Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Doa kita sama…

paulwekwek's picture

Untuk kesekian kalinya dia tertunduk saat kumulai pembicaraan hari esok.
“Bagaimana nanti?”
“Apa resiko terberatnya?”
“Apa yang kamu takuti?”
Itulah tiga pertanyaan berulang yang kulontarkan ketika mambahasnya. Seperti biasa pertanyaan-pertanyaan itu juga yang akan kembali ditanyakan kepadaku. Namun jawaban pasti berbeda, dan mungkin akan selalu berbeda.

“Ya udah kita jalani aja yank, bukankah kita sepakat kita sama-sama tidak tahu apa yang terjadi esok?” Tanyanya dengan suara yang sedikit memelas. Kembali aku mendapat respond yang sama.
Sebenarnya pertanyaan yang barusan kudengar adalah pertanyaan dariku ketika mendekatinya beberapa bulan yang lalu. Pertanyaan yang meyakinkannya bahwa aku layak mendapat tempat dihatinya. Namun pertanyaan itu juga yang selalu terngiang mengganggu pikiranku, pertanyaan yang kadang membawa pengharapan namun dalam waktu yang sama juga pertanyaan yang yang tak akan terjawab dan mungkin memang tidak punya jawaban sama sekali.
“Keluarga kamu udah tau?”
“Udah.” Jawabku dengan mantap.
“Terus tanggapan mereka bagaimana?”
“Kamu maunya bagaimana?”Tanyaku dengan sedikit senyuman untuk mengontrol situasi yang tegang.
“ Lho kok mauku?Mereka pasti tidak setuju kan?”
“Tuh tau. Kenapa nanya lagi?”
“Iya tapi aku pengen tau kira-kira situasinya bagaimana?” Suaranya melembut sampai-sampai hampir tak terdengar.
“ Ya begitu, sama kayak dugaanku kemarin.”
Dia terdiam mungkin lagi teringat jawabanku kemarin ketika dia tanya kira-kira bagaimana tanggapan keluargaku. Ada yang tidak setuju, ada yang marah, ada yang mencibir, ada pula yang bahkan menyuruhku untuk mengajaknya menjadi Kristen.
“Keluarga kamu bagaimana?Udah ada yang tau?” Tanyaku ga mau kalah.
“Belum. Aku takut.”Lagi-lagi dia tertunduk.
“Aku belum bisa ngebayangin apa yang terjadi nanti. Yang kutau pasti dimata mereka aku tidak akan seperti yang dulu lagi”. Sambil mengusap kedua matanya yang mulai barkaca-kaca, dengan kain penutup kepalanya.
“Dasar wanita!” Cibirku dalam hati. Seperti biasa bahasan itu akan berakhir seperti ini.

Jam di pojok kanan monitor komputerku menunjukkan angka 12.10 subuh. Sudah hampir 4 jam aku duduk berhadapan dengan silayar cembung ini. Menjelajahi dunia dari layar cembung memang tak terasa memakan waktu. Ah sebenarnya terlalu berlebihan menjelajahi dunia, soalnya daritadi aku hanya bolak-balik membuka halaman biru putih, sambil membaca keluh kesah, perkataan sok bijak, sok romantic, sok pintar, sok perhatian sama kekasih, sok lucu, sok suci dan beratus sok-sokan lainnya. Mungkin aku juga begitu. Tiba-tiba handphone berdering. Sang kekasih. Seperti biasa Rutinitas TM ON untuk sedikit irit.

 

