Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Eksposisi Roma 1:19-20: MURKA ALLAH KEPADA MANUSIA-2

Denny Teguh S-GRII Andhika's picture

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-2


Murka Allah Kepada Manusia-2

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 1:19-20

 

 

Setelah kita membahas tentang realita murka Allah atas segala kefasikan dan kelaliman manusia yang menindas kebenaran dengan kelaliman di ayat 18, maka sekarang kita akan mencoba mengerti sebenarnya apakah tindakan manusia yang berani menindas kebenaran dengan kelaliman itu disebabkan karena mereka tidak mengerti atau memang pada dasarnya mereka memberontak ? Kalau kita melihat dengan jelas di ayat 19, Paulus mengungkapkan, “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka.” atau terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) mengartikannya, “Apa yang dapat diketahui manusia tentang Allah sudah jelas di dalam hati nurani manusia, sebab Allah sendiri sudah menyatakan itu kepada manusia.” Dengan kata lain, sebenarnya manusia bukan tidak mengetahui tentang keberadaan Allah, tetapi mereka sebenarnya sedang menolak kebenaran. Kebenaran Allah sudah ditanamkan-Nya ke dalam diri manusia. Itulah yang disebut sebagai wahyu umum (general revelation) di dalam theologia Reformed. Apakah bentuk wahyu umum itu ? Ayat 19-20 menjabarkan kedua hal ini. Pertama, hati nurani. Alkitab terjemahan BIS lebih jelas mengungkapkan bahwa pengetahuan manusia tentang Allah diperoleh bukan melalui pendidikan agama atau budi pekerti, tetapi dari hati nurani. Seperti kata John Calvin bahwa di dalam diri manusia ada sense of divinity (sensus divinitatis) atau pengertian tentang keberadaan Allah, maka tidak ada seorangpun yang dengan mulutnya berani mengucapkan bahwa Allah itu tidak ada. Dengan kata lain, atheisme itu sebenarnya tidak ada, yang ada mungkin hanyalah atheisme praktis. Kembali, hati nurani menjadi wakil kebenaran Allah di dalam diri manusia. Hati nurani menjadi penghakim atas keberdosaan manusia. Ketika manusia ingin berbuat dosa, hati nurani sebagai wakil Allah, seperti yang dikemukakan Salomo di dalam Amsal 20:27, “Roh manusia adalah pelita TUHAN, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya.” atau terjemahan BIS mengartikannya, “Hati nurani manusia merupakan terang dari TUHAN yang menyoroti seluruh batin.” Kata “roh” di sini dalam bahasa Ibrani tidak menggunakan kata ruach, tetapi kata nesha?ma?h (dipakai sebanyak 6x di dalam Perjanjian Lama dan diartikan {embusan} nafas atau breath, dll) yang berarti tiupan/hembusan (puff). Kata “roh” ini sama artinya dengan jiwa dan juga dipakai dengan kata “hati nurani” menurut BIS. Jadi, di dalam diri manusia ada wakil Allah yang berfungsi menerangi seluruh keberadaan manusia dari dalam. Sehingga ketika mereka ingin berbuat dosa, hati nurani langsung bereaksi mengingatkan mereka beberapa kali, tetapi sayangnya manusia yang sudah berdosa sudah tidak bisa dibendung lagi keinginan berdosanya, sehingga mereka lepas kontrol dan tidak lagi mengikuti hati nurani mereka. Mereka ingin melakukan apapun yang mereka senangi, tanpa menghiraukan lagi suara hati nurani. Ketika manusia berbuat dosa, seluruh potensi diri manusia menjadi rusak total, termasuk hati nurani. Kita melihat konteks Amsal 20:27, di mana ayat-ayat sebelumnya, Salomo memaparkan kekejian manusia (dalam hal perkataan dan perbuatan), lalu ia menyimpulkan bahwa kekejian itu sebenarnya berasal dari hati nurani yang jahat, sehingga ia mengingatkan bahwa hati nurani yang murni adalah pelita/terang Allah atau wakil Allah yang menerangi seluruh batin/lubuk hatinya. Pdt. Dr. Stephen Tong memaparkan bahwa hati nurani itu dipengaruhi oleh lingkungan, kebudayaan, agama, dll. Dengan kata lain, hati nurani manusia sudah dipengaruhi unsur dari luar. Tetapi akibat dosa, respon manusia yang berdosa terhadap wahyu umum Allah secara internal yang menghasilkan sifat-sifat agama pun telah rusak. Tidak heran, seorang theolog ternama abad ini, Dr. John R. W. Stott mengungkapkan bahwa agama itu sebenarnya bukan mencari Allah, tetapi melarikan diri dari Allah. Ini benar. Agama-agama yang seharusnya merupakan respon manusia terhadap wahyu umum Allah yang murni telah dirusak oleh dosa, sehingga banyak agama bukan lagi mencari Allah sejati di dalam Kristus, tetapi justru melarikan diri dari-Nya dengan menciptakan ilah-ilah (yang non-personal) yang dianggap seperti “Allah” lalu disembah. Ini jiwa manusia berdosa yang ingin menggantikan Allah dengan ilah-ilah (hal ini akan dibahas pada eksposisi Roma pada ayat-ayat selanjutnya).

