Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Gereja Mewah Sekaligus Mesum (PDS-2)

Purnomo's picture

Honor pendeta EMPAT RATUS RIBU RUPIAH? Dipotong persembahan 10% tinggal 360 ribu rupiah. Dibagi 30 hari sama dengan 12 ribu rupiah. Kalau sehari dia harus beli bensin 3 ribu, beras 4 ribu, tersisa 5 ribu untuk lauk. Beli satu butir telur 2 ribu tinggal 3 ribu untuk tempe dan minyak goreng serta kecap manis. Ini sama dengan gaji babu cuci dan setrika di Semarang. Tetapi babu cuci bisa punya pelanggan paling tidak 2 orang yang berarti sebulan 800 ribu rupiah. Kalau kertas laporan keuangan ini ditempel di aula sekolah teologi pasti bisa membuat beberapa mahasiswanya drop-out sekonyong-konyong.
               Suatu Sabtu di bulan Oktober 2011 saya mau rekreasi. Selesai mandi pagi saya membuka dompet menghitung lembaran uang yang ada. Tidak ada 50 ribu. Saya pergi ke ATM dekat rumah. Selain untuk bekal saya harus menyediakan uang santunan bagi seorang siswa desa yang bersekolah di sebuah SMK Magelang. Mbakyunya yang bekerja di sebuah gereja di Semarang akan mengambilnya di rumah saya. Juga santunan bulanan untuk Pdt Daniel di Gereja Dadirejo yang akan diambil oleh Pak Dosen. Nama Pdt Daniel mendadak saja mengingatkan saya akan catatan yang diberikan seseorang setahun lebih yang lalu tentang 2 orang pendeta yang tempat tugasnya tidak jauh dari Gereja Dadirejo. Mengapa saya tidak rekreasi ke sana saja? Saya memijit-mijit keyboard ATM untuk kedua kalinya dan kemudian pulang ke rumah.

              Setelah selesai menyiapkan 2 sampul berisi santunan untuk 2 orang itu, saya membuka komputer mencari file-file yang menyandang kata “old”. Memang benar kata seorang teman maya, saya tukang simpan sampah sampai-sampai puisi Arie Saptaji Wahyu Widodo kala remaja yang dimuat di Majalah Hai terbitan 25 tahun yang lalu masih saya simpan. File itu belum saya hapus. Di secarik kertas saya menyalin data tentang 2 pds itu. Pds?

               Kalau pdt itu bukan pendeta tua, tapi pendeta tetap. Pdm itu bukan pendeta magang, tapi pendeta muda. Pds itu bukan pendeta senior, tapi pendeta dekat sawah.

              Saya memasukkan buku kwitansi dan uang ke dalam tas hitam usang. Tas itu nyaris dibuang ke tong sampah oleh istri karena sudah berventilasi. Saya tambal lobang itu dengan potongan jas hujan bekas. Saya ambil jaket parasut yang juga nyaris dibuang oleh mantan pacar karena sudah banyak bagian yang koyak. Dengan lem castol saya memperbaikinya dan memakainya dengan bagian dalam di luar. Ketika mengangkat tas, masih terasa berat. Saya mengaduk dalamnya. Rupanya ada kamera digital. Saya keluarkan.

             Motor bebek buatan tahun 2011 masih terparkir di halaman. Saya masukkan ke garasi karena bisa membuat saya tergoda berkendara dengan kecepatan tinggi padahal jalan yang akan saya lewati tidak lebar dan banyak truk yang ugal-ugalan. Saya mengeluarkan motor bebek produksi tahun 2002 yang rem tromolnya tidak begitu pakem sehingga akan membuat saya tidak berani memacunya. Lagipula saya akan merasa lebih aman dengan kendaraan lama ini karena dari peta yang saya salin, saya akan memasuki daerah sepi. Kalau memang harus mengalami penodongan, ruginya tidak terlalu menyakitkan ‘gitu.

              Ada nomor hape 2 pds itu tetapi saya tidak meneleponnya. Saya kuatir ETA saya molor karena kemacetan lalu lintas atau membuat mereka repot menyiapkan hidangan seperti yang pernah dilakukan oleh Pdt Daniel Dadirejo. Hampir satu setengah jam baru saya sampai desa Amarta yang di arah utaranya terletak desa Dadirejo. Saya terus saja menelusuri jalan propinsi ini dan 10 menit kemudian tiba di sebuah traffic light di mana saya harus berbelok. Saya menghentikan motor dan berjalan mendekati kumpulan tukang ojek. Kepada seorang bapak tua saya berkata, “Pak, permisi numpang tanya . . .” Belum selesai saya bicara tangannya sudah merebut kertas yang saya pegang.

