Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Allah selalu Membela Orang Miskin?

Mirandola's picture

Allah selalu Membela Orang Miskin?

Oleh: Deky H. Y. Nggadas

Ringkasan Khotbah

Disampaikan di STT. Amanat Agung Jakarta

Rabu, 16 April 2008

 

Nats: Kel. 23:3

=====================================

kai. pe,nhta ouvk evleh,seij evn kri,sei (LXX)

s `Ab)yrIB. rD:ßh.t, al{ï ld"§w> (WTT)

Jangan membeda-bedakan orang dalam perkara pengadilan, walaupun yang diadili itu orang miskin(BIS).

Juga janganlah memihak kepada orang miskin dalam perkaranya(ITB).

=======================================

Hukum untuk Umat Allah

Keluaran 20:22 – 23:19 (yang di dalamnya ayat ini berada) biasanya disebut para ahli sebagai the book of covenant. Bagian-bagian ini memuat tentang bermacam-macam peraturan atau hukum berkenaan dengan bagaimana berelasi dengan Tuhan maupun dengan sesama.

Hukum-hukum ini jelas diberikan bukan supaya mereka menjadi umat Tuhan melainkan sebaliknya karena mereka adalah umat Tuhan. Hukum-hukum ini tidak menciptakan suatu relasi yang baru dengan Tuhan. Mereka sudah menjadi umat Tuhan karena rangkaian hukum-hukum ini diberikan di gunung Sinai, di mana sebelumnya mereka telah dibebaskan dari tangan Firaun di Mesir. Jadi hukum-hukum ini menandai perilaku mereka yang sudah berstatus sebagai umat Allah dan bukan untuk memberikan kepada mereka status tersebut.

Apa yang diajarkan hukum-hukum tersebut?

Dalam kaitannya dengan tuntutan perealisasian hukum-hukum tersebut, pada umumnya orang menganggap bahwa hukum-hukum tersebut merupakan representasi dari kehendak Allah untuk dijalankan atau untuk ditaati umat-Nya. Dengan kata lain, jika orang-orang Israel ingin mengetahui apa yang harus mereka lakukan, maka mereka harus menilik kepada hukum-hukum tersebut. Hukum-hukum ini memberikan arahan kepada umat Israel tentang bagaimana bertindak dan berperilaku sebagai umat Allah yang setia. Dan dengan melakukan atau menaatinya maka mereka memelihara keberlangsungan covenant yang nantinya mendatangkan berkat bagi mereka. Atau sebaliknya, jika mereka tidak taat atau memenuhi tuntutan hukum-hukum tersebut maka mereka akan ditimpa malapetaka/kutuk (bnd. Ul. 28).

Saya percaya bahwa cara pandang di atas adalah benar, karena pembicaraan tentang peraturan/hukum itu tidak boleh dilepaskan dari naturnya, yaitu tuntutan akan ketaatan. Meskipun demikian, ketika kita berbicara tentang hukum-hukum yang diberikan Tuhan, kita harus sadar bahwa ketika Tuhan memberikan hukum-hukum-Nya, Ia tidak hanya mengkomunikasikan tentang kehendak-Nya atau keinginan-Nya tetapi juga hukum-hukum tersebut menjadi sarana penyingkapan Diri-Nya. Pada waktu Israel menerima dan mempelajari hukum-hukum-Nya, sebenarnya pada saat yang sama mereka sedang mempelajari siapakah Allah yang memberikan hukum-hukum itu. Dengan kata lain, melalui hukum-hukum tersebut mereka tidak hanya tahu tentang apa yang harus mereka lakukan tetapi yang terpenting adalah mereka semakin mengenal siapakah yang memberikan hukum-hukum tersebut.

Pemahaman dasariah inilah yang seharusnya menuntun kita untuk meneliti serta mengeksplorasi apa yang dimaksudkan ayat ini.

Ruang lingkup dan Problematika

Sebenarnya hukum-hukum yang dibeberkan dalam Kel. 23:1-3 mengandung unsur paradigmatis atau yang biasanya dikenal dengan istilah hukum-hukum apodiktik. Artinya, ayat 1-3 sebenarnya tidak berbicara mengenai suatu hukum yang sifatnya lengkap sekali, tetapi memberikan suatu gambaran yang bersifat umum berdasarkan suatu prinsip yang berada di balik peraturan/atau hukum-hukum ini. Itulah sebabnya kita tidak menemukan penjelasan yang mendetail/lengkap sekali.

