Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Di Tepi JALAN DAENDELS (3) Between gadhuh and gadhuk

Purnomo's picture

             Di Gereja Ngombol ada 4 orang anggota jemaatnya yang menemui kami. Kami berbincang di sebuah rumah sederhana di sebelah gedung gereja. Kami bertukar informasi tentang menanam padi, jagung, semangka serta melon. Ketika pertemuan akan berakhir seorang dari mereka berkata,

            “Saya ini kalau sedang mutar-mutar desa dan melihat rumput-rumput tumbuh subur, ingin sekali turun dari motor untuk memotongnya dan membawa pulang. Tetapi untuk apa? Di rumah saya tidak punya sapi.”


              Jieeee, puitis banget bapak ini dalam mengajukan proposal lisan. Karena aku senang dengan yang puitis aku yang menanggapinya, “Tadi sudah dijelaskan kalau pinjaman modal paling banyak 5 juta rupiah. Kalau uang 5 juta bisa dapat sapi berat berapa kilo, Pak?”

            “Dapat kucing!” jawabnya sewot sehingga aku ngakak.

              Lalu aku meneruskan,

            “Ketika harga daging sapi naik tinggi, semua orang yang punya uang berpikir untuk memelihara sapi. Tetapi itu berhenti di pikiran saja karena mereka kuatir begitu sapinya sudah waktunya untuk dijual, harga daging kembali normal.”

            ”Sekarang berapa harga bawang putih di sini?” tanyaku dan aku jawab sendiri. “Paling antara 20 sampai 25 rb, padahal sebulan yang lalu di kota besar sampai 100 rb sekilo. Mengapa harga bawang naik setelah petani selesai panen dan sudah terlanjur menjual persediaannya? Karena di pelabuhan-pelabuhan ratusan kontener bawang putih import ditahan, entah oleh pedagang atau pihak pelabuhan. Ini politik dagang. Siapa yang untung? Pasti bukan petani bawang. Apakah kita yakin harga daging sapi di pasar akan tetap tinggi seperti sekarang ini 3 bulan lagi?”

              Mereka tidak menjawab.

            “Misalnya saja untuk usaha penggemukan sapi, yang paling baik modalnya 1 ekor sapi jantan berumur 6 bulan, yang harganya sekarang sekitar 12 juta rupiah. Tiga bulan kemudian sapi ini harus dijual, sudah gemuk atau masih kurus. Kalau masih kurus kita pelihara terus, biaya makin banyak. Sapi ‘kan tidak hanya makan rumput saja? Dia perlu minum vitamin, juga konsentrat dan silase. (Mereka melompong mengherani aku orang kota kok tahu persapian. Mereka tidak aku beritahu informasi itu aku dapat dari seorang teman pesbuker yang kerja di Dinas Peternakan Wonosobo dan sudah aku hafalkan biar kelihatan pintar). Kalau dia gemuk, apakah kita yakin 3 bulan nanti bisa dijual dengan keuntungan bersih paling tidak 2 juta rupiah yang berarti 15% saja? Padahal untuk menanam melon modalnya ‘hanya’ antara 5 – 7 juta rupiah untuk 1 ‘iring’ (1/4 ha) dan hasilnya bisa dijual dengan harga 26 juta rupiah. Ini lebih menguntungkan daripada penggemukan sapi. Cuma repotnya tiap hari kita harus ke ladang.”

              “Kalau mau bisnis sapi, yang untungnya pasti, modalnya kecil, dan tidak repot seperti menanam melon, jadilah ‘blantik’. Kita bisa ‘ngebon’ sapi dulu dari yang punya dan modal yang diperlukan paling untuk menyewa mobil ‘pik-kap’ harian untuk mengangkut sapi itu ke pasar hewan.”

             Tanpa peduli wajah tegang mereka, aku meneruskan pidatoku. “Sekarang mari kita bahas tentang ‘gadhuh sapi’. Teman saya Pak Atang cerita 2 tahun yang lalu beli sapi, 12.5 juta rupiah, dititipkan ke Pak Sarju untuk di’gadhuh’. Selama 2 tahun dia masih keluar uang sekitar 1.5 juta untuk beli obat dan sebagainya. Sekarang sapi itu sudah punya anak 2 ekor. Tadi di jalan saya berhitung, dengan modal 14 juta yang kalau uang itu pinjam dari bank dengan bunga 15% setahun, maka setelah 2 tahun harus jadi 14 juta ditambah bunga 2 tahun x 15% = 30%, jadi sekitar 18.5 juta rupiah. Kalau hari ini 3 ekor sapi itu dijual dan setelah Pak Sarju mengambil bagiannya apakah masih tersisa 18.5 juta rupiah untuk Pak Atang?”

                  “Untungnya induk sapi itu sampai hari ini sehat walafiat, tidak mendadak wafat kena serangan jantung atau jadi korban penculikan seperti yang sering terjadi pada sapi-sapi yang di’gadhuh’kan. Saya dengar dari Pak Atang, sekarang induk sapi itu sudah hamil lagi. Betul Pak Sarju?”

                 “Betul,” jawabnya bersemangat. Dia berasal dari Boja-Kendal. Wajahnya sangar kalau tidak sedang tersenyum.
                “Siapa yang menghamilinya, Pak?”
                  Bwa ha ha ha, mereka tertawa.

                “Sapi wadon meniko memelas nasibe. Mboten nate ngraosake senenge rabi, ujug-ujug sampun ngandut,”¹ aku meneruskan dengan bahasa Jawa gado-gado sehingga eyang putri yang empunya rumah ini dan duduk mojok ‘mekekelen’².


                  Mereka tertawa dan santai kembali. Tetapi aku yakin mereka tidak lupa ‘warning’-ku kalau sapi yang di-gadhuh-kan sering mendadak mati atau hilang dicuri maling. Ini penghalusan bahasa dari kata “digadhuk” karena sebetulnya sapi itu tidak mati atau hilang tetapi dijual oleh orang yang dititipi. Ini bisa terjadi bila pemilik induk sapi rumahnya jauh dari rumah orang yang dititipinya. Bukankah bunyi kata ‘gadhuh’ dan ‘gadhuk’  mirip sekali?


                  Gadhuh artinya meminjami hewan kepada orang lain supaya dipelihara dan kala beranak anaknya dibagi dua. Gadhuk artinya membeli dengan cara meminjam (kredit). Ini arti aslinya, dulu. Tetapi kemudian bergeser menjadi ‘berhutang dan tidak mau melunasinya’.

                 Di kemudian hari Pak Kholik berkabar kepadaku hasil bincang-bincang itu 6 orang mengambil fasilitas ini. 1 orang usaha penggemukan kambing; 1 orang menanam semangka; 1 orang menanam jagung; 1 orang menanam padi; 2 orang pengusaha bengkel sepeda motor meminjam modal untuk memperbanyak jenis oli yang dijualnya. Tidak ada yang menggemukkan sapi. Hebatnya mereka, tidak ada yang merugi dan pinjaman lunas tepat waktu. Bukan main!

 

 ¹) Sapi betina itu kasihan nasibnya. Tidak pernah merasakan senangnya kawin, tahu-tahu sudah hamil.

 ²) tertawa dengan perut terguncang-guncang.