“ Hallo Hasian.” Sebutan itu bagiku sangat special, hanya dia yang menyebutku demikian.
Nga masihol au.” Sebuah kalimat manis yang selalu kudengar walau suaranya agak sedikit kasar namun berusaha dilembut-lembutkan tapi aku suka, itu udah dari sononya begitu.
“Ngapain aja daritadi?”
“Duduk, ngakak, ngantuk, pipis, garuk-garuk, gamparin nyamuk dan masih banyak lagi” Jawabku dengan serius. Aku tau dia pasti ngakak walau jawaban itu sudah berulangkali didengarnya.
Satu jam pun berlalu tak terasa. Hening cipta dimulai ketika pertanyaanku yang iseng.
“Kamu pernah doain aku ngga?Kamu doainnya apa?”
Setlah hening 3 menit dia pun menjawab “Pernah donk. Aku doain minta kamu lah lelaki yang pertama dan yang terakhir yang menjadi kekasihku.” Dadaku tersentak mendengarnya.
“Beneran?”
“Iya. Emang kenapa?”
“Nggak kenapa-kenapa kok, hanya kaget aja. Terus kamu doainnya gimana?Coba bacain lagi!”.
“Ya Alloh semoga Engkau berkenan menjadikan pacarku ini jadi suamiku kelak.” Dia mencoba mengulangi doanya tapi aku tau doanya ga mungkin sesingkat itu.
“Kamu gimana? Pernah bawa aku dalam doamu?” Dia tidak mau kalah, aku tahu dia ingin tahu sampai dimana keinginan hatiku untuk bersama dengannya.
Aku memang pernah membawanya dalam doaku. Tapi dalam doaku aku meminta Roh Kudus membimbingku dan menginsafkannya agar dia menerima Yesus jadi Juruselamatnya. Dalam doaku aku meminta bimbingan dari Roh Kudus bagaimana aku harus mengabarkan injil kepadanya. Dalam doaku aku ingin dia jadi seorang Kristen. Haruskah kukasih tau dia tentang doaku ini?
“Hey kok diam?”
“Iya aq pernah mendoakanmu kok. Sering malah”.
“Truss doanya gimana?Bacain lagi donk!” Rasa ingin tahunya sama seperti rasa ingin tahuku.
“Doaku panjang jadi ga mungkin aku bacain semua kan? Intinya sama kok kayak doa kamu.”Aku berusaha meyakinkan.
“Oh baguslah doa kita sama.” Katanya dengan nada agak sedikit semangat. Ternyata dia puas dengan jawabanku itu.
Setelah berpikir beberapa detik. Aku mencoba menempatkan diriku di posisinya. Mungkin juga dlam doanya dia mendoakanku sama seperti doaku. Doa yang meminta agar aku berpaling dari agamaku sekarang.
“Hasian! Daripada mikir jauh-jauh mendingan kita berandai-andai, gimana?”
“Berandai-andai gimana maksud kamu?”
“Seandainya kamu jadi orang Kristen, coba bayangin pemberkatan nikah yang di gereja!” Kataku dipoles dengan sedikit tawa agar terlihat seperti candaan.
“He he he.. Pernah sih kebayang aku pakai gaun putih, terus habis Pendetanya memberkati, kamu buka cadarku terus cium keningku”. Aku pun tertawa mendengarnya. Ternyata dia sudah pernah memikirkannya sebelumnya.
“Tapi berhubung karena ini hanya khayalan aku cium bibir aja bagaimana?” Kataku menggoda. Dia tertawa semakin ngakak.
“Maunya..” Dia pun mencoba membentengi diri dari godaanku.

“Saya bertanya kepada mempelai perempuan, Saudari Butet Siregar: Bersediakah Saudari di hadapan Tuhan yan Mahatahu dan di hadapan sidang jemaat yang bersekutu di sini menyatakan bahwa Saudari menghendaki Ussok Manullang menjadi suamimu? Jawablah dengan hati yang tulus ikhlas!” Dengan suara yang agak tegas layaknya seorang pendeta yang sedang memberkati.
“Ha ha ha ha.. ada-ada aja.” Dia tertawa ketika aku berlagak jadi seorang pendeta.
“Ayo jawab donk!”. Kataku menyuruh.
“Aku jawabnya apa nih?” Dia bingung mau jawab apa.
“Jawab aja Aku bersedia”
“ Oooohhh.. Ok.. Aku bersedia” Dengan nada serentak kami tertawa seolah tidak ada masalah, seolah malam itu malam paling bahagia.
“Oh iya gmn klo misalnya kita lagi ijab Kabul, kamu udah hafal?” Tanya nya dengan tawa yang masih tersisa.
“Itu mah gampang. Yang seperangkat alat itu kan?”Tanyaku penuh yakin.
“Iya coba deh yang lengkap!”Sepertinya dia tidak yakin aku bisa menghafalnya.
“Ehemm.. Saya terima nikahnya Butet Siregar binti…eh nama Papa kamu siapa?”
“Yaudah disingkat aja dulu N. Siregar gituh!” Aku maklum sebab nama Bapak dalam tradisi jarang di sebutkan karena konon katanya kalau orang lain tahu dan menyebutnya sembarangan itu sangat tidak sopan.
“Ok.. Saya terima nikahnya Butet Siregar binti N. Siregar dengan seperangkat alat pemotongan anjing berikut rantai berukuran 2 meter, karung goni dan golok panjang dibayar TUNAI”
“ Hahahaha.. Kok seperangkat alat kayak gituan?Ga ada yang lain?” Katanya penasaran.
“Ngga ada, Cuma itu yang ada di otakku sekarang.” Gelak tawa masih terdengar seakan takkan pernah berhenti.

