aku bingung. Aku tidak tahu mengapa mereka yang belum pernah mengenalku di dunia nyata berani-beraninya mengirimiku uang. Bukalah profil diriku di situs ini, kosong. Mereka berkirim ‘message’, “Kalau aku boleh ikutan, kirimi aku no rek kamu.”

           Ketika dia diwisuda, SD itu seolah-olah sudah berubah menjadi SD Kristen Gratis – yang di situs ini namanya aku samarkan dengan ‘SD Tabita’ - karena hampir semua siswanya bisa disantuni 100% SPP-nya. 63% dari seluruh uang yang disalurkan datang dari penduduk dunia maya. Bahkan ketika aku meninggikan lantai kelas-kelasnya agar tidak tergenang bila air rob datang dan membuatkan kamar mandi & wc, hampir seluruh biayanya yang 80 juta rupiah datang dari penghuni dunia maya. Apa ini karena kehebatanku?

           Ketika jumlah siswa di SD itu yang dulunya 105 orang menyusut dari tahun ke tahun, jumlah donasi yang datang tidak ikut susut. Karenanya kelebihannya aku pergunakan untuk membuka ‘cluster’ baru – Beasiswa Others  – untuk menyantuni beberapa orang lulusan SD ini di SMP Swasta, anak-anak anggota jemaat sebuah GKJ dekat rumah seorang penyalur santunan, penghuni Rumah Singgah Pondok Paidia Salatiga yang bersekolah di SMK Semarang. ‘Cluster’ lain kemudian menyusul, Penyantunan Guru Wiyata Bhakti yang mengajar agama Kristen di SD-SD Negeri di Semarang dan Ungaran.


           Kegiatan-kegiatan ini yang aku kisahkan di sebuah grup pesbuk mendorong anggota-anggotanya – yang di antaranya namanya masih tercatat sebagai user situs SABDA Space – untuk melakukan kegiatan serupa di kota lain. Seorang siswa SMK non-Kristen di Medan mendapat santunan selama setahun. Di Wonosari DIY 27 siswa SD Bopkri menerima santunan sejak 2 tahun yang lalu. 9 anak desa Planjan Gunung Kidul yang tinggal di asrama SMP Bopkri Wonosari sudah 1 tahun ini menerima bantuan uang lauk setiap bulan. 2 anak lulusan SMP Bopkri Wonosari yang sejak Juli tahun ini tinggal di asrama SMK Bopkri Sentolo DIY menerima uang agar setiap bulan bisa pulang kampung berkumpul dengan keluarganya.



           Di luar bidang pendidikan para blogger juga melakukan karya lain. Seorang pesbuker Jogja menggratisi gigi palsu seorang sepuh berusia  71 tahun tinggal di Semarang yang menulis keinginannya memiliki gigi palsu di surat pembaca koran Suara Merdeka. Mereka patungan membelikan tiket pesawat seorang yang terpaksa bekerja di peternakan ayam di sebuah desa Jawa Timur kembali ke Kalimantan untuk menerima gelar STh dari sekolahnya. Mereka patungan untuk membiayai pembuatan tempat tidur di sebuah panti asuhan di Semarang yang baru dibuka. Itu hanya beberapa contoh dari yang telah mereka lakukan di balik hiruk-pikuknya mereka berlaga kata di grup pesbuk itu.

          Aku hanya pencerita apa  yang dilakukan oleh para blogger situs ini, yang di antaranya tulisannya membuat tak nyaman pembacanya, yang rangkaian kata-katanya membuat orang lain merasa dilecehkan.
          Aku hanya penulis cerita.
          Aku tak layak menerima bunga.
          Monik, kepada Tuhan sajalah bunga itu bersama hidupmu layak kau persembahkan.
 
                                                    (14.08.2014)