Berdasarkan informasi tersebut, seharusnya kita melihat ketiga ayat ini secara bersamaan. Namun Karen alasan tertentu, saya membatasi penjelasannya hanya kepada ayat 3. Salah satu alasan saya mengkhususkan perhatian pada ayat 3 adalah bahwa ayat 1 dan 2 biasanya tidak dipermasalahkan selama ini kecuali ayat 3. Maksud saya, ayat 3 memberikan kesan yang “agak berbeda” dibandingkan dengan kesan secara keseleruhan mengenai bagaimana sikap Allah terhadap orang miskin.

Apa yang saya sebut sebagai kesan yang “sedikit berbeda” di atas, sebenarnya bukan merupakan suatu kesan yang sengaja dimunculkan.

Perlu kita ketahui bersama bahwa beberapa komentator/penafsir termasuk para editor dari Biblia Hebraica Stuttgartensia merasa aneh dengan perintah ini, sehingga mereka mengusulkan bahwa kata dal yang berarti “orang miskin” harusnya diganti dengan kata gadol¾ yang berarti “great atau important”. Padahal ayat ini sama sekali tidak mengandung permasalahan tekstual yang olehnya kita harus mempertimbangkan usulan tersebut. Lalu mengapa mereka mengajukan usulan ini?

Saya menduga bahwa usulan di atas sebenarnya dilatarbelakangi oleh perhatian yang berlebihan terhadap catatan-catatan Alkitab di mana Allah seolah-olah ditampilkan selalu berada di pihak orang-orang miskin. Kita mungkin sudah terbiasa mendengar Yesaya 61:1-2 yang kemudian dikutip dalam Lukas 4:18-19: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dst”. Dan ketika kutipan ini kita jelaskan maka kita akan berkata bahwa kutipan ini konsisten dengan salah satu karakteristik Injil Lukas yang terkait dengan isu sosio-ekonomis. Apalagi di dalam bagian-bagian paralelnya, kutipan ini tidak muncul. Dalam kitab Keluaran, Allah bahkan mengeluarkan peraturan supaya orang miskin jangan sampai dipersulit karena keberadaan mereka. Pasal 22:25 berbunyi: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya” (bnd. Kel. 23:6).Di sisi lain, kita tahu bahwa salah satu isu yang menjadi indikator lahirnya gerakan social gospel adalah isu kemiskinan. Mereka menuduh gereja telah menutup mata terhadap problematika kekinian dan lebih tendens untuk berbicara tentang suatu dunia yang akan datang. Gereja dianggap mampu menyajikan khotbah-khotbah yang enak didengar tetapi tidak enak diperut. Di mana-mana kita selalu berhadapan dengan problem kemiskinan. Di jalanan, di kolong-kolong jembatan, di sudut kota. Mereka mencari dukungan dari Alkitab untuk maksud ini dan mata mereka segera terbuka untuk melihat bahwa ternyata isu sosio-ekonomis mendapat dukungan dari banyak bagian Alkitab. Itulah sebabnya, bunyi ayat ini dirasakan sebagai suatu ketidakkonsistenan dengan gambaran Alkitab tentang sikap Allah terhadap orang miskin.

Maksud Ayat ini

Apakah yang dimaksudkan ayat ini? Apakah orang-orang Israel diajak untuk mengabaikan kepentingan orang miskin dan dengan demikian menjadikannya berkontradiksi dengan bagian-bagian lain dari Alkitab? Apakah yang sebenarnya sedang disampaikan Allah melalui ayat ini?

1. Perhatikan bahwa ayat ini disampaikan dalam konteks judicial (atau yang terkait dengan pengadilan). Berdasarkan konteksnya, maka ayat ini sebenarnya menyatakan bahwa benar atau salahnya seseorang tidak boleh diputuskan berdasarkan status sosialnya. Jadi, katakanlah kalau kita menerima usulan di atas bahwa kata dal itu seharusnya diganti dengan kata gadol pun, prinsip ini tetap berlaku. Kenapa? Karena ayat ini tidak sedang membahas suatu isu sosio-ekonomis tetapi sebenarnya sedang menekankan bahwa apa yang sudah dilakukan oleh seseorang, itulah yang menentukan konsekuensi apa yang harus ia tanggung.

