Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

JANGAN LUPAKAN MUJIZAT ITU

Purnomo's picture

          Selepas ibadah pagi 4-Oktober-2015 aku ikut temanku ke Salatiga. Hari ini Wisma Lansia Maria Martha di mana temanku menjadi ketua pengurusnya menyelenggarakan ibadah syukur untuk ultahnya yang ke-21. Kami adalah rombongan pertama dari Semarang yang tiba di wisma itu. Aku melihat seorang duduk di depan kibod. Tubuhnya kurus. Aku mendekatinya. “Pak Santo ya?” tanyaku.

          “Betul. Dari Semarang?” tanyanya balik.
          “Betul. Masih ingat saya?”
          “Siapa ya? Mungkin kita pernah bertemu di Semarang karena saya dulu organisnya gereja TME.”
          “Saya purnomo.” Wajahnya memperlihatkan tanda dia tidak mengenal aku. “Masih ingat di mana pertama kali kita bertemu di Semarang?”
           Dia menggelengkan kepala.

          “Di rumah sakit Telogorejo. Mungkin sekitar sepuluh tahun tahun yang lalu setelah saya menyelesaikan buku lagu persekutuan doa gereja saya, majelis gereja TME minta saya memeriksa naskah buku lagu persekutuan doanya. Saya melihat ada 2 lagu yang akordnya menurut saya kurang pas. Saya ingin bertemu dengan penulis naskah itu. Karena itu saya minta nama dan alamat penulisnya. Majelis TME menyebut nama Pak Santo dan sebaiknya ke rumah sakit karena pak Santo ada di sana. Sudah ingat?”
           Dia menggelengkan kepala.

          “Di rumah sakit aku melihat kamu tergolek lemah. Kamu bercerita Yesus sudah menampakkan diri sampai dua kali sehingga kamu yakin pada penampakan-Nya berikutnya kamu akan meninggal dunia. Istrimu dipanggil dokter ke kantor perawat. Aku mengikutinya. Dengan menunjuk sebuah foto dokter menjelaskan hatimu mengecil dan sudah mengeras. Kata dokter besok kamu boleh dibawa pulang, boleh makan apa saja. Istrimu tahu itu artinya kamu tinggal menghitung hari. Padahal anakmu masih kecil, yang satu baru SD dan yang lain SMP.”

           Dia menyimak ceritaku. Aku meneruskan.

          “Lalu istrimu menjual rumahmu yang di Semarang untuk membayar hutang. Kemudian dia mengontrak rumah kecil di Salatiga agar bisa dekat dengan ibunya. Suatu hari pak Simon mengajak aku menengok kamu. Tubuh kamu sudah tinggal kulit pembalut tulang. Daya ingatmu merosot sehingga setiap 5 menit bertanya siapa namaku. Di samping tempat tidur ada sebuah kibod, barang kesayanganmu yang tidak ikut dijual oleh istrimu. Aku memainkan nada-nada awal 4 – 5 bar sebuah lagu rohani dan bertanya apa judul lagu itu. Kamu menjawab dengan tepat. Kemudian aku melakukan berulang kali seperti dalam permainan ‘Berpacu Dalam Melodi’. Kamu tak pernah gagal menebaknya. Memorimu tentang lagu rohani masih utuh.”
 
          “Istrimu bercerita kamu mendesaknya untuk meninggalkan kamu agar dapat menikah lagi. Mumpung masih muda, katamu. Waktu mendengar pengaduan istrimu kamu mengiyakan. ‘Tidak ada gunanya menunggui aku yang sebentar lagi mati,’ katamu. Pak Simon tertawa. Jika begitu istrimu menikah lagi kamu langsung meninggal, tak ada masalah. Tetapi bagaimana bila satu hari setelah istrimu menikah lagi kamu sembuh? Ah, itu mustahil, katamu.”

          “Setiap pagi istrimu mendudukkan kamu di kursi roda dan ia tidak malu membawamu berjalan-jalan berkeliling kawasan tempat tinggal kamu. Untuk menutupi biaya hidup istrimu dengan sepeda motor keliling kota menjajakan makanan kering. Setelah itu aku tidak lagi melawat kamu walau pak Simon sering mengajakku.”

          “Suatu malam hampir pukul 10 telepon rumahku berdering. Kamu yang menelepon. Suaramu jelas, tidak lemah terdengar.”
          “Sebentar,” kataku. ”Kalau tak salah ingat teleponmu ada di luar kamar tidurmu. Apa teleponmu kamu pindah ke samping tempat tidurmu?” tanyaku.
          “Tidak, masih di tempat semula,” jawabmu.
          “Bagaimana kamu bisa mencapainya.”
          “Aku sudah bisa berjalan walau masih dengan berpegangan dinding.”
          “Kamu sudah sembuh?”
          “Itulah yang mau aku tanyakan,” jawabmu.