             “Dusun Empang? Di perempatan ini belok kiri, satu setengah kilo ada gudang panjang. Itu dusun Empang,” agaknya ia sudah hafal orang yang mendekatinya sambil membawa kertas pasti bertanya alamat.
              Saya membalik kertas itu dan bertanya, “Kalau yang ini, Dusun Ngempon ada di mana?”
             “Ini kebalikannya. Di perempatan ini belok kanan, sembilan setengah kilo ada tower dan persimpangan jalan. Ambil yang kiri, terus saja.”
              Saya tidak bertanya itu tower tangki air atau tower sutet atau tower relay. Setelah mengucapkan terima kasih saya kembali berkendara dan berbelok ke kanan di perempatan jalan. Lebih baik saya pergi yang jauh dulu.

              Jalan menyempit. Hanya selebar 4 meter. Di tepi jalan banyak rajangan daun tembakau sedang dijemur. Daun-daun yang terpanggang panas matahari itu menguapkan bau harum bagai aroma opor ayam. Tanaman tembakau sepanjang jalan sudah gundul menyisakan beberapa helai daun di pucuknya yang kurang laku dijual karena kandungan nikotinnya sangat rendah. Makin jauh makin sepi jalan ini. Ketika sampai di tower yang ternyata tower relay saya bertanya arah kepada seorang penjual bensin eceran. Arah saya sudah benar tetapi dusun itu masih 2 kilometer lagi.

               Jalan makin menyempit menjadi 3 meter. Di depan balai desa saya lihat ada 2 penjaja mainan anak bersepeda motor sedang beristirahat. Karena odometer sudah menunjukkan 2 kilometer lebih, saya berhenti dan bertanya arah kepada mereka.
               “Terus saja. Nanti ada gereja dan di sampingnya ada gang. Masuk ke gang itu.”
               “Terima kasih. Permisi.”
               “Hati-hati. Pelan-pelan saja.”
               Hati-hati? Mengapa? Tetapi saya menuruti nasihatnya. Ternyata di atas jalan aspal yang berkelok-kelok itu banyak bagian yang berlapis pasir halus sisa perbaikan jalan. Menarik rem mendadak bisa membuat motor selip.

                 Betul juga informasinya. Ada gereja kecil di sisi kanan jalan. Dan memang itulah gereja yang saya cari. Tetapi gereja itu sepi. Ada rumah kecil di belakangnya. Pintu terkunci dan lampu di dalamnya padam. Saya meneleponnya dengan hape. Tidak ada jawaban. Saya mencatat jadwal kegiatan gereja yang tertulis di papan nama gereja sebelum meninggalkannya.

                 Sampai di perempatan tempat saya pertama bertanya, saya lurus saja menyeberangi jalan propinsi menuju dusun Empang. Lewat 2 kilometer saya belum bertemu gudang panjang. Saya bertanya lagi. Ternyata sudah lewat. Saya berbalik dan menggelar jurus ‘majulah selangkah demi selangkah’ dengan berhenti untuk bertanya setiap 100 meter. Ternyata dusun itu tidak di jalan ini tetapi harus berbelok ke sebuah gang kecil. Saya masuk ke gang itu dan setelah dua kali bertanya saya sampai di gereja itu yang ternyata ada di ujung gang kecil dan betul-betul di tepi sawah.


                 Bangunan ini lebarnya tidak seberapa tetapi cukup panjang. Lewat sisi samping saya berjalan ke bagian belakang. Ada rumah di situ yang menyatu dengan bangunan gereja.
                 “Bapak sedang sakit?” tanya saya karena pendeta itu tampak lemah, berjalan dengan menyeret kaki dan bicaranya tak jelas terdengar karena suaranya bagai dikulum. Ia menggelengkan kepala tanpa semangat. Pendeta Budi tinggal di situ bersama istrinya sedangkan kedua puterinya setelah menikah tinggal di tempat lain.

