Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Antara Fakta, Etika, dan Kebenaran

Ulah's picture

Ketika saya menyampaikan materi tentang Etika dalam sebuah diklat, seorang peserta bertanya apakah kaitan antara fakta, etika, dan kebenaran.  Mau tidak mau saya harus berpikir kembali, setidaknya menebak kemana arah pertanyaan tersebut. Pengertian etika telah saya berikan dengan berbagai teori yang pernah saya pelajari.  Akan tetapi, teori tersebut tampaknya belum memuaskan sebagian orang.  Oleh karena itu, saya harus membenahi kembali pemahaman peserta tentang etika.
Banyak yang memberikan konsep dan definisi tentang etika untuk memudahkan pemahaman dan pengertian tentang etika.  Bahkan ketika harus mengelompokkan etika tersebut, maka berbagai pendekatan telah diberikan.  Etika dalam pengertian teologis, sosiologis, naturalis, dan sebagainya.  Namun demikian, benang merah yang ada tak lain adalah tentang nilai ataupun norma yang telah disepakati dalam sebuah komunitas.  Nyatabya, etika tidak selalu merujuk pada kebenaran atau fakta.  Akan tetapi, etika hanyalah untuk mengatur sistem yang bisa diterima bersama dalam anggota komunitas.
Fakta yang terjadi dan berbeda dengan nilai yang terkandung dalam sebuah etika yang telah ditetapkan tak lain hanyalah menjadi fakta negatif.  Sementara kebenaran yang memiliki relativitas nilai harus diselaraskan dengan nilai yang telah dimiliki.
Kasus I. Akhir Oktober ini, RUU pornografi hendak digulirkan menjadi UU.  Sebuah etika baru akan dibangun dengan UU.  Meskipun faktanya menunjukkan bahwa RUU tersebut tidak didukung oleh seluruh lapisan masyarakat, namun etika baru tetap hendak diterapkan.  Kebenaran teologis yang diyakini oleh sebagian warga negara akan mendapat pengecualian, sebagai kata lain adanya penyimpangan etika menurut UU. 
Bila mengingat rangkaian peristiwa yang melatarbelakangi munculnya RUU, maka akan dapat dikatakan bahwa telah terjadi sebuah kegagalan dalam masyarakat yang ”agamis”.  Satu kebenaran yang sangat dilupakan dan mungkin juga tidak akan pernah diakui adalah kegagalan nilai-nilai agama dalam menangkis pengaruh globalisasi informasi.  Semua tahu, bahwa setiap agama mengatur etika kehidupan umatnya.  Dalam kekristenan ada etika kristiani, dalam Islam terdapat etika islami, dan sebagainya.  Secara umum etika yang didasarkan pada nilai-nilai agama sering disebut dengan etika teologis.  Dalam etika teologis, selalu diatur bagaimana umat bersikap, bertindak, maupun berperilaku.  Tampaknya etika teologis yang ditanamkan sejak dini dan menjadi ”proyek” besar para tokoh agama telah mengalami kegagalan.  Apakah ceramah agama dan peran tokoh agama yang menjadi pilar utama penangkalan pengaruh negatif globalisasi informasi telah tumpul? Merupakan pertanyaan yang patut dijawab oleh para ulama.  Ataukah ada faktor lain yang menjadi pemicu terjadinya tindakan yang mengarah pada pornografi dan pronoaksi merupakan pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban dari para sosiolog.  Pergeseran nilai telah terjadi dalam masyarakat kita.  Contoh sederhana, adalah dalam perfilman.  Ketika saya masih kecil, adegan perciuman antara dua orang kekasih akan menjadi sorakan penonton.  Namun saat ini, adegan itu menjadi menu sehari-hari dalam persinetronan kita.
Kasus II. Awal November ini eksekusi mati terhadap pelaku bom Bali I telah ditetapkan. Kebenaran relatif yang dimiliki oleh para pelaku telah dikalahkan dengan etika kenegaraan.  Kebernaran bahwa mereka melakukan pembunuhan bahkan dianggap sebagai syuhada, telah disalahkan dengan stigma teroris.  Stigma yang lahir dari sebuah etika global tentang perilaku kehidupan antar manusia.  Katakanlah bahwa Hak Asasi Manusia sebagai ukuran etika kemanusiaan, maka keyakinan dan kebenaran yang dimiliki oleh siapapun dan dimanapun akan diruntuhkan.
Siapakah yang berhak menghilangkan nyawa manusia? Pertanyaan yang sering dilontarkan oleh banyak pihak.  Negarakah, agamakah, atau perorangan.  Tentunya yang berhak menghilangkan nyawa adalah yang memiliki nyawa,  Kita, para manusia juga tidak memiliki nyawa, hanyalah memiliki hak untuk menggunakan bagi kehidupan.  Pemiliknya tak lain hanyalah Tuhan.  Ini merupakan kebenaran teologis yang dimiliki oleh seluruh agama.  Namun kebenaran ini harus diselaraskan dengan etika yang ada.  Apalah artinya kebenaran dan fakta ketika tidak selaras dengan etika? Hanya sebuah fakta negatif dan kebenaran non-positif.
Sejujurnya saya teringat kembali dengan eksekusi mati terhadap Tibo cs.  Fakta menunjukkan masih banyak perbedaan rangkaian peristiwa yang menggambarkan kondisi sesungguhnya.  Namun, sumber utama telah ditiadakan dengan disukabumikan, maka telah hilanglah informasi yang sesungguhnya.  Etika mana yang harus kita bangun? Etika mayoritas atau etika berdasarkan kebenaran dan fakta, masih merupakan pertanyaan dalam pembahasan etika.
Sebuah kebenaran yang tidak sejalan dengan etika yang dibangun tak lain hanyalah sebuah kebenaran yang tidak etis.  Sebaliknya, etika yang dibangun dengan mengabaikan kebenaran hanyalah etika yang tidak benar.  Demikian juga, fakta yang tidak selaras dengan etika dapat dikatakan fakta yang tidak etis, sedangkan etika yang tidak didukung dengan fakta yang adalah hanyalah etika yang tidak faktual.  Keselarasan fakta, kebenaran, dan etika sangat diperlukan.  Termasuk dalam etika kristiani.