 

Terhadap mereka yang telah menyelewengkan fungsi hati nurani inilah, murka Allah dinyatakan. Dari Perjanjian Lama, kita melihat cukup banyak contoh mengenai murka Allah berkenaan dengan penyelewengan hati nurani. Ketika Hawa melihat buah pengetahuan baik dan jahat, pertama kali dari dalam hatinya lah timbul keinginan untuk mengambil buah pengetahuan yang baik dan jahat (Kejadian 3:6a, kata “menarik hati”). Dari dalam hati lah, manusia ingin berbuat sesuatu entah itu baik atau jahat. Kepada Hawa lah, Allah menjatuhkan murka-Nya dengan mengutuk Hawa dengan sakit bersalin, begitu pula dengan Adam dan ular. Contoh kedua, ketika Abimelekh ingin menghampiri/meniduri Sara, Allah berkata kepada Abimelekh bahwa ia akan mati kalau berbuat demikian, lalu Abimelekh berdalih, “Tuhan, saya tidak bersalah! Apakah Tuhan akan membinasakan saya dan bangsaku? Abraham sendiri mengatakan bahwa wanita itu adiknya, dan wanita itu berkata demikian juga. Saya telah melakukan hal itu dengan hati nurani yang bersih, jadi aku tidak bersalah.” (Kejadian 20:4-5 ; BIS) Lalu jawab Tuhan, “Memang, Aku tahu bahwa engkau melakukannya dengan hati nurani yang bersih. Karena itu Aku telah mencegah engkau berbuat dosa terhadap Aku, dan tidak Kubiarkan engkau menjamah wanita itu. Tetapi sekarang, kembalikanlah dia kepada suaminya. Suaminya seorang nabi, dan ia akan berdoa untukmu supaya engkau tidak mati. Tetapi jika engkau tidak mengembalikannya, ingat, engkau dan seluruh rakyatmu akan mati!” (Kejadian 20:6-7 ; BIS) Akhirnya, Abimelekh dengan hati nuraninya menaati Tuhan. Ketika hati nurani kita taat kepada Tuhan, maka Tuhan tidak akan menghukum, tetapi jika dari hati nurani kita sudah memberontak kepada Allah, maka seperti yang dikatakan-Nya kepada Abimelekh, maka Ia akan menghukum mati kita. Tidak ada kompromi. Jangan mengira bahwa ketika hati nurani kita beres untuk “membantu” Allah, maka otomatis itu baik di mata Tuhan. Ada contoh di dalam Perjanjian Lama, ketika ada seorang yang membantu mengangkat tabut perjanjian Allah yang akan jatuh dengan memegangnya, maka orang itu langsung dihajar Tuhan sampai mati. Tidak ada kompromi, kekudusan-Nya tidak bisa dipermainkan. Lalu, bagaimana jalan keluar dari hati nurani yang sudah terpolusi dosa ? Dengan berbuat baik ? TIDAK. Alkitab mengajarkan, “betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup.” (Ibrani 9:14) Hati nurani yang sudah rusak akibat dosa tidak dapat diperbaiki dengan upacara-upacara ritual agama (konteks surat Ibrani adalah upacara-upacara Yudaisme—lihat ayat-ayat sebelumnya di dalam Ibrani 9), tetapi hanya melalui darah Anak Domba Allah dan pekerjaan Roh Kudus yang mengefekftikan karya penebusan Kristus ke dalam hati anak-anak-Nya. Puji Tuhan, hanya darah Kristus yang sanggup menyucikan diri kita termasuk hati nurani kita sehingga dengan hati nurani yang sudah dikuduskan, kita dapat melayani Tuhan Allah dengan motivasi dan tujuan yang beres, hal ini tentu berbeda dengan kondisi hati nurani kita yang dulu yang dicemari dosa yang ingin “memanfaatkan” Allah untuk kepentingan kita sendiri.