          “Lho, sembuh atau belum tentunya kamu sendiri yang tahu. Mengapa aku yang kamu tanyai?”
          “Seminggu yang lalu ada 2 orang bapak datang ke rumah. Seorang yang mengaku bernama Prasetio bilang mereka datang diutus pak pur. Seorang lagi sampai waktu pulang tidak mau mengatakan namanya. Yang tidak punya nama ini mengajak aku berdoa. Ia memegang satu kakiku lalu mengucapkan Doa Bapa Kami. Aku merasa dari tangannya mengalir keluar rasa hangat masuk ke kakiku terus merambat naik ke dadaku. Kemudian setiap hari tubuhku makin kuat. Aku bisa duduk sendiri di atas tempat tidur tanpa bantuan istriku. Sekarang dengan berpegangan dinding aku bisa ke ruang tamu. Yang mengganggu pikiranku adalah apakah aliran tenaga itu berasal dari kuasa gelap? Kalau tidak, mengapa orang itu tidak mau menyebut namanya. Kalau tidak, bagaimana bisa Doa Bapa Kami mempunyai kuasa penyembuhan? Orang itu tidak banyak bicara. Apakah orang itu percaya Tuhan Yesus? Siapakah orang itu?”
 
          “Sebelum menjawab pertanyaanmu aku mau tanya dulu. Kalau kamu mati saat ini, apakah kamu yakin rohmu pasti masuk surga?” tanyaku saat itu.
          “Pasti! Kalau tidak tentu Tuhan Yesus tidak mengunjungi aku sampai dua kali.”
          “Bagus! Kalau orang itu tidak mau mengatakan namanya, aku juga tidak akan menyebut namanya. Lagipula yang kamu ingin tahu bukan namanya, tetapi apakah kekuatan yang saat ini sedang menyembuhkan kamu adalah kuasa gelap. Begitu ‘kan?”
          “Betul.”
          “Ingat Bileam dalam Perjanjian Lama? Juru tenung sakti ini disewa Balak raja Moab untuk memusnahkan kekuatan Israel dengan mengutukinya. Tetapi Allah merubah kutukannya menjadi berkat. Kamu ingat rancangan jahat saudara-saudara Yusuf ketika memasukkannya ke dalam sumur kering? Tuhan merubah menjadi rancangan yang penuh berkat bagi banyak orang. Siapa orang itu, jahat atau tidak, imanmu sendiri yang telah merubah Doa Bapa Kami yang diucapkannya menjadi berkat kesembuhan untukmu. Bukankah begitu kata Yesus setiap Ia menyembuhkan orang sakit? Bahkan ketika Yesus merasa ada tenaga yang keluar dari tubuh-Nya akibat jubahnya disentuh oleh perempuan yang sakit, Ia mengatakan iman perempuan inilah yang telah menyembuhkannya. Bukan jubah-Nya.”




           Sebulan kemudian bersama istri dan anak-anak, aku mengunjungi kamu. Kesehatanmu telah sempurna, tubuhmu segar dan berdaging, bahkan gemuk. Di atas meja tamu ada sebuah album foto. Aku mengambil dan membukanya. Ternyata berisi foto-fotomu ketika kamu masih sakit. Kata kamu album itu membantu kamu bersaksi kepada setiap tamumu agar mereka tahu iman kepada Tuhan Yesus ada di atas segalanya dan patut dimiliki juga oleh mereka. Ke mana saja kamu pergi album itu kamu bawa.”

          “Ya ya, saya ingat sekarang sama pak pur. Pak pur tahu nama orang yang mendoakan saya itu?”
           Dalam hati aku berkata, 'Kau lupakan aku rapapa. Tetapi jangan lupakan kesetiaan istrimu ketika kamu tak bisa apa-apa. Terlebih lagi melupakan kasih setia Tuhan Yesus. Untuk itulah aku mengungkit kembali riwayatmu dulu.'

          “Dia temannya temanku,” jawabku. ”Aku tidak pernah bertemu muka dengannya. Tetapi ketika kamu menelepon aku malam itu, di hapeku aku menyimpan nama dan alamat rumah dan nomor hapenya. Setelah itu aku menghapus data itu dari hapeku biar aku tidak tergoda untuk memberitahu kamu. Yang bisa aku ingat dia itu Katolik, salesman kain, dan sering berkeliling melakukan pelayanan doa tanpa bayaran.”

          “Sekarang bagaimana dengan istri dan 2 anak-anakmu?” tanyaku.
           Dia kemudian bercerita tentang keluarganya saat ini.