Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pinjami Dia Namamu

Purnomo's picture

Suatu hari kebetulan dia melihat anak tetangganya berangkat ke sekolah. Matanya melihat anak itu tidak mengenakan pakaian seragam dan hanya bersandal jepit. Tetapi hatinya melihat Yesus dalam diri anak itu, berjalan dengan kepala tertunduk ke sinagoge.


          Anak itu bergegas masuk ke dapur menemui ibunya. “Ibu, Rabi yang terkenal itu ada di bukit dekat desa kita. Ijinkan aku ke sana. Aku ingin mendengar ceritanya. Sebelum magrib aku sudah kembali ke rumah. Aku janji, Bu. Boleh ya Bu.”

           “Kamu belum makan siang. Sana, ke meja makan dulu.”
           “Ibu, teman2 menunggu aku di luar. Makannya nanti saja ya Bu.”
           Ibunya mendengar suara gaduh di luar.
           “Tunggu,” katanya.  Dari atas tungku ia mengambil 2 ekor ikan dan 5 potong roti. Ah, hanya roti murahan yg ia olah dari bulir2 jelai. Tak tahu kapan ia bisa membuat roti dari tepung gandum. Tetapi ia tak pernah mengucapkan pertanyaan itu kepada suaminya. Ia tahu suaminya setiap hari sudah bekerja keras di danau. Ia mengulurkan bungkusan makanan itu kepada anaknya.
           “Pergilah sambil makan bekal ini agar kamu tak pingsan di jalan. Bagikan juga kepada teman2mu.”

           Dan berlarilah anak2 ini menuju bukit di tepi danau. Ia tak mau mengurangi laju larinya hanya karena makan bekalnya. Sesampai di perbukitan itu dia melihat banyak orang di sana. Ia tak mau duduk di belakang walau apa yang diucapkan Rabi diteruskan oleh para pelantang. Ia ingin mendengar langsung suara Rabi itu. Bersama teman2nya dia merangkak maju di antara sela orang2 yg duduk berkelompok. Ketika tinggal sepelemparan batu jauhnya dari Sang Rabi belakang leher bajunya ditarik orang. Tubuhnya terangkat dari tanah. Ia meronta-ronta di udara. Tetapi jemari tangan yg mencengkeram bajunya tidak melepaskannya.

           Tiba2 dia mendengar suara hardikan. “Lepaskan anak2 itu! Jangan menghalangi mereka datang kepadaku. Orang2 yg seperti merekalah yg memiliki Sorga. Marilah anak2, duduklah dekat, dengarkanlah aku. Takut akan Tuhan akan kuajarkan kepadamu.”

           Dia memandang ke arah Sang Rabi. Pandangannya tajam seperti guru sembahyangnya. Tetapi tidak menakutkan, sehingga ia berani menatapnya berlama-lama. Tangan yg tadi mencengkeram kini menuntunnya mencarikan tempat duduk di depan.

           Tangannya dimasukkan ke dalam tas bekal. Ia akan memakan bekalnya sambil mendengar Rabi bercerita. Tetapi cerita itu memukaunya, sehingga ia lupa membuka bekalnya. Kata orang2 desanya cerita Rabi sulit dimengerti. Tetapi sekarang telinganya mendengar sendiri dan dia bisa mengerti tentang risaunya seorang gembala karena seekor domba meninggalkan kandangnya. Ia bisa mengerti bagaimana risaunya perempuan yg kehilangan dirham karena ia pernah melihat ibunya ribut seharian memeriksa setiap sela lantai rumah gara2 ada uangnya yg menggelinding hilang. Ketika Rabi bercerita tentang anak yg pergi setelah meminta hak warisnya sebelum bapaknya meninggal, dia ingat tetangganya. Anaknya disuruh bapaknya membawa 2 ekor lembu ke pasar unt dijual. Tetapi anak itu tidak pernah kembali ke rumah sehingga bapaknya bersumpah akan membunuhnya bila menemukannya. Tetapi akhir cerita Sang Rabi mengherankannya. Ketika anak durhaka itu kembali ke rumah dan ayahnya melihatnya, ayahnya tanpa peduli martabatnya berlari menyambutnya, memeluknya, menciuminya.