 

Lalu, kedua, meminjam pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong, wujud kedua wahyu umum Allah secara eksternal yaitu alam semesta. Alkitab mengajarkan, “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.” atau terjemahan BIS mengartikannya, “Semenjak Allah menciptakan dunia, sifat-sifat Allah yang tidak kelihatan, yaitu keadaan-Nya sebagai Allah dan kuasa-Nya yang abadi, sudah dapat difahami oleh manusia melalui semua yang telah diciptakan. Jadi manusia sama sekali tidak punya alasan untuk membenarkan diri.” Di dalam ayat ini, di dalam alam semesta, Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia yaitu tentang kekuatan-Nya yang kekal dan keilahan-Nya. Di dalam alam semesta, kita melihat karya Allah yang Mahadahsyat, mulai dari menciptakan dan mengatur alam semesta ini. Science membuktikan bahwa jarak bumi dari matahari adalah 150 juta km. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa jika seandainya jarak bumi dari matahari lebih kecil dari 150 juta km, tentu kita akan menjadi sate bakar, sebaliknya jika lebih besar dari 150 juta km, kita akan menjadi es batu. Maka, jarak 150 juta km itu sudah diatur oleh Allah yang Mahadahsyat. Begitu pula, bumi kita bisa teratur, dan tidak kacau akibat adanya pemeliharaan (providensia) Allah atas dunia ini meskipun dunia kita sudah berdosa. Kalau manusia biasa melihat alam semesta, mereka dengan sendirinya pasti mengatakan bahwa tidak mungkin tidak ada Sang Pencipta yang menciptakan alam semesta yang begitu indah, teratur, dan dahsyat ini (Kejadian 1 ; Yesaya 66:2a {BIS}, “Alam semesta adalah buatan tangan-Ku, maka semua itu dijadikan.”). Di sini, kegagalan para evolusionis atau bahkan theistic evolusionist adalah tidak mengakui 100% keberadaan Allah. Pdt. Sutjipto Subeno pernah menceritakan sebuah kisah. Pada suatu hari seorang Rusia mengunjungi pesawat ulang alik Amerika, di mana di dalamnya terdapat suatu replika susunan bumi, galaksi, dll mirip seperti aslinya, lalu seorang Rusia bertanya kepada seorang Amerika tentang siapa penciptanya, kemudian dengan nada menyindir seorang Amerika (karena ia tahu bahwa orang Rusia itu atheis) itu menjawab bahwa tidak ada penciptanya. Setelah itu, seorang Rusia bertanya kembali bahwa perkataan orang Amerika itu tidak mungkin, karena barang begitu bagus (replika tadi) tidak ada yang menciptakannya. Di sini, kita melihat orang Rusia ini tidak sadar, ia bisa memuji keindahan replika bumi dan langsung bertanya siapa penciptanya, tetapi herannya, yang asli dan nampak secara kasat mata yaitu bumi dianggap oleh mereka tidak ada yang menciptakannya. Itulah kegagalan banyak atheis yang menganggap diri tidak ada Allah, padahal sehari-hari mereka berhadapan dengan ciptaan-ciptaan-Nya. Inilah keadaan manusia yang berdosa. Seharusnya mereka mengerti konsep tentang keberadaan Allah melalui alam semesta, tetapi Alkitab mengungkapkan fakta bahwa mereka menindas kebenaran dengan kelaliman, seolah-olah mereka tidak mengenal kebenaran itu. Dalam hal ini (alam semesta), dalam hal apa manusia menindas kebenaran dengan kelaliman ? Manusia mulai menggantikan konsep theisme dengan dua konsep filsafat yang melawan Alkitab, yaitu deisme dan pantheisme. Pertama, Deisme. Konsep filsafat ini mengajarkan bahwa memang Allah itu menciptakan dunia ini, tetapi setelah itu Ia tidak peduli dengan kelangsungan hidup dunia ini karena Ia telah menyerahkannya kepada hukum alam untuk berputar sebagaimana adanya. Ini salah, karena di titik pertama, deisme sudah menghilangkan konsep pemeliharaan (providensia) Allah yang diajarkan Alkitab. Kalau deisme itu benar, maka bagaimana bumi kita bisa teratur, jika