Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Enam Genta

clara_anita's picture

Sebuah pelajaran yang saya dapat dari sebuah cerita sederhana:

Pada suatu ketika ada sebuah penginapan yang bernama BINTANG PERAK. Anehnya, meskipun pemilik penginapan tersebut sedah mengupayakan segala hal demi memberi pelayanan prima pada pelanggan, mulai dari pelayanan yang ramah, hidangan yang lezat, bahkan tarif yang amat terjangkau, hanya sedikit orang yang datang ke penginapan itu.

Dalam keputusasaannya, sang pemilik penginapan pergi menemui seorang bijak. Orang bijak itupun memberikan satu solusi yang agak aneh. Katanya:

"Engkau harus mengganti nama penginapanmu dengan LIMA GENTA dan menggantungkan enam genta di depan pintu masuk."

"Enam genta? Ini tolol. Apa gunanya?" jawab si pemilik penginapan.

"Coba saja dan nanti kita lihat hasilnya," sahut si bijak singkat.

Pemilik penginapan itu, meski awalnya ragu, mencoba juga anjuran si bijak. Ternyata, anjurannya memang berhasil. Sejak itu, setiap orang yang lewat masuk untuk menunjukkan kesalahan tersebut. Begitu berada di dalam, mereka langsung terkesan akan pelayanan dan tak sedikit yang memutuskan menginap atau sekedar beristirahat disana. Jadilah penginapan ENAM GENTA tersohor di seluruh penjuru negeri.

Lucu memang. Tapi pesan di balik sketsa singkat itu begitu dalam buat saya. Ternyata, kita memang punya kecenderungan untuk mencari dan membetulkan kesalahan orang lain. Kalau berani jujur,  sesosok aku sangat senang bila melihat orang lain salah dan menganggap dirinya jauh lebih baik dari orang lain. Kenapa? Dengan membetulkan kesalahan orang lain, sebenarnya sang aku tengah membangun benteng pertahanan untuk menutupi segala kelemahannya. Ketimbang merasa sakit dan malu dengan menelanjangi kelemahan diri sendiri, sang aku lebih memilih membohongi diri dengan mengatakan kalau dirinya sudah cukup baik bila dibandingkan dengan orang lain yang "banyak" membuat kesalahan.

Pertanyaannya, sebarapa lama kita dapat membohongi diri sendiri. Tembok-tembok benteng itu suatu saat pasti harus diruntuhkan, karena semakin tinggi tembok itu semakin sulit kita dapat melihat realita dengan perspektif yang proporsional. Ingat, gajah di pelupuk mata tak terlihat, tapi semut di seberang lautan jelas terlihat.

 Semakin lama hati kita terkurung dalam tembok-tembok itu semakin mungkin hati kita akan membusuk akibat tak pernah tersentuh udara yang segar dan bersih.

Sepertinya terlalu banyak bahasa figuratif yang saya gunakan di sini. Anda bisa mengintepretasikannya dengan bebas dan menambahkan sendiri apa yang akan terjadi saat "tembok-tembok" itu tak dapat diruntuhkan.

Tuhan Memberkati