Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Betawi Expedition:Kopdar Komunitas Penjunan

Purnawan Kristanto's picture

"Masih berani naik Hercules, mas?" Bayu Probo mengirim pesan lewat Yahoo Messenger [YM], Rabu siang [20/5]. Aku tahu maksudnya. Dia pasti hendak mengingatkan obsesi yang pernah aku sampaikan pada Workshop Menulis Buku dan Kopi Darat Komunitas Penjunan. Saat itu aku katakan bahwa salah satu obsesiku adalah naik helikopter dan pesawat Hercules. Bayu mungkin penasaran apakah aku masih terobsesi, atau lebih tepatnya masih bernyali, menaiki kuda beban terbang itu.

Dalam workshop menulis itu, aku mengajak peserta untuk menulis profil dirinya secara singkat, termasuk di dalamnya cita-cita dan obsesi mereka. Sebagai permulaan, aku memulai membacakan profil diriku, termasuk obsesiku:

  1. Mendirikan stasiun radio rohani 24 jam
  2. Naik Hercules dan Helikopter.
  3. Mengunjungi Toba, Toraja, Bunaken, Lombok dan Papua.

****

Selesai workshop, agenda berikutnya adalah kopi darat milis Komunitas Penjunan [Penulis dan Jurnalis Nasrani]. Tempat pertemuannya adalah di café toko buku Gramedia di Grand Indonesia. Satu-satunya orang yang membawa kendaraan adalah bung Darsum Sansulung. Padahal kami ada berenam. Kami lalu berunding sejenak bagaimana baiknya. Akhirnya, diputuskan untuk mencoba masuk semua ke dalam mobil sedan itu. Bersesakan sebentar tak apalah, yang penting bisa sampai tujuan.

Persoalan baru muncul. Satu-satunya pintu mobil yang bisa dibuka adalah pintu di sebelah kanan, pintu sopir. Maka dimulai perjuangan masuk dalam mobil yang bernuansa komedi slapstick. Jok untuk sopir dilipat ke muka. Mula-mula aku masuk dan duduk di kursi belakang paling kiri. Kemudian Ita Siregar dipersilakan duduk di kursi depan, di samping kiri. Dia sudah berusaha keras masuk, tapi akhirnya menyerah. Mungkin karena terhambat oleh gaun dan sepatunya. Maka pak Binsar diminta mencoba masuk. Setelah berjuang dengan menekuk lutut, menundukkan kepala dan mengingsutkan pantat ke samping, maka peneliti bidang politik ini berhasil mencapai kursi depan sebelah kiri.

Bayu Probo dan Ita Siregar mengangsurkan pantat mereka di sampingku. Kemudian dikunci oleh Krismariana. Empat orang dalam satu deret di bangku belakang!

***

Perjalanan menuju Grand Indonesia cukup lancar. Sinar matahari sudah redup, digantikan neon dan bohlam kota. Mobil diparkir di Lower Ground dan ditinggalkan tanpa mengunci pintu. "Hari ini kita mematahkan dua mitos," kata bung Darsum.

"Apa itu?" tanya kami hampir serempak.

"Pertama, mitos bahwa bagasi pesawat itu rawan pencurian. Buktinya, kamera dan PDA mas Wawan tetap aman," kata Managing Editor GO LITE Resources ini.

"Yang kedua apa?"

"Kedua, mitos bahwa pintu mobil harus dikunci supaya tidak dimaling," jawab bung Darsum. "Buktinya, dari tadi pagi mobilku tetap utuh meski kunci pintu mobil tidak berfungsi," lanjutnya sambil tertawa.

"Di Jogja, ada cara jitu supaya sepeda motor tidak dimaling," kataku.

"Bagaimana caranya?" tanya ito Ita.

"Parkirkan sepeda motor kita di samping sepeda motor yang lebih bagus atau lebih mahal. Sama-sama punya risiko, paling pasti memilih menyikat sepeda motor sebelah daripada milik kita," jawabku sambil kami menunggu lift.

Kami naik ke lantai 3a. Sebenarnya, ini lantai 4, tetapi entah mengapa, pengelola tidak berani menamai dengan lantai 4. Mungkin karena mitos seperti pada hotel yang takut pada angka 13.

Keluar dari lift, kami disambut suasana hiruk-pikuk akhir pekan. Orang Jakarta dahaga hiburan untuk menghalau stress lima hari kerja. Uniknya, lantai yang kami lalui didesain mirip jalan biasa. Lantainya terbuat dari aspal. Bahkan supaya kelihatan lebih nyata, ada bagian-bagian tertentu yang berlubang. Entah ini disengaja untuk menyindir kondisi jalan di luar atau memang karena sudah rusak. "Kalau mau lebih mirip lagi, mestinya dibuat selokan yang mampet dan berbau," candaku kepada mas Bayu.