                  Saya memberitahu saya mengunjungi daerah ini tidak mewakili gereja atau organisasi apapun tetapi sekedar melancong mau melihat-lihat gereja yang pada dekade 1980 masih diharamkan keberadaannya. Saya bertanya tentang jumlah jemaatnya. Dia menjelaskan Sekolah Minggu punya 15 anak, Pemuda ada 10 orang, anggota dewasa yang hadir dalam ibadah Minggu sekitar 25 orang.

                  “Pak Budi, bisa saya melihat-lihat ruang ibadah?”

                  Ia berdiri dan berjalan ke pintu yang tembus ke belakang mimbar. Saya mengikutinya dari belakang. “Alat musik kami hanya keyboard,” katanya sambil menunjuk keyboard tua di depan mimbar.
                  “Ini lebih baik daripada di gerejanya Pak Daniel Dadirejo yang bandnya lengkap dengan ampli sehingga bisa membisingkan tetangga.”
                  “Kenal dengan Pak Pendeta Daniel?”
                 “Empat bulan yang lalu saya datang ke gerejanya,” jawab saya sambil melangkah ke dinding belakang yang bertempelkan beberapa helai kertas.
                 “Bagus sekali ada laporan keuangan gereja yang terbuka bagi jemaat,” kata saya sambil menunjuk sehelai kertas. Di kolom pengeluaran laporan keuangan bulan Agustus itu tertera “Persembahan kasih gembala Rp.600.000”.
                 “Masih di bawah UMK Semarang, ya Pak,” kata saya sambil menunjuk angka itu.
                 “Ya, dan dari jumlah itu saya harus setor pribadi ke gereja pusat Rp.60.000.”
                 “Jadi, gereja pusat menerima 10% dari seluruh persembahan yang masuk ditambah 10% dari honor Bapak?”
                  Ia tidak menjawab.

                  Kembali ke pastori begitu duduk kembali saya bertanya, “Maaf, kalau saya boleh tahu, apakah honor Bapak tetap 600 ribu setiap bulan?”
                 “Tidak. Naik turun karena disesuaikan dengan persembahan yang masuk yang juga naik turun,” katanya sambil berjalan ke meja kerjanya dekat dapur yang menyatu dengan ruang tamu.
                 Ia menyodorkan selembar kertas. “Ini laporan keuangan bulan September. Pak Pur boleh bawa.”
                 Segera mata saya mencari kolom persembahan kasih gembala. Di situ tercantum angka Rp.400.000,00. EMPAT RATUS RIBU RUPIAH. Dipotong pajak gereja induk 10% tinggal 360 ribu rupiah. Dibagi 30 hari sama dengan 12 ribu rupiah. Kalau sehari dia harus beli bensin 3 ribu, beras 4 ribu, tersisa 5 ribu untuk lauk. Beli satu butir telur 2 ribu tinggal 3 ribu untuk tempe dan minyak goreng serta kecap manis. Ini sama dengan gaji babu cuci dan setrika di Semarang. Tetapi babu cuci bisa punya pelanggan paling tidak 2 orang yang berarti sebulan 800 ribu rupiah. Kalau kertas laporan keuangan ini ditempel di aula sekolah teologi pasti bisa membuat beberapa mahasiswanya drop-out sekonyong-konyong.

                Saya menunda bertanya kepadanya karena istrinya mendekat membawa piring dan centing nasi. “Sudah hampir jam dua, makan dulu,” katanya.
                   Saya menolak dengan alasan, “Bu, saya naik motor. Kejelekan saya setelah makan siang pasti mengantuk. Di jalan banyak truk yang ugal-ugalan. Maaf Bu, saya minum teh saja.”
                   Mana tega saya makan nasi di situ setelah melihat angka 400 ribu itu. Kalau saya makan, jangan-jangan nanti sore mereka terpaksa memetik jagung dari halaman belakang dan merebusnya untuk makan malamnya. Ibu Budi mau mengerti. Dia mengganti gelas air putih saya dengan teh hangat manis. Setelah minum saya mengenakan jaket dan berkata kepada Pak Budi,

                  “Pak, saya mau permisi pulang. Tetapi sebelumnya, saya mau menjelaskan maksud kunjungan saya ini selain melancong. Saya prihatin dengan kehidupan para pendeta di pedesaan. Mereka yang melayani Tuhan dengan taruhan nyawa dirinya serta seluruh keluarganya ini sering terabaikan oleh gereja induknya. Gereja bertumbuh jadi besar, gereja induk bersorak gembira. Gereja ini dibakar dan bapak sekeluarga dianiaya, gereja induk bilang itu terjadi atas perkenan Allah. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Delapan tahun Bapak ada di sini, gereja induk Bapak tidak memberi subsidi bila persembahan yang masuk tidak banyak, malah tetap memungut royaliti 10 prosen. Bapak meninggalkan pekerjaan di kantor pemerintah, lalu masuk sekolah teologi sampai mendapat gelar sarjana teologi demi memenuhi panggilan Tuhan untuk melayani-Nya. Seperti juga gereja induk Bapak, saya tidak bisa membantu pelayanan Bapak kecuali dengan memberikan apa yang saya punya yang tidak seberapa ini.”