Sejujurnya aku tidak pernah membayangkan bagaimana jika aku yang mualaf . Egois. Selama ini aku hanya membayangkan jika dia mau jadi kristen, bukan sebaliknya.

Hasian boleh nanya ngga?”
“Boleh.” Jawabku mempersilahkan.
“Tapi yang ini agak sensitif, ga apa-apa kan?” Suaranya agak melembut dan sepertinya pertanyaannya memang penting.
“Ga apa-apa kok” Jawabku dengan santai.
“Kira-kira apa yang menjadi alasan utama kamu kalau aku meminta kamu menjadi muslim?” Perasaan ragu terlihat jelas dari suaranya. Mungkin sedikit takut.
“Wow What ??” Bisikku dalam hati. Pikiranku tiba-tiba kacau, tak menentu. Sepertinya dia juga memikirkan apa yang kupikirkan selama ini.
“He..he..he..” Aku tertawa kecil untuk menutupi galaunya pikiranku saat itu. Aku mau jawab apa? Aku bingung.
“Jesus help me!!!” Doaku dalam hati.
“Klo ga mau jawab juga gapapa kok, aku ga maksa.” Katanya seolah mengetahui isi pikiranku.
Namun aku harus menjawabnya. Apapun jawabanku kali ini mudah-mudahan bisa memuaskan rasa ingintahunya.
“Sejujurnya aku tidak memikirkan apa kata keluargaku”. Aku mulai menjawab dengan hati-hati.
“Jika memang ada satu alasan yang pasti yang mengharuskanku menjadi muslim aku pasti akan jadi muslim, namun sampai sekarang aku blum menemukannya. Kepikiran untuk menjadi seorang muslim pun aku belum pernah. Dan mungkin ketika suatu saat nanti kamu benar-benar memintaku untuk itu maafkan aku jika menolaknya. Aku menolaknya bukan alasan keluarga, tapi alasan individu, alasan dari dalam diriku sendiri. Bagiku tidak ada alasan lain untuk tidak mengikut Yesus sebagai Tuhan, dan Juruselamat. Bahkan jika kamu memaksaku untuk memilih,antara kamu dan agamaku kamu sungguh tidak layak menjadi salah satu pilihan. Jadi tolong suatu saat nanti jangan suruh aku untuk memilih.”
Dia terdiam membisu. Aku tidak tahu kenapa aku berani mengatakannya. Namun berani atau tidak yang pasti jawaban itu adalah jawaban satu-satunya. Jawaban terakhir. Dan takkan pernah goyah. Namun dalam hati aku bertanya
“Apakah dia akan menjawab dengan jawaban yang sama ketika aku menyuruhnya memilih Yesus?”

 

 

__________________

Bless all of Us..

teograce's picture

maen

udah maen api..

maen ping pong..

maeeeeennnn mulu...

hidup itu kerjanya maen doank..

homo ludens.. hahaha... 

__________________

-Faith is trusting God, though you see impossibility-

paulwekwek's picture

maeenn itu asik..

 maen api asik klo lagi dingin (api unggung maksdnye)

main ping pong.. juga asikkk

maen mulu?? kapan blajarnya??

:)

__________________

Bless all of Us..