Setelah berputar-putar lebih dari sepuluh menit, kelihatannya kami kesasar. Kesasar di tengah mal. Kedengarannya ironi, tapi nyata. Dengan bertanya pada penjaga toko, kami ditunjukkan arah yang tepat. Itu dia, ada papan penunjuk di dekat tangga elevator. Panahnya menunjuk ke atas. Oh, berarti harus naik satu lantai lagi. Kami menaiki elevator dan celingak-celinguk mencari lokasi Gramedia.

"Tampaknya kita salah arah," kata bung Darsum.

"Kita sudah benar," ujar pak Binsar, "panahnya tadi menunjuk ke atas."

"Kalau ke atas itu artinya kita harus berjalan lurus, bukannya naik ke atas," sahut bung Darsum.

"Kita tanya lagi saja deh pada karyawan di sini," usulku.

Pak Binsar bertanya pada penjaga stand eletronik. Bung Darsum benar. Mestinya kami lurus, bukan naik. Kami pun turun menggunakan elevator dan pintu masuk Gramedia sudah tampak di depan kami.

Kopdar

Berfoto sejenak di depan pintu masuk, kemudian kami berpencar melihat-lihat buku sambil menunggu kedatangan Okta Wiguna dan Ayub Bansole yang sedang dalam perjalanan.  Aku coba mencari komik Thinkerbell buat oleh-oleh Kirana. Aku sudah melihat buku ini di Gramedia Amplaz, Jogja, tapi urung beli. Aku pikir koleksi di Jakarta lebih lengkap. Ternyata perkiraanku luput.

Lepas pukul 6 sore, Okta menelepon Ita kalau sudah menunggu di café Gramedia. Kami pun menuju ke sana.

Okta sudah sampai dan kami saling berjabat tangan.

"Hei waktu pertemuan terakhir itu, aku lupa menyimpan nomor HP-mu," sapa Okta pada Krismariana.

Muka Krismariana berkerut heran.

Olala...ternyata Okta telah salah orang. Dia pikir Krismariana itu Mita Sirait yang ikut dalam pertemuan Komunitas Penjunan tahun lalu di Wisma Kana. Setelah tahu duduk persoalannya, kami tertawa bersama. Awal yang mengesankan untuk sebuah perkenalan.

Kami lalu mencari tempat duduk yang nyaman. Aku duduk di dekat jendela. Dari sini aku dapat melihat Wisma Nusantara, studio TV One.

"Mas Wawan ingin menyampaikan kabar ke kampung, tidak?" tanya bung Darsum.

"Maksudnya bagaimana?" tanyaku tak mengerti.

"Pukul sembilan nanti, TV One memulai acara Apa Kabar Indonesia secara langsung dari Wisma Nusantara itu. Kalau mau, mas Wawan kirim SMS kepada orang di rumah supaya menonton TV One, lalu kita mondar-mondar di depan kamera supaya masuk TV" usul bung Darsum ngakak.

"Ha...ha...ha... aku mah sudah pernah masuk TV, di acara I Witness Metro," sahutku.

Pelayan café datang sambil menyodorkan daftar menu. Wow....Jakarta memang mahal. Segelas tee manis saja dibandrol Rp. 20 ribu. Padahal kalau di Klaten, the poci paling mahal cuma Rp. 3 ribu dan boleh jak-jok (minta tambah air panas gratis). Aku memesan teh hijau, yang semula aku pikir diseduh secara tradisional Jepang, tapi ternyata berwujud teh celup. Ita Siregar memesan nasi goreng, tapi tidak ada. Dia lalu meminta spaghetti. Kelihatannya enak. Aku pun pesan serupa.
Kopdar Penjunan

Aku mengeluarkan laptop dan berhasil menggaet koneksi wi fi. Aku segera unggah foto aktivitas kami hari ini di Facebook. Tak lupa menyalin berkas-berkas foto dari kamera ito Ita.

Berbagai topik mengalir bebas. Kadang serius, kadang bercanda, lalu kembali ke laptop. Darsum mengusulkan beberapa poin untuk memajukan dunia pelayanan literatur di Indonesia. Aku menanggapinya, sebaiknya kita menyusun rencana ini secara serius. Maka disepakati untuk mengadakan pertemuan lagi dengan menginap supaya dapat bekerja secara intensif.

Separuh lama pertemuan, Ayub Bansole muncul. Pemuda dari wilayah Timor ini membagikan buku yang ditulisnya, yang diterbitkan Metanoia. Lengkap dengan tanda tangan pengarangnya. Terimakasih bung Ayub.

Sejurus kemudian Krismariana pamitan karena harus pulang dengan angkutan umum. Kami melanjutkan obrolan santai. Menjelang pukul sembilan malam, pertemuan diakhiri dengan memuaskan hasrat narsis dengan berfoto bersama.
Photobucket
Dalam perjalanan menuju tempat parkir bung Darsum bertanya,"Mau menonton air mancur, nggak?"

Wah rupanya dia sedang menyindir orang udik nih, batinku. "Kalau hanya air mancur mah, di Jawa juga banyak," jawabku.

