Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Mudik

y-control's picture

Ratusan kilometer dilalap dua roda itu. Perjalanan panjang dan melelahkan dengan motor ini sebenarnya tidak saya rencanakan sama sekali. Yang saya rencanakan adalah seperti biasa, pulang ke kota asal yang hanya sejarak 60 kilometer dari tempat saya mengadu nasib saat ini. Tapi, karena satu dan lain hal tiba-tiba jadwal kepulangan dia menjadi tidak pasti. Maka, saya pun usul mengantarkan dia ke kampung halamannya di Kebumen, sekitar 3 jam dari Jogja. Sebelum ini saya sudah dua kali ke sana, tapi toh saya masih selalu takut dengan perilaku pengguna jalan di rute itu.

Berangkat pukul enam sore, langit hari itu belum redup. Matahari di barat masih menyala, menyilaukan mata yang menantangnya. Tapi roda harus terus berpacu. Lalu lintas sore hingga malam itu terbilang ramai. Untuk menghindari stres akibat perjalanan saya menyumpalkan earphone dan musik ke telinga. Akibatnya, dia pun lebih banyak saya cuekin. Tapi saya sudah minta izin dulu. Langit makin gelap, jalanan tetap ramai. Dibanding dua perjalanan dengan motor di rute yang sama yang pernah kami lakukan sebelumnya, lalu lintas kali ini memang paling ramai. Tapi saya sebenarnya justru lebih suka yang ramai seperti ini. Ini karena di lalu lintas antar kota, motor ibarat ikan kecil, bis dan truk ibarat ikan pemangsa, sementara mobil ibarat ikan besar lainnya. Supaya aman, ikan kecil harus berlindung di balik ikan yang lebih besar supaya aman dari si pemangsa. Seperti ikan remora menempel pada ikan hiu. Apalagi sejak memasuki Purworejo, rute tempat tewasnya pelawak Taufik Savalas, bis-bis dari arah berlawanan makin menggila. Salip menyalip sampai memakan semua badan jalan sudah biasa. Sepeda motor dianggap tidak ada. Tanpa menempel di belakang mobil, motor harus rela menyingkir sampai keluar jalan aspal untuk mempersilakan bis lewat. Bis baru mengurungkan niat untuk menyalip jika melihat ada mobil dari arah berlawanan.

Memasuki kota Purworejo, jalanan yang rusak masih juga belum diperbaiki. Demikian juga penerangan jalan. Namun, mengikuti mobil membuat saya merasa lebih aman. Memang, beberapa kali mobil itu terlalu lambat sehingga harus didahului atau terlalu cepat hingga tak terkejar. Saya pun sendiri lagi. Pemudik lain dengan motor memang banyak. Mereka melaju dengan kecepatan lebih tinggi, menyalip mobil dan truk tanpa takut. Saya memang penakut jika memboncengkan orang lain. Meski si pembonceng kadang mengolok saya kurang berani. Tapi saya tidak mau mempertaruhkan keselamatan orang lain. Lalu di satu jalan, penerangan jalan sama sekali tak ada, sementara jalanan penuh lubang dan bergelombang, dan di jalur saya hanya motor saya sendirian. Beberapa kali bis-bis dan mobil dengan kecepatan tinggi datang dari arah berlawanan, memaksa saya keluar jalur yang berpasir. Sampai kemudian dari belakang tiba-tiba melesat sebuah mobil mendahului saya. Motor saya pacu mengikuti laju mobil itu. Bis dan mobil dari arah berlawanan tidak lagi berani memakan badan jalan lagi. Ketika mulai memasuki kota Kebumen, jam sudah menunjukkan 20:45. Mata terasa pedas dan tubuh pegal. Setelah beramah tamah, sekitar pukul 23.00 saya pamit tidur tapi masih mengobrol sebentar lagi.

Siang hari, pukul 15.00 perjalanan kembali menanti. Kali ini saya harus sendiri. Perjalanan siang hari sangat berbeda. Saya bisa melihat ternyata banyak petunjuk jalan, spanduk, iklan, bendera parpol, dan berbagai posko di sepanjang jalan. Pemudik dengan motor lainnya juga bisa dilihat jelas. Dengan jaket, ransel, bungkusan baju atau oleh-oleh, boncengan tiga, anak kecil di tengah, helm teropong, masih ditambah kardus di belakang dan diselipkan di depan. Sungguh miris. Tapi itulah mudik. Fenomena itu dirayakan, melupakan sejenak ekonomi yang sentralistis, impian dan kenyataan kecut menjadi perantau. Kini, iklan ikut merayakan fenomena ini. Beberapa memang berguna. Saya rasa orang yang tidak tahu jalan pun sekarang tidak akan tersesat jika mudik di pulau Jawa. Tapi seperti biasa, iklan produk maupun parpol terlihat menganggu. Spanduk, bendera, dan papan-papan tidak berguna, yang saya rasa tidak akan dilihat orang yang melaju minimal 80 km/jam. Pukul 17.00, saya sampai di Jogja dan pukul 19.00 saya meneruskan perjalanan ke Solo.

Perjalanan ke Solo tentu sudah sangat saya kenal. Lalu lintas yang tidak seliar rute sebelumnya membuat saya lebih santai meski perut lapar, badan capek dan kepala agak pusing karena kekurangan kafein. Pukul 20.00 an saya memasuki kota Solo. Baru kali ini saya bisa melihat bahwa kota ini ternyata lebih rapi dan bersih. Hanya saja perilaku pemakai kendaraannya masih tidak berubah. Count down di lampu lalu lintas malah membuat beberapa pengendara seolah membayangkan dirinya hendak memulai perlombaan moto GP. Saya merasa seperti orang tua yang selalu geleng-geleng kepala saat melihat motor yang segera tancap gas atau mengklakson saya yang masih berhenti saat lampu merah masih tersisa 2 detik. Seolah saya yang melanggar aturan. Tapi begitulah keadaannya. Sekitar pukul 20.30, akhirnya saya sampai di rumah. Kini, tinggal menunggu waktu balik.

clara_anita's picture

@Y-kontrol: pulang... :)

Duh asyiknya pulang ditemani sama belahan jiwa:) Selamat menikmati liburan ya GBU ^_^
y-control's picture

@ clara: hehehe

terima kasih, ditemaninya ga sampe sehari kok hehehe.. clara liburan ke mana? HA HA HA!
clara_anita's picture

Dear Y-kontrol, seperti

Dear Y-kontrol,

seperti kata-kata klasik yang sering saya kutip

yang penting kualitas, bukan kuantitas bukan?

Biar nggak sampai sehari tetap berkesan kan...

 

Liburan aku di rumah saja kok nggak kemana-mana

GBU

gkmin's picture

Mudik is 'pulang ke udik'

Mudik = Menuju ke udik udik = desa, dusun, kampung lawan kata udik = kota so... balik dari mudik = Mota (Menuju ke kota)

gkmin.net -salatiga-jawa tengah

__________________

gkmin.net -salatiga-jawa tengah