Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Al-Khubz Al-Hafi; Merelakan Godot (bagian I)

PlainBread's picture

Gilbert melangkah. Mendekati Stephen.

 

“Lagi baca apa?” Tanya Gilbert melihat Stephen yang sedang duduk.

“Runtuhan” Jawab Stephen yang sedang asik membaca sebuah buku.

“Reruntuhan? Itu bukan reruntuhan. Itu buku.” Ia duduk  di sebelah Stephen. Tempat duduk tersebut kosong, seakan sudah mempersiapkan diri untuk diduduki.

Stephen tetap membaca. Tidak terganggu dengan kehadiran Gilbert.

“Memangnya cuma buku saja yang bisa dibaca?” Tanya Stephen acuh, sambi tetap membaca.

Gilbert tersenyum. Ia tidak ingin berargumen mengenai hal menurutnya sepele.

“Masih menunggu Godot?” Dia kembali bertanya.

Ada jeda setelah itu.

Gilbert menaruhkan punggungnya tepat di atas punggung tempat duduk .

Stephen menutup buku dan membatasi halaman yang ia sedang baca dengan jari telunjuknya. Dia memandang Gilbert.

“Bagaimana dengan kamu? Masih menunggu Godot?” Dia membalikkan pertanyaan yang sebelumnya ditujukan kepadanya.

 

Mereka sudah ada lama di situ. Entah berapa lama. Masing-masing mengaku menunggu Godot.

Keduanya memiliki banyak deskripsi yang sama mengenai Godot,

Keduanya juga memiliki beberapa deskripsi berbeda mengenai Godot.

Perkenalan antara Stephen dan Gilbert sudah terjadi sebelumnya, di mana mereka sendiri mungkin lupa kapan pertama kali berkenalan satu sama lain. Yang pasti, mereka ada di situ karena menunggu Godot.

 

“Sepertinya menarik.” Gilbert melihat buku yang berada di tangan Stephen.

“Menarik. Sungguh menarik.” Stephen mengubah caranya duduk. Tidak lagi agak membungkuk, namun menarik punggungnya ke arah bangku. Terlihat santai, dia tampak tidak peduli tidak mendapatkan jawaban dari Gilbert mengenai pertanyaan yang dia lontarkan terakhir kali.

Berbeda dengan Stephen, Gilbert menarik badannya, punggungnya  berdiri vertikal. Kepalanya terjulur sedikit, seperti kepala seekor penyu. Dia melihat judul buku tersebut dengan jelas, bahkan membacanya di dalam hati.

“Apa judulnya?” Tanya Gilbert, walaupun dia sudah membaca judul di sampulnya.

Al-Khubz Al-Hafi” Jawab Stephen singkat.

“Yang artinya …?” Gilbert bertanya kembali, mengingatkan akan sebuah frasa yang terdengar familiar di dalam kegiatan-kegiatan agama di radio dan televisi.

Stephen kembali menutup bukunya. Dia melihat ke wajah Gilbert. Tepatnya ke matanya.

Plain Bread. Roti Tawar.”

Gilbert menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?” Gantian Stephen yang bertanya.

No, mi amigo. Artinya bukan itu. Khubz dan Hafi artinya By Bread Alone. Hanya oleh Roti saja.” Senyum yang ada di wajah Gilbert tampak mengembang. Seakan dia berbahagia telah memenangkan sesuatu.

Stephen tidak peduli.

Le Pain Nu.” Tukasnya singkat.

Senyum Gilbert semakin lebar.

“Jangan ganti topik. Kalau mau berbahasa Inggris harusnya yang benar. Kamu harusnya bilang new pain, bukan pain new.”

“Itu bahasa Perancis, bukan Inggris.”

“Hah?”

Le Pain Nu. Artinya Naked Bread. Judul film dari cerita yang ada di runtuhan ini.”

“Seperti kamu pernah menonton filmnya saja.” Gilbert mendengus pelan.

Stephen tetap terlihat menikmati bacaannya.

“Sudah” Katanya lagi. Singkat.

 

Gilbert membaringkan badannya walaupun hanya di sebuah bangku. Bangku yang sama yang ia duduki sejak bertemu Stephen. Ia memandang ke atas. Menyilangkan kedua lengannya di bawah kepalanya. Menyilangkan kedua kakinya juga.

Dia mencoba lagi, memperlihatkan bahwa dia tidak sepenuhnya salah.

“Tapi itu buku. Lebih tepatnya novel. Bukan reruntuhan.”

Stephen menggaruk alis mata kirinya sambil tetap menatap halaman di dalam buku tersebut.

“Saya tidak pernah bilang reruntuhan. Ini runtuhan.”

 

Keduanya terdiam. Mungkin sekitar beberapa menit. Entah apa yang dipikirkan mereka berdua. Waktu yang mereka jalani sekarang, mereka mengingatnya dengan jelas. Detik berlalu. Menit berlalu. Tapi keduanya seolah lupa kapan mereka pernah bertemu pertama kalinya.  Yang pasti Stephen masih membaca runtuhan di tangannya. Gilbert memikirkan sesuatu. Entah apa. Mungkin dia sendiri tidak tahu apa yang dipikirkannya.

 

Gilbert kembali membuka percakapan.

“Kenapa kamu tidak pernah mau mengalah?”

Stephen menjawab dengan pelan,”Kenapa kamu merasa kamu harus memenangkan sesuatu?”

Keduanya kembali terdiam.

Gilbert menggigit bibirnya.

“Sejujurnya, saya pernah membaca buku yang kamu sedang baca itu.”

“Yang berbahasa Inggris?” Tanya Stephen sambil menoleh ke arah Gilbert. Yang ditanya menganggukkan kepalanya.

Good for you.” Kata Stephen datar. Dia kembali membaca.

Gilbert merasa bahwa dia harus menjelaskan pandangannya tentang novel yang sedang dibaca Stephen.

“Buat saya novel yang kamu baca itu tidak menarik. Saya bisa membuat cerita lebih bagus daripada cerita si Muhammad Sukri. Perjalanan hidup yang bisa kita temui di mana saja. Gak usah jauh pergi ke Moroko. Di Indonesia banyak kok seperti itu. Orang susah itu banyak. Yang hidupnya di bawah garis kemiskinan itu jumlahnya mayoritas di seluruh dunia. Yang tidak bisa membaca dan tidak lulus sekolah dasar itu jumlahnya puluhan bahkan ratusan juta. Jutaan orang mesti pindah tempat dan mengungsi karena harus bertahan hidup. Sudah jadi makanan sehari-hari kalau ada orang menderita. Seandainya setiap orang miskin seperti si Sukri, bisa menulis novel dan mendapat penghasilan dari situ, mungkin jumlah angka orang miskin di dunia akan berkurang drastic. Intinya, novel yang kamu baca itu tidak menarik buat saya. ”

Stephen terlihat mengambil nafas pendek. Tanpa menoleh, matanya tetap memandang ke arah yang sama.

“Sekarang kamu tahu kenapa saya bilang runtuhan.”

 


 

 

Tulisan berseri ini diinspirasikan dari "Menunggu Godot"