                 Dari dalam tas usang, saya mengeluarkan sehelai amplop. Saya membukanya dan menarik keluar lembaran-lembaran uang serta menjajarkannya di atas meja sehingga tanpa beranjak dari tempat duduknya ia bisa mengetahui jumlahnya. Buku kwitansi kecil saya keluarkan dan menulis, “telah terima dari NN untuk membantu pelayanan Bpk. Pdt. Budi.” Saya menyodorkan kepadanya.
                  “Maaf Pak Budi, mohon ditandatangani untuk tertib administrasi.”
                  “Pakai stempel gereja?”
                  “Tidak perlu. Ini antarpribadi kita saja Pak, karena saya memberi kepada Bapak selaku pribadi. Karena itu tolong jangan mencantumkan pemberian ini dalam laporan keuangan gereja.”
                  Ia menandatangani kwitansi itu sambil berguman, “Tuhan cepat sekali menjawab doa kami semalam.”

                 Ia minta waktu sebentar sebelum saya pulang untuk berdoa bergantian. Ia duluan, mengucap syukur atas kedatangan saya dan mohon Tuhan mengantar saya pulang ke rumah dengan selamat. Ia berdoa seperti orang menangis. Saya pikir itu memang ‘gaya’ berdoa denominasi ini. Setelah itu saya yang berdoa dengan suara tanpa gaya, mohon Tuhan yang telah menempatkannya beserta istri di tempat itu dan memberi salib yang berat, juga memberinya kekuatan untuk memikulnya sampai titik akhir.

                 Kami berjalan keluar menyusuri samping gereja. Samping gereja ini ternyata ada di belakang 4 rumah penduduk. Di belakang sebuah rumah ada sumur dan seseorang sedang menimba. Kalau saja tidak ada pendeta di samping saya, pasti saya sudah ngakak karena mendadak sadar gereja ini selain mewah (mepet sawah) ternyata juga mesum (mepet sumur). Yang sedang menimba itu perempuan yang tubuhnya hanya berbalut handuk putih. Melihat mulusnya kulit bagian atas dan bagian bawah balutan handuk yang pas-pasan itu, saya berani bertaruh usianya belum lewat 25 tahun.

                 Pukul 15.30 saya sampai di rumah. Odometer motor menunjukkan saya telah menempuh jarak 84 kilometer. Makan lalu tidur. Saya terbangun saat magrib karena deringan hape. Ada sms masuk. Dari Pak Budi. “Dulu waktu kerja di Dep Kop habis dapat gaji dari kantor hati saya tidak tenang dan Tuhan suruh bawa berkat Tuhan ke hamba Tuhan yang sedang berdoa karena tidak ada uang untuk beli makanan. Pak Pur telah melakukan hal yang sama untuk saya.”

                 Saya merinding. Terngiang kembali gumannya yang semula tidak saya tahu ke mana nyangkutnya, “Tuhan cepat sekali menjawab doa kami semalam.” Terbayang kembali wajahnya yang kuyu tak bersemangat, langkah kakinya yang diseret. Teringat kembali ‘kebetulan-kebetulan’ yang terjadi. Kebetulan waktu pagi di mesin ATM saya teringat catatan 2 pds yang tidak tergarap karena kesibukan mengurusi proyek SD Kristen Gratis (SDKG). Kebetulan file komputer itu belum terhapus. Kebetulan pendeta gereja di Ngempon tidak ada sehingga waktu saya tidak habis di situ. Kebetulan Pak Budi ada di rumah padahal saya tidak meneleponnya terlebih dahulu. SMS itu menyadarkan saya bahwa Tuhan telah mengatur semuanya itu agar seorang hamba-Nya merasakan pernyertaan-Nya dalam keadaan gawat.
 
                                                                 (25.02.2012)
 
Catatan: semua nama orang dan tempat telah disamarkan.

