Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

ISTRI SAYA HILANG

Purnomo's picture

          Rabu pagi tadi aku berkeliling kota mengumpulkan laporan dari para penyalur beasiswa SD. Waktu pengambilan santunan Senin dan Selasa. Seorang dari mereka memberitahu ada 3 yang tidak diambil. Mereka dari satu keluarga dan baru sekali ini tidak mengambilnya. Biasanya yang mengambil ibunya. Jika sebelumnya kepseknya memberitahu aku penyebabnya (siswa sakit, orang tuanya keluar kota), uang santunan itu aku simpan dan bisa diambil bersamaan dengan santunan bulan berikutnya. Tanpa pemberitahuan dari kepsek, santunan yang tidak diambil aku hanguskan. Tetapi sampai pagi tadi tidak ada berita dari kepsek. Jumlah santunan untuk 3 anak itu 340 rb sementara uang sekolahnya 395 rb.



          Siang hari penyalur ini menelepon aku, “Bapaknya baru saja ke mari. Dia sudah melunasi spp tetapi terlambat mengambil santunan karena lupa. Dia sedang bingung karena istrinya hilang. Dia butuh uang. Aku kasihan. Jadi aku beri alamat kamu, aku suruh dia ke rumahmu kalau-kalau santunannya bisa kamu berikan sekarang, tidak bulan depan.”

         Wah, orang ini akan menjadi penerima santunan pertama yang tahu rumahku selama 7 tahun kegiatan ini berlangsung. Aku memang merahasiakan alamatku dari mereka, bahkan dari kepsek-kepsek. Benar juga tak lama kemudian dia datang dengan motornya membonceng seorang anak laki. Anak itu berdiri di samping parkir motor.

         “Itu anak pertama saya,” katanya memberitahu.
         “Sekolah di mana?”

         “SMK Mesin.”

         “Berapa uang sekolahnya?”

         “Semula 325 rb, lalu diturunkan menjadi 300 rb. Kemarin saya menemui kepseknya minta maaf karena spp bulan ini belum bisa saya lunasi. Saya belum punya uang. Apa santunan 3 anak saya bisa saya ambil sekarang?”

           Aku meminta kartu spp yang sedari tadi dia pegang. Ternyata SPP anaknya dilunasi hari Senin 23 Mei.

         “Mas, Senin spp sudah dilunasi. Mengapa tidak langsung ke rumah ibu penyalur santunan untuk mengambil beasiswanya?”

         “Saya lupa karena bingung cari istri saya. Istri saya hilang.”

         “Hilangnya di mana, Mas?” tanyaku.

         “Tidak tahu. Sudah saya cari ke mana-mana tidak ketemu. Sudah 2 minggu ini.”

         “Mengapa sampai hilang?” Aku lebih baik menggunakan kata ‘hilang’ daripada ‘minggat’.

         “Saya ini selama berumah tangga dengan dia, tidak pernah memukulnya. Paling kalau emosi saya baru memakai omongan.”

           Aku tidak bertanya yang dia sebut “omongan” itu apa “makian” dan seberapa sadisnya caci-makinya yang bisa lebih menyakitkan daripada pukulan. Alamat rumahnya ada di daerah di mana makian lazim dikeluarkan dengan gaya bebas-sebebasnya.

          “Mas, sebetulnya karena terlambat diambil, santunan bulan ini baru bisa diambil bulan depan. Tetapi sekali ini saya beri dispensasi,” kataku sambil menyodorkan uang dan kwitansi. Aku tidak mengatakan sebetulnya dispensasi itu aku berikan agar dia bisa melunasi spp anak pertamanya di SMK. Di kwitansi itu tertera alamat rumahnya. “Alamat ini depannya lapangan ya?” tanyaku.

          “Ya,” jawabnya.
          “Kontrak atau rumah sendiri?”

         “Itu rumah mertua. Saya menumpang.”

         “Wah, kalau istri tidak pulang bisa gawat ya.”

         “Itu yang jadi pikiran saya. Ipar-ipar saya bisa mengusir saya keluar dari rumah itu.”

         “Ipar juga tinggal serumah?”

         “Rumah mereka dekat-dekat saja. Ada yang rumah sendiri, ada yang kontrak.”

           Dalam hati aku menggerutu, “Aduh Mas, lha wong masih numpang di rumah mertua kok ya berani ngasari istri.”

           Waktu dia pamitan aku mengikutinya sampai tempat parkir motornya. Dia bawa sangkar kecil, di dalamnya ada burung kecil cantik warna kuning.

          “Beli berapa ribu burungnya, Mas?” tanyaku spontan tanpa bermaksud menjebaknya.

          “Pulang ini saya mau mampir ke pasar burung untuk menjualnya. Untuk tambah-tambah,” jawabnya.

             Semoga istrinya mau cepat kembali ke rumah agar dia dan keempat anaknya tidak ikut menghilang dari rumah itu karena diusir oleh mertuanya.

 

            ** Semarang, 25 Mei 2016
            ** gambar diambil dengan google sekedar ilustrasi

 

Purnomo's picture

Guru SD Marjinal

Sedang memasukkan laporan PS (penyalur santunan) ke komputer hapeku bunyi. Ternyata dari kepsek siswa yang kehilangan ibu, menanyakan apa betul si bapak itu datang ke rumahku dan cerita apa saja. Aku ceritakan tanpa kurang tanpa lebih.

"Tidak semua dia ceritakan," katanya. "Waktu Senin dia melunasi spp, agar dia tidak repot saya tawarkan bantuan unt mengambil santunan karena kebetulan saya dgn 1 orang guru mau memboncengkan siswa kelas 1 mengambil santunan. Dia menolak. Barangkali kuatir uang santunan itu saya tahan unt melunasi spp Juni."

Dari PS lain saya mendapat info Bu Kepsek ini dan seorang guru memboncengkan 5 anak mengambil santunan pada waktu jam istirahat. Saya membuat aturan pengambil santunan harus ortunya atau siswa ybs, tidak boleh diwakili gurunya. Unt tandatangan, siswa cukup menulis namanya di kolom ttd (dan saya sudah mempunyai arsip contoh tulisan mereka)

Jadi guru sekolah marginal memang kerjaannya lebih banyak daripada sekolah favorit sementara gajinya jauh di bawah