          Tak terasa matahari telah condong ke tepi langit. Ketika Rabi bertanya kepada seorang muridnya, “Di manakah kita bisa membeli roti?” barulah ia merasakan perih di perutnya. Ia membuka bekalnya. Ia mengambil sepotong roti dan ketika akan memasukkan ke dalam mulutnya, tangannya terhenti di udara. Tak sengaja matanya melihat Rabi. Rabi tampak letih dan sangat lapar tetapi tidak mempunyai roti untuk dimakan. Ia meraba kain pembungkus bekalnya. Pantaskah dia menyantap roti jelai? Ia orang hebat. Ia lebih pantas makan roti gandum seperti layaknya orang kaya. Ia tak pantas menyantap makanan orang kebanyakan.

          Dia melihat berkeliling. Ada orang2 yang duduk di dekatnya berpakaian bagus. Pasti mereka membawa bekal roti bakeri. Tetapi mereka tidak menawarkan bekalnya kepada Rabi. Seorang murid Rabi berdiri di dekatnya. Ia berdiri dan dengan langkah ragu menghampirinya. Disodorkan bungkus bekalnya. “Bapak, ini bekal saya. Hanya roti jelai dan ikan. Kalau Sang Rabi berkenan, biarlah ia menyantapnya.”

          Ia tahu sebentar lagi ia harus berlari pulang dengan perut kosong. Ia tahu bisa saja ia jatuh pingsan di jalan. Tetapi itu tidak dialaminya karena sebuah mujizat kemudian terjadi atas bekalnya itu dan kisahnya dibaca oleh orang sepanjang jaman.

          “Pemberian walau tidak mahal dan tidak banyak, apabila diberikan dengan tulus, percayalah walau kamu tidak melihatnya, akan menjadi berkat bagi banyak orang,” kataku mengakhiri cerita ini dalam persekutuan remaja gereja. “Mari kita berdoa.”

          Seorang gadis mengangkat tangannya sehingga aku menunda berdoa. Sepanjang aku bercerita aku melihatnya sibuk membolak-balik Alkitabnya.
          “Ya Tias?”
          “Empat penulis Injil mencatat kisah Yesus memberi makan 5000 orang. Ini menunjukkan bahwa peristiwa itu sangat penting sehingga mereka mencatatnya. Tetapi mengapa tidak ada satupun penulis  yg mencatat nama anak itu? Bagaimana bisa orang memercayai penulisan kitab suci ini dituntun oleh Allah Roh Kudus jika nama anak itu lupa ditulis atau diabaikan? Atau, jangan2 keempat penulis Injil itu saling menyontek?”

          Aku mendengar beberapa remaja tertawa. Tendangan penalti yg bagus.
          “Saya tidak tahu mengapa nama anak itu tidak ditulis,” jawabku. “Jikalau cerita itu tidak lengkap hanya karena anak itu tidak bernama, pinjamkanlah namamu. Anak itu bernama Tias. Tias yg bersekolah tidak di SMK Swasta favorit karena dia hanya punya roti jelai saja unt membayar spp-nya. Tias yang pergi ke sekolah naik sepeda bukan motor karena ayahnya hanya bisa menyediakan roti jelai saja untuknya. Tias yang tidak punya nomor pin bebe karena . . . . .”
          “ . . . . dia hanya punya roti jelai saja,” teriak seorang di sudut ruang menyambung kalimatku disambut riuh tawa teman2nya.

          Wajah Tias memerah. Kegeraman menyaput wajahnya. Dia menatapku lekat-lekat. Dia marah. Aku mengedarkan pandanganku berkeliling menghindari tatapannya. Setelah surut keriuhan mereka, aku melanjutkan perkataanku. Suaraku datar, tanpa intonasi, tanpa emosi.

          “Tetapi tidak semua dari kita tahu Tias melihat tidak dengan mata saja. Suatu hari ketika dia ke pasar matanya melihat seorang ibu berusaha menenangkan anaknya yg menjerit-jerit dekat penjual balon. Hatinya melihat Yesus kecil sedang merengek minta mainan kepada Bundanya. Maka ia merogoh sakunya mengeluarkan uang 5 ribu membeli balon kecil dan memberikan kepada anak itu. Ia tidak bisa membelikan yg besar karena dia hanya punya roti jelai saja. Dia batal membeli kue tetapi ia senang melihat Yesus kecil itu tertawa dan senyum syukur Bundanya.”

          “Suatu hari kebetulan dia melihat anak tetangganya berangkat ke sekolah. Matanya melihat anak itu tidak mengenakan pakaian seragam dan hanya bersandal jepit. Tetapi hatinya melihat Yesus dalam diri anak itu, berjalan dengan kepala tertunduk ke sinagoge. Dia tak punya uang tetapi punya sepeda roda empat di gudang. Walau tidak lagi dipakainya, dia menyimpannya unt mengenang kasih sayang ayah kepadanya karena dia tahu ayahnya harus menunggu uang THR unt bisa membelinya. Dia meminta ayahnya menjual sepeda itu agar anak itu bisa berjalan ke sekolah dengan kepala tegak.”