Veritas's picture

Suara Ilahi

Mantappps pak Pur.... Suara Ilahi memang serba kebetulan bagi Panca Indera Manusia.

Semoga diberkahi Rizky yang semakin berlimpah ruah dan mengalir deras ke semua orang.

 

Nice Share...

__________________

Quid Est Veritas Kata seorang bajingan bernama PILATUS

http://www.facebook.com/veritasq

Huanan's picture

Kebetulan...

Kalo kebetulannya hanya 1 atau 2 kali mungkin itu memang hanya kebetulan saja, tetapi kalo kebetuluannya beruntun, it is not coincidence anymore. Kek nya Tuhan memang telah menjawab doa Pak Budi tsb melalui orang yg di tunjukNya yaitu Pak Pur..

__________________

Huanan

Purnomo's picture

Mohon perkenan mengoreksi komen Veritas

Veritas: "Semoga diberkahi Rizky (=DONASI) yang semakin berlimpah ruah dan mengalir deras ke semua orang."

Kalau dapat DONASI banyak, berarti Tuhan kabulkan cita-cita yang saya tulis di sini.  Bersama blogger Smg & Magelang (ditambah Veritas yang telah mendoakannya), saya akan membentuk BLOSAS PENCINTA LERENG MERAPI yang kopdar setiap bulan di sana.

Setuju?

Purnomo's picture

Huanan: lha kalo kena apes beruntun?

Huanan: "Kalo kebetulannya hanya 1 atau 2 kali mungkin itu memang hanya kebetulan saja, tetapi kalo kebetuluannya beruntun, it is not coincidence anymore. Kek nya Tuhan memang telah menjawab doa Pak Budi tsb melalui orang yg di tunjukNya yaitu Pak Pur."

Setuju.

Tetapi saya tidak tahu mau setuju atau tidak bila dari kalimat ini kita membuat pernyataan yang "paralel" - Kalo apesnya hanya 1 atau 2 kali mungkin itu memang hanya lagi sial saja. Tetapi kalo apesnya beruntun, kek nya Tuhan yang punya mau."

Thx for your comment.

Huanan's picture

Kalo apesnya beruntun...

Tetapi kalo apesnya beruntun, kek nya Tuhan yang punya mau."

he he he.. Kalo apesnya beruntun, paling2 ambil ayat yg ini nih :

Apabila seorang dicobai janganlah ia berkata: "Pencobaan ini datang dari Allah!" Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun. (Yak 1:13)

atawa paling2 bilang begini : "segala sesuatu (baik atau buruk) adalah baik adanya." Jadi  Allah memiliki rencana dibalik keapesan2 tsb(mungkin?) Udah itu pake ayat yg ini nih :

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. (Roma 8:28)

 

 

__________________

Huanan

Mey Weh's picture

Pak Pur kebetulan juga?

Pak termasuk kebetulan juga tidak liat yang pake handuk putih di greja "mesum" nya? Atau itu seh termasuk gerak reflek sang mata elang pak Pur saja kaleee? ;-D
Mey Weh's picture

Pak Pur kebetulan juga?

Pak termasuk kebetulan juga tidak liat yang pake handuk putih di greja "mesum" nya? Atau itu seh termasuk gerak reflek sang mata elang pak Pur saja kaleee? ;-D
Purnomo's picture

Kebetulan juga kamera tdk dibawa

Kalau bawa, saya akan minta pak pendeta berpose di depan gerejanya, lalu kamera saya arahkan kepadanya, menjelang klik, arah kamera saya geser ke kiri sedikit, jadilah dokumentasi yang aduhai.
           Lalu saya akan lebih sering ke mari karena motif sampingan.
           Dalam setiap pelayanan selalu ada godaan untuk melenceng. Mula2 sih sedikit dan rasanya sih sah-sah saja.
           Salam.

st_ephen's picture

Ini gila banget

Pa kondisi gereja gila banget ya pa, meski mungkin termasuk mewah untuk warga sekitar. Satu sisi banyak gereja yang buka cabang, padahal masih banyak tersisih. Satu sisi Tuhan berdaulat, dan menyatakan anugerahnya saat kondisi seperti ini. Tuhan memakai siapa saja, dan semua sama di mata Tuhan. SDG.
__________________

Don't believe everything easily, then believe to the truth you recieve

Erin Naibaho's picture

mesum

judulnya membuat penasaran,,heheh

__________________

pemalas