Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Ibu Penjual Karak

Ari_Thok's picture

Tangan ibu itu seperti tak kenal lelah menumbuk nasi yang baru saja diangkat dari dandang. Tangan ibu itu pula yang sejak puluhan tahun yang lalu memegang kemudi sepeda ontel, menempuh puluhan kilometer menjajakan sepatu dan sandal kulit ke desa tempat tinggalnya semasa dia kecil. Seorang ibu yang tak kenal menyerah memperjuangkan dan membesarkan anak-anaknya.

Ibu dengan empat orang anak ini (sebenarnya lima, tetapi satu meninggal karena keguguran) seperti tak mengenal usia untuk tetap memcoba berusaha agar asap dapur tetap mengepul. Meski sekarang keempat anaknya sudah berhasil bekerja, tetapi himpitan ekonomi membuatnya untuk tidak pensiun lebih dini. Beliau sadar tidak ingin menjadi beban hidup buat anaknya, apalagi sang suami memang sudah pensiun karena sudah tua.

Setiap pagi dan sore, kompor butut itu terus memanas. Setiap pagi, beras pilihan dicuci bersih, dengan air secukupnya beserta bumbu khusus, pekerjaan mengolah nasi menjadi karak pun dimulai. Sekitar satu jam kemudian, nasi tersebut sudah siap untuk mengalami proses selanjutnya. Lesung batu dengan kayu sebagai penumbuk disiapkan untuk memadatkan nasi. Bluk .. bluk .. bluk ... Suara itu mengingatkanku akan perjuangan beliau di waktu lampau ketika anak-anaknya masih sekolah. Ketika itu, ketela pohonlah yang ditumbuknya menjadi jajanan getuk goreng.

Nasi sudah memadat, tempat tuangan dari plastik diisi penuh untuk mendinginkan adonan nasi. Selang setengah jam, adonan nasi yang padat mulai dipotong tipis-tipis. Beberapa tampah (wadah yang dipakai untuk membersihkan beras) disiapkan untuk menata satu persatu irisan adonan nasi. Sang suami yang sudah pensiun dengan senang hati membantu manaruh setiap tampah, yang didalamnya sudah tertata penuh irisan adonan nasi ke atap rumah untuk dijemur. Menaiki tangga bikinan sendiri, satu persatu tampah ditaruh diatap rumah. Beruntung sekali saat ini musim panas, sehingga cukup sehari untuk mengeringkan adonan nasi tersebut.

Siang hari yang terik, Bapak itu kembali naik ke atap untuk mengambil tampah. Sang ibu yang menunggu dibawah memberi respon dengan tangannya untuk menerima dari bawah. Duh, romantis sekali, kompak, tidak seperti waktu Bapak tersebut masih bekerja. Sekarang sesudah pensiun, kebersamaan dan kekompakan itu justru terlihat lebih jelas. Satu per satu irisan adonan nasi itu dibalik, lalu ditaruh lagi di atap sampai sore hari.

Sore hari, Bapak tua tersebut kembali menaiki tangga untuk mengambil tampah. Setelah dicek akan keringnya adonan, kompor butut itu kembali dinyalakan. Kali ini proses pembuatan karak dalam tahap akhir. Sreng ... sreng ... minyak panas tersebut membuat irisan adonan nasi yang kering menjadi karak. Sesekali Ibu tersebut mengusap dahinya karena keringat yang sedikit mengucur. Oh Ibu, betapa besar pengorbananmu hanya demi anak-anakmu. Layaklah kamu mendapat penghormatan sebagai orang tua yang membesarkan anak-anaknya.

Plastik pembungkus dan lilin untuk membakar penutup plastik menjadi pekerjaan selanjutnya yang dilakukan Ibu ini. Dalam satu hari, sekitar 50 bungkus karak berhasil dibuatnya. Karak tersebut sudah siap dititipkan ke beberapa warung kecil yang sudah menjadi langganan tetap. 500 rupiah setiap bungkus dijual di setiap warung, dimana 400 rupiah per bungkus yang didapat oleh ibu tersebut. Pernah beberapa kali usaha beliau mendapat sedikit singgungan dari tetangga. Terlalu mahal lah, tidak enaklah. Yah, dimana-mana ternyata memang ada saja orang yang tidak senang. Pernah satu kali Ibu ini merasa malu dan akan menyerah karena berjualan karak karena tekanan orang lain. Namun sang anak yang tinggal bersamanya memberikan support. "Tak perlu malu lah, kerja kok malu, cari duit kok malu". Support dari keluarga membuat Ibu tersebut tak kenal lelah berjualan karak, demi membantu memenuhi kebutuhan keluarganya.

__________________

*yuk komen jangan cuma ngeblog*


*yuk ngeblog jangan cuma komen*

Love's picture

bersyukur jadi wanita

Saat menuliskan segala pengorbanan dan cinta ibuku padaku, ada sedikit getaran di bulu-bulu tanganku. Tapi, ada pertanyaan pula di benakku, tulisanku, seolah-olah membuat apa yang dia lakukan untukku menjadi terlihat begitu berat. Padahal, pernah kutanya, mengapa mama lakukan ini dan itu untukku. "Loh, kan mama sayang kamu." Cinta, kasih, sayang .... itulah yang membuat semua yang dia lakukan untukku tidak menjadi berat, bahkan dilakukannya tanpa ada beban apapun, atau karena sedang melakukan "job description" seorang ibu. Walaupun, tidak jarang pula kudengar keluhannya di saat capai mendera dan kejenuhan melandanya. Tapi, aku yakin 1000%, itu bukan berarti hal-hal yang dia lakukan tidak dilakukanya dengan sepenuh hati. Justru itu menandakan mama juga manusia biasa yang luar biasa. Ya, aku bersyukur kalau dia sedang berkeluh kesah padaku, karena itu berarti sebentar lagi hatinya akan plong :) Aku paling tidak tahan kalau lihat mama diam, tidak banyak bicara. Melihat sosok seorang ibu, aku bersyukur menjadi seorang wanita, karena ada kesempatan untuk menjadi seorang ibu. Ari_thok, titip salam sungkem buat Ibumu ya :) karaknya enak lohhh .... mau lagi donkkkk :)
Ari_Thok's picture

Menuliskan Kisah Keluarga

Menuliskan kisah keluarga seperti menjadi kesenangan tersendiri buatku, sedih, senang , terharu, gado-gado deh. Paling tidak mengumpulkan warisan untuk kenangan di masa datang. Terus terang kenangan-kenangan di masa yang lalu banyak tidak terekam, mengingat orang tua tidak mengajarkan anak-anaknya untuk berbuat demikian. Satu saat nanti aku ingin tunjukkan tulisan-tulisan ini ke mereka (orang tua), bahwa mereka sangat berharga di mata anaknya ini. :) Wah, tertebak deh bahwa itu ibuku :). Ntar ya karaknya hehe.

*yuk comment jangan hanya ngeblog*


*yuk ngeblog jangan hanya comment*

 

__________________

*yuk komen jangan cuma ngeblog*


*yuk ngeblog jangan cuma komen*

Rusdy's picture

Ibu Sendiri

OOoo, ini menceritakan pengalaman ibu sendiri. Wah wah, benar-benar ibu yang bekerja keras yah! Titip salam buat ibu deh!