hanya hukum alam yang mengaturnya tanpa ada Allah sebagai Sang Pengatur Tunggal ? Konsep filsafat kedua, yaitu Pantheisme yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah “Allah”. Dengan kata lain, semua alam semesta yang sebenarnya hanyalah ciptaan Allah yang terbatas, dikatakan oleh Pantheisme sebagai “Allah”. Inilah kegagalan dan kekacauan (confusion) manusia yang tidak bisa membedakan dengan jelas antara yang dicipta dengan Pencipta. Akibatnya, manusia bukan menyembah Allah, malahan menyembah ciptaan (Roma 1:23). Hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan ayat-ayat selanjutnya. Kembali, keteraturan alam semesta (misalnya, jarak bumi dari matahari, beredarnya bumi pada porosnya/rotasi bumi, dll) yang diciptakan Tuhan seharusnya membuat kita sadar pasti ada Pencipta yang teratur pula yang menciptakan dunia yang indah ini. Dan itu pula membuat kita memiliki dan mengatur hidup kita menjadi lebih teratur sebagaimana Allah kita adalah Allah yang menghendaki keteraturan. Tetapi faktanya ? Alam semesta sebagai wahyu umum Allah ini diresponi oleh manusia yang berdosa dengan munculnya kebudayaan (culture). Kalau dunia kita mengajarkan bahwa kebudayaan itu mencakup keseluruhan pribadi di dalamnya dengan satu adat-istiadat, bahasa, dll, maka keKristenan khususnya theologia Reformed mendefinisikan kebudayaan dengan menyangkut esensinya yaitu respon manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah secara eksternal. Tidak heran, di dalam kebudayaan pasti mengandung unsur dosa, karena manusia yang meresponi wahyu umum Allah itu adalah makhluk yang berdosa. Saya akan memberikan satu contoh. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam kuliahnya mengenai Chinese Philosophy mengajarkan bahwa di dalam kebudayaan Tionghoa ada perkataan bahwa jika istri tidak dapat melahirkan anak, itulah salah satu alasan suami dapat menceraikan istrinya, tetapi herannya kalau terbukti suami tidak bisa melahirkan anak, bolehkah istri melakukan hal yang sama ? Di sini, Pdt. Dr. Stephen Tong menunjukkan kegagalan kebudayaan yang sudah berdosa, mendegradasi moralitas yang berasal dari Allah. Lalu, bagaimana sikap orang Kristen terhadap kebudayaan ? Orang Kristen sejati harus mereformasi budaya dunia. Maka, budaya Kristen, yang saya kutip dari Pdt. Sutjipto Subeno, adalah respon manusia terhadap wahyu khusus Allah. Kalau budaya dunia tidak ada hubungannya dengan Allah (bahkan cenderung melawan Allah), maka keKristenan harus menjadikan Alalh sebagai Tuhan atas kebudayaan dengan menghakimi setiap kebudayaan yang menyimpang dari kehendak-Nya dalam firman-Nya. Barangsiapa yang tidak lagi mengakui Allah sebagai Pencipta dan Tuhan, maka murka Allah ditimpakan kepada mereka. Jangan bermain-main dengan Allah yang adalah Api yang menghanguskan.

 

Hari ini, setelah kita menyimak uraian Roma 1:19-20 saja, sudahkah kita sadar seberapa jahatnya kita di hadapan-Nya? Kita yang sudah dicipta segambar dan serupa dengan Allah ternyata menyalahgunakan privacy ini dengan “memanfaatkan” Allah untuk memenuhi keinginan kita yang berdosa. Saat ini, izinkanlah Roh Kudus mengubah dan mengoreksi hidup Anda melalui firman Allah (Alkitab) dan teguran hati nurani yang sudah disucikan ketika Anda mulai menyeleweng dari jalan-Nya. Ingatlah, Kristus sudah menebus dosa umat pilihan-Nya, oleh karena itu, jangan mendukakan Roh Kudus yang telah mengerjakan karya penebusan Kristus ke dalam hati umat pilihan-Nya. Soli Deo Gloria. Amin.

__________________

“Without knowledge of self there is no knowledge of God”

(Dr. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book I, Chapter I, Part 1, p. 35)