2. Prinisip ini juga dapat kita lihat dalam penggunaan kata dal pada ayat ini. Apa maksudnya? Kata dal digunakan dalam PL dalam pengertian yang bervariasi. Kata ini bisa berarti “orang yang sangat miskin/melarat” (Ams. 10:15); “orang yang lemah secara sosial” (Amos 2:7). Biasanya orang-orang seperti ini dikontraskan dengan orang-orang kaya (Kel. 30:15; Ruth 3:10) dan orang-orang penting (Lev 19:5). Beberapa kali kata ini digunakan juga dalam pengertian “miskin secara rohani” (bnd. Yer. 5:4). Kata dal dalam ayat ini lebih terkait dengan orang-orang yang kesulitan secara ekonomis atau orang-orang miskin/lemah. Tetapi menarik untuk diperhatikan bahwa kata dal ini diterjemahkan ke dalam Septuaginta (LXX) dengan kata peneta (dari kata penes) dan bukan dengan kata ptokhos. Kita tahu bahwa baik penes atau pun ptokhos sama-sama berarti “miskin”. Meskipun demikian, kata ptokos itu lebih banyak digunakan untuk para pengemis, sedangkan kata penes lebih berhubungan dengan orang-orang yang walaupun miskin tetapi bekerja keras untuk menghidupi hidup mereka. Itu berarti bahwa orang-orang miskin yang disinggung dalam ayat ini bukanlah orang-orang yang suka menarik simpati masyarakat sekitar mereka dengan keberadaan mereka yang miskin, melainkan orang-orang yang berjuang keras untuk hidup mereka. Hanya saja mereka “belum beruntung”. Dengan demikian, kita melihat ketegasan perintah ini agar keadilan itu tetap ditegakkan tanpa dipengaruhi oleh rasa simpati kepada sisi positif dari orang yang sedang diadili.Oleh karena itu, Terjemahan BIS sangat tepat menegaskan maksud ayat ini: “Jangan membedakan orang dalam perkara pengadilan walaupun yang diadili itu adalah orang miskin”.

 

Penekanan utama dari ayat ini adalah keadilan Allah tidak boleh dikompromikan atas alasan apa pun. Jadi standar keadilan Allah lah yang harus digunakan untuk menilai suatu tindakan itu benar atau salah. Pertimbangan ekonomis, sosiologis, psikologis, atau apa pun tidak boleh menggantikan standar ini.

Yang kita pelajari dari ayat ini

Kita mungkin berpikir tentang relevansi ayat ini bagi kita. Mungkin ada yang berpikir bahwa kita bukan hakim yang bertugas untuk memutuskan suatu perkara; kita juga tidak dipanggil untuk menghakimi, bahkan sebaliknya kita dilarang untuk menghakimi (Mat. 7:1). Lalu apa kaitan ayat ini bagi kita?

1. Terkait dengan penjelasan saya di awal renungan ini, saya melihat bahwa melalui ayat ini kita dapat belajar tentang Allah. Ternyata Allah yang kita sembah adalah Allah yang tidak mengorbankan keadilannya untuk alasan apa pun. Dia adalah Allah yang penuh belas kasih. Itu jelas terlihat dalam catatan Alkitab. Tetapi Dia juga adalah Allah yang adil sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat ini. Peter Enns menulis, “God is not ‘on the side of the poor no matter what.” Allah adalah Allah yang adil. Menjadikan “kemiskinan” sebagai alasan untuk mengendorkan keadilan Allah adalah harga yang terlalu mahal. Sesunguhnya tuntutan keadilan Allah adalah sempurnya adanya. Dan sekali-kali Ia tidak akan memalingkan wajah-Nya murka karena keadilanya dinodai, sampai tuntutan itu benar-benar lunas terbayar.

2. Dan berbicara demikian berarti secara implisit berbicara tentang keberadaan kita. Karena kita diingatkan sekali lagi akan tuntutan keadilan Allah yang tidak mungkin dikompromikan itu kita seharusnya segera menyadari bahwa segala sesuatu yang tidak benar atau yang tidak berkenan kepada Tuhan akan dihakimi oleh Tuhan. Dan berita buruknya adalah tidak ada satu di antara kita pun yang dapat menyebut diri orang benar. Konsekuensinya adalah bahwa standar keadilan Allah yang sungguh sempurna itu, menempatkan kita semua pada posisi sebagai orang-orang yang harus dihukum.

3. Maka bagi saya, berbicara tentang tuntutan kesempurnaan keadilan Allah yang terungkap melalui ayat ini, seharusnya terus mendorong kita untuk hanya bersandar kepada Kristus saja. Karena bukan oleh kebenaran kita sendiri kita dibenarkan melainkan karena kebenaran Kristus diimputasikan (diperhitungkan) kepada kita.

Hari ini pengajaran tentang Allah yang adil yang salah satunya diajarkan melalui ayat ini, mengingatkan kita akan ketidakberdayaan kita di hadapan Allah. Ayat ini juga mengkonfirmasikan akan kebutuhan kita terhadap kasih karunia Allah di dalam Kristus. Kristus adalah kebenaran kita. Maka sangat tepat, jika Alkitab berkata: hanya oleh kasih karunia kita diselamatkan. Percayakah saudara akan hal ini?

__________________

<td <