          Aku berhenti sejenak. Sunyi tak ada suara. Aku melanjutkan. “Tias yg hanya punya roti jelai ini beberapa bulan yg lalu dipilih menjadi ketua panitia ritrit remaja gereja akhir tahun. Dia giat membujuk teman2nya unt mendaftar. Tetapi seminggu menjelang hari-H mendadak dia mengundurkan diri dari kepanitiaan bahkan membatalkan pendaftaran dirinya. Tidak sedikit yg berpendapat Tias tidak bertanggung jawab, tindakannya tidak selaras dengan omongannya, dia pemimpin angin-anginan. Karena itu seorang pengasuh remaja diutus berkunjung ke rumahnya unt mengetahui masalahnya.”

         “Ternyata masalahnya berawal sehari sebelum UAS. Wali kelasnya mengumumkan ‘siapa saja yg masih berhutang uang spp 2 sampai 6 bulan apabila besok tidak melunasinya, setidaknya membayar 1 bulan, tidak boleh ikut UAS’. Siapa saja? Ini hanya penghalusan bahasa. Setiap siswa di kelas itu tahu hanya 1 orang yg masih belum lunas spp-nya, bahkan belum membayar sejak bulan Juli. Mata Tias melihat teman sebangkunya menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya, bahunya berguncang-guncang. Tetapi hatinya melihat Yesus sedang menangis pilu dalam senyap. Hampir separuh siswa di kelasnya punya sponsor yg membayari spp mereka. Dia tidak tahu mengapa hanya temannya yg satu ini walau sudah lama didaftarkan ke sebuah yayasan beasiswa tidak juga muncul sponsor untuknya. Tias tidak tahu apakah itu dikarenakan namanya yang teramat sederhana. Tias tidak tahu apakah itu dikarenakan nilai2 rapotnya yg tidak cemerlang. She is nobody’s child. Tias hanya tahu apa yg layak dilakukannya. Selesai sekolah dia mengajak teman sebangkunya itu ke rumahnya. Empat bulan lamanya dia menabung unt membayar uang ritrit remaja. Dia memaksa temannya menerima sebagian tabungannya itu agar besok bisa membayar spp 1 bulan. Tias memilih batal ikut ritrit daripada melihat bangku di sebelahnya kosong.”

         “Sampai pagi tadi saya masih mendengar orang menuduh pengasuh remaja berlaku tidak adil dengan menggratisi uang ritrit Tias hanya karena dia berjabatan ketua panitia sementara yg lain yg tidak lebih mampu tetap harus membayar, bahkan beberapa temannya tega menulis tuduhan ini di pesbuknya.” aku mengucapkan kalimat panjang ini dalam satu tarikan nafas dengan oktaf tinggi. Beberapa wajah tampak tersentak.

          Aku menghela nafas. Dan kemudian dengan nada datar lagi, tanpa intonasi, tanpa emosi aku melanjutkan. “Apakah itu betul? Ya, betul, pada mulanya. Pengasuh menawarkan diskon 100%, tetapi Tias menolak. Dia hanya mau ikut ritrit apabila pengasuh mau menerima sisa tabungannya dan memperbolehkan dia mengangsur kekurangannya setiap minggu. Tias tidak mau akibat tindakannya menjadi beban orang lain. Dan pengasuh menghormati keputusannya.”

         “Anak dalam kisah ‘Yesus memberi makan 5000 orang’ tidak punya nama. Kisah itu hanya bisa menjadi sempurna apabila ada orang yg mau meminjamkan namanya. Dia boleh bernama Diah, atau Andre, atau Ricky, atau Ningsih. Siapa saja, asalkan dia mampu melihat tidak dengan mata saja, tetapi juga dengan hati. Hati yang mau mengerti.”

          Aku berpaling ke arah Tias. Gadis itu duduk dengan kepala tertunduk.
         “Tias,” panggilku.
         Dia menegakkan kepalanya. Bergegas dengan punggung tangan dia menyapu matanya. Wajahnya teduh. Tak ada lagi binar kemarahan.
         “Tias, kamu yang pimpin doa ya.”
         Dia mengangguk.

                                                         (31.01.2015)

widdiy's picture

@Pak Purnomo, namaku tak layak

Kalo namaku tak layak dipinjamkan ke anak itu Pak Pur.... Cry