"Yang ini lain, mas. Air mancurnya bisa menari," katanya meyakinkan.

"Halah, paling-paling cuma seperti air mancur di tugu Monas," sahutku enggan.

"Lihat tuh, ada banyak orang yang siap-siap menonton," tunjuk bung Darsum.

Benar juga, ada banyak orang berbondong-bondong menuju satu tempat.

Aku menjadi penasaran, apa sih istimewanya air mancur ini. Tidak ada ruginya mencoba menonton. Maka kami pun mengekor arus penonton itu. Sesampainya di sana, pertunjukan sudah mulai. Aku segera mengeluarkan kamera video dan merekamnya. Pertunjukkan yang spektakuler. Yang aku kagumi adalah programmer komputer yang sangat fasih memadukan antara musik, cahaya dan gerak kinetik air mancur sehingga membentuk paduan yang harmonis. Menurut bung Darsum, pertunjukan ini digelar setiap satu jam sekali.

Di parkiran, sekali lagi diulang segmen komedik perjuangan masuk dalam mobil. Bedanya, bangku belakang lebih lega karena penumpangnya berkurang satu. Mula-mula kami menghantar mas Bayu Probo ke kos-nya di Kwitang. Setelah itu meluncur ke Rawamangun untuk menyampaikan Ita. Berikutnya, aku dan pak Binsar turun di Cililtan. Setiap kali menurunkan penumpang, maka kami harus ekstra hati-hati karena harus melewati pintu di sebelah kanan. Lengah sedikit, bisa disambar kendaraan dari belakang.

Meskipun tubuh capek, kurang tidur, tapi hati puas. Hari ini aku telah bertemu dengan teman-teman sepelayanan. Perjumpaan seperti ini sangat perlu untuk mengingatkan dan meyakinkan bahwa aku tidak sendirian dalam dunia pelayanan ini.

***

Aku puaskan tubuhku dengan tidur sepuasnya. Aku sengaja bermalas-malasan dan bangun pukul sepuluh. Begitu bangun, segelas teh manis panas sudah terhidang. Mertuaku emang sangat baik dan penuh pengertian. Kami mengobrol santai, ditemani dik Winny, adik iparku.

Tengah hari, aku sudah mandi, sarapan, dan berkemas untuk pulang. Dihantar pak Rizal dengan sepeda motor ojeknya, aku menuju terminal Kampung Rambutan untuk mengejar  bis Damri khusus ke airport. Aku turun di terminal 3. Selesai check in, aku nikmati suasana terminal yang baru saja diresmikan itu. Mumpung masih baru dan terawat. Entah kalau dua atau tiga tahun lagi. Apakah masih akan tetap sekinclong dan sewangi ini.
Photobucket

Photobucket

Pesawat yang kutumpangi "hanya" terlambat 15 menit. Panggilan dari pengeras suara memberi komando pada penumpang untuk antre di pintu C. Namun rupanya tidak dapat segera masuk ke pesawat karena prioritas pertama diberikan kepada pemegang tiket "Express Boarding". Dengan membayar lebih mahal, maka kita didahulukan dari antrean. Rupanya dalam penerbangan murah, apa saja yang bisa dijadikan duit, harus dimanfaatkan secara optimal. Sebagai contoh, selain express boarding, maka kita harus membauar ekstra jika ingin mendapatkan makanan atau minuman di pesawat, memasukkan bawaan ke dalam bagasi, memilih kursi favorit dan asuransi penerbangan.

Cukup lama kami menunggu di antrean. Pundakku terasa pegal karena digelayuti laptop dan kamera video. Fiuuh....akhirnya pintu itu dibuka juga.

Penerbangan ke Jogja diwarnai gangguan cuaca. Di tengah perjalanan, pesawat agak terguncang-guncang. Selebihnya mulus. Aku berhasil mendapatkan flashdisk unik yang kuinginkan.

***

Sebelum meninggalkan bandara, aku mampir ke kios penjual donat untuk memesan satu paket donat mini. Aku tidak sempat berbelanja oleh-oleh di Jakarta.

Stasiun Maguwo yang hanya berjarak 500 meter. Aku masih harus menumpang kereta Pramex meskipun harus menunggu 45 menit lagi. Tak apa-apa, toh aku tidak terburu-buru. Kereta komuter itu datang tepat waktu. Aku tidak mendapat tempat duduk, meski gerbong tidak sesak. Aku putuskan untuk duduk lesehan. Di depanku, kondektur sedang memeriksa karcis. Sesampai di ujung gerbong, ada penumpang yang tidak memiliki karcis. Dia hanya menyalami sang kondektur. Sang kondektur kemudian memasukkan tangannya ke saku celana. Aku maklum apa yang terjadi.

Photobucket
***

Pukul 18.30, aku sudah berbaring di kasurku yang nyaman. Istriku belum pulang dari pelayanannya.

 

Baca Juga:

  1. Betawi Expedition:Workshop
  2. Kopdar SS 15 Mei 2009
  3. Betawi Expedition

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways