Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Jangan jadi Guru Sekolah Minggu

Purnomo's picture

 Mungkin Anda ingin menjadi guru Sekolah Minggu (selanjutnya disingkat GSM) karena ada orang yang berkata menjadi seorang GSM hampir sama dengan menjadi seorang pendeta. Perkataan ini bisa memompa semangat Anda melambung ke langit tinggi dan berpikir muluk.

 
Perkataan orang itu tidak sepenuhnya salah. Tugas seorang GSM memang mirip dengan seorang pendeta. Ia harus menginjili anak-anak yang oleh Tuhan Yesus tidak pernah disepelekan hanya karena mereka adalah anak-anak. Sehingga seorang GSM harus dipersiapkan menguasai Firman yang akan disampaikannya; sehingga ia tidak boleh omong semaunya sendiri di depan anak-anak; sehingga ia harus menjadi teladan bagi anak-anak; sehingga ia harus menanggung sehingga-sehingga yang lain. Ini benar karena memang itu kewajibannya. Tetapi apa hak seorang GSM? Jangan berharap untuk mendapatkan hak yang sama dengan yang diperoleh seorang pendeta. Kok beda? Iyalah. Jadi pendeta sekolahnya mahal, sedangkan jadi GSM sekolahnya gratis.
 
Jika ada acara pembekalan di mana GSM mendapat bimbingan, itu jangan dianggap hak. Itu kewaj­iban! Setiap GSM harus hadir dalam acara ini. Di sini ia akan diberitahu bagaimana Firman itu harus disampaikan sesuai dengan umur anak-anak yang ada di kelasnya. Masih lumayan jika hanya cara penyampaian Cerita saja yang diatur. Lagu-lagu yang akan dibawakan juga ditentukan judul-judulnya. Dari mulai doa pembukaan sampai saat doa penutup kebaktian SM. Boleh saja ia tidak hadir dalam acara itu. Tetapi jangan heran bila mendadak kelasnya dihadiri oleh seorang guru senior yang berkata mau membantunya. Padahal, she is a spy in charge!
 
Bila tidak ada GSM lain yang hadir di kelas Anda, jangan bersenang hati dulu. Karena bisa saja begitu Anda selesai mengajar Anda dipanggil majelis pendamping SM atau BPH KSM untuk dikritik habis-habisan jika cara penyampaian Cerita Anda keliru. Siapa yang lapor? Biasanya sih ortu. Bisa karena anaknya lapor kepadanya, bisa juga karena ortu menguping di luar kelas.
 
Sebentar, jangan tanya tentang hak Anda dulu. Masih ada kewajiban yang bisa membuat GSM mabuk tanpa minum tuak. Biasanya, keluar dari acara persiapan mengajar GSM diberi oleh-oleh. Yaitu materi aktivitas anak. Fotokopi quiz Alkitab, gambar untuk diwarnai, gambar untuk ditempel, kertas warna untuk melipat. Payahnya materi yang diberikan ini masih berupa barang setengah jadi sehingga harus dikerjakan lebih dahulu di rumah. Misalnya memotong kertas perak menjadi potongan-potongan kecil berben­tuk bintang, bulatan atau ikan kecil. Bayangkan saja jika kita punya murid 35 anak dan setiap anak harus menerima 7 potong ikan-ikanan, apa ya mau pacar kita pada malam Minggu selama 2 jam membantu kita bermain gunting? Lebih enak jadi anggota vocal group. Malam Minggu kita bisa ajak dia latihan nyanyi duet dengan gitar.
 
Mungkin yang masih bisa disebut hak adalah setiap GSM berhak mendapat bantuan uang jalan bila harus mengajar di pos SM yang jauh. Jumlahnya pas untuk naik angkutan kota atau bis kota. Tetapi jangan coba-coba naik taksi, Anda bisa nombok banyak. Tidak usah mengomel kepada Komisi, apalagi minta tambahan uang transport. Sudah ga ditambahi, salah-salah kita akan dituduh tidak berdedikasi atau cari uang dalam persekolahmingguan.
 
Sekolah Minggu merupakan bagian organisasi Gereja yang menduduki pering­kat pertama dalam daftar “unit yang merugi” karena “menghabiskan” uang Gereja tapi tidak “menghasilkan” cukup uang. Maaf kepada para penatua, istilah ini saya pergunakan karena ada Gereja yang bila membahas sebuah rencana pengeluaran selalu mendasari perhitungannya dengan pertanyaan, “Lalu Gereja dapat apa?” “Mengapa harus ber-PI kepada pemulung? Setelah mereka dibaptis, Gereja dapat apa? Malahan biaya diakonia bisa makin tinggi.”
 
Karena itu banyak GSM yang mematikan kreativitasnya yang bila di-implementasi-kan, membutuhkan uang. Contoh yang paling sederhana adalah memberi kado anak yang berulang tahun. Sering GSM menghadapi dilema dalam hal ini. Ortu yang kaya merayakan ultah anaknya di kelas SM. Anak-anak senang karena ada roti atau permen yang dibagikan. Pada suatu kali seorang anak membisiki gurunya. “Tante, hari ini saya ulang tahun. Kok belum disiapin kuenya?” Berbesar hatilah karena tidak sedikit para penatua yang mengatakan kepada GSM-nya “Syukurilah, Tuhan berkenan memberi kamu kesempatan nombok demi kelebaran Kerajaan Allah di bumi.” Jadi, selamat nombok!
 
Masih juga belum hilang keinginan Anda untuk menjadi seorang GSM? Baik, saya kisahkan kesengsaraan lain yang bagi orang yang belum pernah menja­di guru SM sering dianggap tidak mungkin terjadi.
 
Untuk menghindari isyu yang menyakitkan telinga, sekarang ini banyak Gereja yang secara berkala memaparkan cash flownya. Dengan demikian setiap jemaat dapat mengetahui betapa besar dana yang dibelanjakan oleh SM. Karena mereka merasa bahwa itu adalah duitnya juga, tidak peduli ia setiap Minggu hanya memasukkan seribu rupiah di kantong kolekte, dan seka­ligus tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu bahwa uang yang dimasukkan ke dalam kantong kolekte sudah bukan lagi miliknya tetapi milik Tuhan, mereka menuntut haknya atas uang itu. Ia menuntut anaknya mendapat kenikmatan di Sekolah Minggu seperti di playgroup. Karena itu, jangan sekali-sekali memarahi anak SM apapun kesalahannya. Orang tuanya akan balas memarahi Anda habis-habisan. Bisa secara langsung, bisa lewat petinggi gereja. Biasanya sih lewat istri pendeta bila ortunya sering mentraktir makan atau belanja Ibunda.
 
Orang tua anak tidak segan mengomel bila kita sedikit salah dalam mengajar anaknya. Paling dongkol bila mereka memulai omelannya dengan: "Dulu waktu saya jadi guru Sekolah Minggu di sini ......." Syeeeebel buanget deh! Jangan bersuka hati bila selama Anda mengajar tidak ada orang tua yang mengomel karena itu belum berarti Anda aman sentosa. Di beberapa Gereja, Komisi Sekolah Minggu diharuskan menyelenggarakan sebuah acara yang dinamai Pertemuan Orang Tua Murid (POTM) setahun sekali. Nah, di situlah para orang tua murid dikumpulkan. Karena mereka banyak, dan seperti umumnya bila seseorang merasa banyak temannya, maka kritik yang dikeluarkan tidak tanggung-tanggung pedasnya seolah-olah kita ini orang gajian mereka. Biasanya GSM selalu mencari alasan untuk menghindari datang di acara ini. “It is a killing field,” kata mereka.
 
Tetapi ketika di Jakarta saya terpaksa menghadiri ladang pembantaian ini karena saya anggota BPH. Di acara tanya-jawab, seorang bapak bertanya: "Mengapa anak saya walaupun sudah bertahun-tahun ikut Sekolah Minggu belum juga bisa berdoa?"
 
Seorang GSM yang anggota Seksi Bahan Pelajaran menjelaskan bahwa pelajaran doa secara khusus tidak diberikan, tetapi dalam setiap doa anak-anak dituntun untuk menirukan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh gurunya. Lalu pertanyaan yang berikutnya mulai berisi pecahan kaca.
 
"Jika demikian apakah anak saya harus menunggu sampai dewasa sehingga ia beroleh pelajaran berdoa?" Lalu kuliah gratis tentang ilmu mendidik anak diuraikannya panjang lebar, dan diakhiri dengan sebuah pertanyaan-mercon-banting: "Sebenarnya kapan sih menurut aturan Sekolah Minggu seorang anak mulai mendapat pelajaran berdoa?"
 
"Bapak sudah menguraikannya tadi dan tentunya tidak berbeda dengan kami," jawab Ketua BPH bijak sehingga membuat bapak itu tersenyum puas. Senyumnya merangsang nafsu saya berkanibal sehingga tanpa permisi saya berkata,
 
"Sepengetahuan saya manusia tanpa mendapat pendidikan formal telah memiliki naluri mendidik anaknya sejak anak itu masih dalam kan­dungan ibunya. Sudahlah umum melihat calon ibu berkata-kata kepada calon anaknya sambil menepuk-nepuk perutnya. Bahkan ada ibu yang membacakan dongeng untuk calon anaknya itu sebelum tidur malam atau mendekatkan perutnya ke loudspeaker agar calon anaknya bisa menikmati lagu-lagu klasik. Dengan cara yang sama seorang anak bisa diajar berdoa sejak ia masih berada dalam kan­dungan ibunya. Tentunya orang lain sulit dan tidak sopan menggantikan tugas ibu mengajarnya berdoa, kecuali ia adalah bapaknya. Apakah Bapak ingin kami guru SM membantu bapak?"
 
Seorang GSM memang berkerja sebagai hamba. Tetapi janganlah dianiaya terus-menerus. Biar hamba, tetapi bukan sembarang hamba. Hamba Tuhan! Ajudan presiden jangan disamakan dengan ajudan lurah. Nah, kalau seorang GSM, apalagi pendeta, sudah berpidato seperti ini, semua pasti bingung. Ini hamba macam apa kok tidak melayani, tapi malah minta dilayani.
 
Untungnya tidak ada yang marah karena perkataan saya tadi. Bagaimana mau marah, perkataan itu saya ucapkan dalam hati saja kok. Ya, itulah repotnya bila atribut GSM sudah menempel pada diri saya. GSM itu harus sopan tidak urakan; harus senyum tidak cekakakan; harus dianiaya tidak menganiaya; tidak dolan ke diskotik nanti ketemu ortu muridnya. Makanya di kota-kota besar GSM malas memakai baju seragam, biarpun diberi gratis. Seperti pendeta yang protes keras atas usulan penempelan identitas gereja di mobil dinasnya karena nanti tak bisa dipakai anaknya racing di malam Minggu. Itulah susahnya bila nama kita sudah diberi label nomor inventaris Kerajaan Allah di antara anak-anak.
 
Memang benar menjadi seorang GSM hampir sama dengan menjadi seorang pendeta. Hampir, karena kewajibannya sama sedangkan haknya berbeda. Jadi, setiap GSM harus siap berkorban. Anda boleh menepuk dada mengatakan siap berkor­ban waktu, pikiran dan uang (uang Anda sendiri tentunya) demi segala sesuatu yang berlabelkan misi penginjilan. Saya percaya Anda siap. Tetapi, plis pikirkan satu dua hari lagi pertanyaan ini.
 
Apakah Anda juga siap untuk mengorbankan harga diri Anda, berlutut di depan orang-orang yang tidak menyenangi Anda untuk membasuh kakinya? Apakah Anda siap melakukan pekerjaan seorang budak seperti itu? Siap tersenyum ketika dikritik habis-habisan? Tetap setia datang mengajar anak-anak yang tidak pernah luntur kekurangajarannya karena orang tuanya memiliki “saham” di Gereja? Tetap bersikap ramah kepada bapak-ibu majelis walaupun mereka tidak pernah menghargai keberadaan Anda di Sekolah Minggu? Tetap lembut bertutur kata kepada sesama GSM sementara hati Anda sudah berantakan tercabik-cabik oleh perkataan mereka yang menyepelekan usaha Anda?
 
Siapkah Anda menerima tuduhan bahwa Anda bersikeras menjadi GSM karena sedang mencari calon pasangan hidup di arena SM; mencari rekomendasi Gereja agar tidak kelamaaan jadi pen­ganggur; mencari simpati para pejabat Gereja agar dapat dicalonkan menja­di seorang penatua?
 
Banyak Gereja kekurangan tenaga GSM. Ini masalah klasik. Tidak banyak GSM yang tahan mengajar lebih dari 5 tahun. Ini lumrah. Para majelis pendamping SM malas nongol di acara-acara persekolahminggguan. Ini manusiawi. Mengapa semua ini terjadi? Karena pelayanan di SM adalah pelayanan seorang budak yang harus mengorbankan apa saja yang dimilikinya (kecuali iman dan kebenaran Firman) kepada orang-orang yang dilayaninya. Dan sayang sekali tidak semua orang punya kwalifikasi seperti ini.
 
Bagaimana? Masih berminat jadi budak sebagai seorang GSM? Berani menjadi the lone ranger dalam arena ini? Ah, yang benar aja.
 
(selesai bagian ke-2 / firstly posted on 20.12.2008)
 
 
Bersukaduka bersama Sekolah Minggu
bag-7: Biarlah Allah bekerja
 
Dikirimkan oleh Love pada Sab, 2008-12-20 07:20
Saya baca tulisan Pak Pur sambil senyum-senyum sendiri :) Benar-benar mewakili suara hati para GSM ... agak pedih juga sedikit ... tapi, tetap saja ada sukacita besar juga kok, Pak ... apalagi kalau abis pembekalan dan saling menguatkan lagi ... dan saling bilang, sabar ... sabar ... upahmu besar di surga he he he
 
Ada seorang GSM, langsung ditegur seorang majelis karena kedapatan bersenandung lagu "kepompong" sembari melakukan sesuatu hal. Padahal saat itu sang GSM tidak sedang bertugas, sedang tidak di kelas. Semenjak itu langsung seperti dikucilkan dan dianggap tidak "kudus". GSM kok, nyanyi lagu dunia? Kasihan rekan tersebut .... nila setitik, rusak susu sebelanga ....
 
Btw, 
Apakah benar menjadi GSM harus "berkorban"?
Apakah tidak lebih tepatnya  totalitas? Bukankah ketika kita terjun melayani anak-anak itu, memang itulah yang harus kita berikan, totalitas?
Totalitas = pengorbanan = membayar harga, bukan?
Thanks ya, Pak Pur ... seneng sekali di SABDA Space ada rekan sepelayanan dan sepergumulan ....
Dikirimkan oleh Yenti pada Sen, 2008-12-22 13:17
he.he.. Kok pengalamannya sama yah:) Menyanyikan lagu "kepompong" he.he... hanya saya tidak ditegur,,, cuma " dibahas aja di depan guru-guru yang lain"... dari tadi kok nyanyinya "lagu kepompong". Cuma...ada cumanya... saya mempertanyakan hal itu juga di depan pembinanya saat itu... apakah emang GSM dilarang untuk menyanyikan lagu begituan??  hanya berakhir dengan senyuman dan tanpa ada jawaban:)
Saya pikir, mungkin karena ada perbedaan pemahaman aja:) Ada beberapa teman yang mengatakan " emang GSM harus bisa menjaga dirinya , karena intinya " tidak enak dilihat dan alasan utamanya- jangan menjadi batu sandungan buat yang lain"... hanya itu alasan yang selalu diutarakan:)
 
Lagu sekuler dalam gereja
Saya dari dulu sering kena tegur karena menyanyikan lagu sekuler dalam kawasan gereja (tidak dalam ruang kebaktian umum atau anak) tapi saya tidak pernah kapok. Saya mulai membahas lagu-lagu sekuler di SM ketika mengasuh kelas SMP. Banyak lagu sekuler yang indah syair dan melodinya, tetapi pesan yang dibawanya tidak sesuai dengan iman kita. Karena itu saya ingin remaja gereja mewaspadainya. Juga mewaspadai syair lagu rohani baru. Jangan sampai terjadi seperti seorang gadis yang bangga mengenakan kaos oleh-oleh dari luar negeri yang bertuliskan “I am not a virgin” tanpa mengerti arti tulisan itu. Orang memandangnya dengan heran ia kira mengagumi kaosnya.
 
Tidak sedikit lagu-lagu rohani yang sekarang digolongkan dalam himne berasal dari lagu-lagu sekuler atau lagu-lagu rakyat. Di antaranya adalah,
 
All through the night / Dunia dalam rawa paya
1 . 7 6 1 / 2 . 1 7 5 / 6 . 7 . 7 / 1 .
Sleep my child, let peace attend thee, all through the night.
Guardian angels God will send thee, all through the night.
Soft the drowsy hours are creeping, hill and vale in slumber steeping
I my loving vigil keeping, all through the night.
 
While the moon her watch is keeping, all through the night.
While the weary world is sleeping, all through the night.
O’er thy spirit gently stealing, visions of delight revealing.
Breathes a pure and holy feeling, all through the night.

 

Annie Laurie / Sobat dari Galilea
3 2 / 1 . 1 1 . 7 / 7 6 0 6 / 5 3 2 1 / 2 . .
Maxwelltons braes are bonnie, where early falls the dew.
And was there that Annie Laurie, gave me her promise true.
Gave me her promise true, which ne’er forget will be,
and for Bonnie Annie Laurie, I’d lay me down and dee.
 
Her brow is like the snowdrift, her throat is like the swan
her face it is the fairest, that ne’er the sun shone on.
That e’er the sun shone on, and dark blue is her e’e
and for Bonnie Annie Laurie, I’d lay me down and dee.
Greensleeves / Siapakah Anak itu?
6 / 1 . 2 / 3 . 4 3 / 2 . 7 / 5 . 6 7 / 1 . 6 /
Alas my love you do me wrong, to cast me off so discourteously.
And I have loved you so long, delighting in your company.
Greensleeves was all my joy
Greensleeves was my delight
Greensleeves was my heart of gold
and who but my lady Greensleeves.
 
Bu Evie, titip salam buat rekan GSM yang kena tegur gara-gara bersenandung lagu sekuler. Saya salinkan untuknya catatan melodi yang terselip dalam tumpukan buku saya. Bila ia menyenandungkannya pasti tidak akan kena tegur karena lagu ini di’launching’ tahun 2020.

 
Terima kasih telah melengkapi artikel saya.
Selamat merayakan Natal 2008.
 
Dikirimkan oleh joli pada Sab, 2008-12-20 08:03
@Love.. sama.. ketika baca tulisan purnomo, saya juga senyum-senyum sendiri.. apanya ya yang buat senyum? cara aneh "melihat" guru sekolah minggu.. aneh tapi nyata..
 
Menjadi guru sekolah minggu.. tidak pernah saya inginkan, terbersit dalam pikiran-pun tak pernah karena saya tidak menyukai anak kecil (sorry ya Nobietea), merasa tidak bisa mbujuki, dan mending suruh mencebokin daripada denger anak merengek.. , sampai akhir maret 2008 kemarin, melihat gerejaku sambat kurang guru sekolah minggu, maka saya melamar menjadi guru pocokan alias guru pengganti, untuk itu saya belajar menjadi pembantu guru.. istilah clara.. nyantrik, istilah purnomo belajar menjadi ajudan-nya ajudan dan budak-nya budak.. namun.. sebulan satu kali aja setiap akhir bulan.. (mbolos beberapa kali he.. he.. ). Thanks Purnomo untuk artikel ini mengingatkan saya kembali..
Beberapa kali bersama-sama anak-anak menjadi suka juga melihat tingkah mereka, justru seringkali belajar dari kepolosan dan ke-kritis-an mereka dan belajar menjalani hidup seperti mereka.. wow dunia tidak se-mengerikan kelihatannya, justru indah setiap harinya.. warna-warni.. di setiap permainan-nya.
 
Beberapa kali bersama-sama guru-guru sekolah minggu, menjadi tahu ternyata merekalah yang sebenarnya berperan sebagai gembala anak-anak. Setiap anak mengenali suara gurunya, mengenali kode-kode yang diberikan gurunya, tidak takut berkeliaran di area sekolah minggu karena tahu ada gurunya, bila outbond keluar dari lingkungan aman-nya.. meski berkeliaran..anak tetap tahu gurunya ada dimana.. dan guru.. tahu sendirilah bagaimana..
 
Ya guru sekolah minggu-lah contoh yang harus dicontoh oleh para gembala gereja, karena guru sekolah minggu lah yang cocok sebagai gembala..
 
Nunut di blog ini saya ingin juga mengucapkan selamat ulang tahun untuk guru sekolah minggu yang mengajari bagaimana mengajar sekaligus melebur sama anak-anak. Happy Birthday ya mazdanez.. ini ada kado yang berisi perlengkapan pernak-pernik mengajar..
 
Meski aku ini bukan pendeta
Membaca pengalaman Bu Joli saya juga senyum-senyum. Saya ingat sebuah SM di sebuah kota kecamatan yang meneriakkan berita SOS. Saya minta pengurusnya sambat kepada para ibu dan saya akan datang untuk memberi pelatihan bagi orang-orang yang mau disambati.
 
Waktu saya tiba di gereja ini, kebaktian anak sedang berlangsung. Seorang ibu sedang membawakan Cerita sambil berjalan kian ke mari di dalam kelas. Di tangannya ada buku pegangan yang terbuka. Wajahnya berkeringat walau hari masih pagi. Suaranya gemetaran. Selesai kebaktian anak, ia bilang kepada saya, “Ternyata susah juga ya jadi guru sekolah minggu.”
 
Ah enggak kalau sudah dua tiga kali mengajar,” jawab saya.
Tadi waktu saya cerita salahnya apa?”
Aduh, saya tidak sempat melihat ada yang salah karena pikiran saya terpesona melihat semangat dan tekad Ibu,” jawab saya. Tabu bagi saya untuk menyalahkan orang yang baru belajar.
 
Ibu Joli, saya teringat akan lagu yang saya karang dan pernah saya nyanyikan sendiri dalam ibadah umum (karena tidak ada penyanyi gereja yang berani membawakan lagu protes itu) yang syairnya dimulai dengan kalimat “Meski aku ini bukan pendeta, tapi aku mau jadi pelita”. Selesai ibadah ada teman yang menyanyikan lagu itu dengan plesetan, “Meski aku ini bukan pendeta, tapi aku mau jadi gantinya.” Pasti dia sedang jengkel terhadap pendetanya. Seorang lagi memlesetkannya dengan, “Meski aku ini bukan pendeta, tapi aku mau jadi mantunya.” Nah loe! Tampaknya profesi pendeta asyik dijadikan topik bahasan karena kaya nuansa. Kapan ya ada yang mau menulis tentang pendeta tanpa berpihak?
Selamat merayakan Natal 2008.
 
Dikirimkan oleh nobietea pada Sab, 2008-12-20 11:24
oma joli time said :
. . . saya tidak menyukai anak kecil (sorry  ya Nobietea)
** dimaafkan dengan  . . .
miris hatiku melihat pernyataanmu oma, apa salah kami padamu hingga engku tidak menyukami para anak kecil ini
 
nobie juga ( dulu ) pelayanan di SM, tapi klo di gereja nobie namanya Precious dan punya slogan :  " im proud to be precious " , walo dah sedikit mundur dari pelayanan ( next year janji akan kembali . . .), nobie tidak merasa terbebani dengan melayani mereka. malah ada rasa bersalah jika nobie alpa dari pelayanan itu
 
hingga pernah ada seorang anak yang bilang ke nobie : " kak, kapan kita nyanyi lagi ?" hiks, biasanya nobie sering main tebak - tebakan lagu dengan mereka. yang pastinya se lagu rohani anak - anak yang mulai jadul ampe lagu rohani yang masa kini punya . . .
 
@Nobie, kata “Precious” jangan diucapkan “Previous”
Nobie, baru sekali ini saya mendengar GSM disebut Precious. Apakah slogan “I’m proud to be precious” juga dibuatkan lagunya? Kalau ada, tolong saya dikirimi syair dan notasi angkanya.
 
Mudah-mudahan ungkapan kangen anak itu kepada Nobie bisa membuat Nobie tidak kelamaan jadi Previous dan kembali jadi Precious.
 
Selamat merayakan Natal 2008.
Dikirimkan oleh dennis santoso ... pada Sab, 2008-12-20 11:12
lucu juga dua artikel ini... gue baru tau bahwa jadi GSM itu repot bener dan malang nian nasibnya, hehehe *jadi merasa berdosa dulu suka ngerjain GSM*
baca blog ini jadi inget sama GSM fave ku dulu, "Ibu Liem", yang pernah ngajar di Yahya dulu (gue ga pernah tau nama lengkapnya sapa). satu hal paling gue inget, entah kenapa, adalah ketika dia telaten banget ngajarin lagu ini.
oh memories... good old memories :-)
Dikirimkan oleh jackching pada Sab, 2008-12-20 11:53
 "anak-anak yang tidak pernah luntur kekurangajarannya karena orang tuanya memiliki “saham” di Gereja"
setuju dengan pak pur, walopun aku cuma pemusik dadakan di SM (karena emang tiap minggu nungguin anak, trs sering d suruh bantuin di musik) tp kalo ngeliat tingkah anak2 "pemegang saham" jadi bete juga... ketika klas mereka udah slese, biasa lsg menghambur ke klas balita yg emang slesenya paling lama karena ada sesi aktifitas... udah gitu GSM ga ada yg berani negur ato gmn kalo mereka bikin keributan... ya udahlah, cuma bisa diem aja ngeliatnya...
 
Menjebak musisi Sekolah Minggu
Putri bungsu saya membantu kakaknya di SM dengan memainkan keyboard mini. Ia tidak pernah mau membawakan Firman walaupun di rumah ketika si Sulung melakukan gladi resik ia banyak memberikan koreksi.
 
Suatu kali ketika ia memimpin pujian waktu kantong kolekte diedarkan (yang dilakukan sebelum Firman disampaikan) kakaknya pamitan ke toilet. Tetapi ia berencana tidak lagi kembali ke kelas. Saya yang diberitahunya bergegas ke kelas itu karena kuatir si Bungsu ikutan keluar kelas. Saya diam-diam mengintip dari jauh untuk melihat apa yang akan terjadi.
 
Si Bungsu mengulang lagu persembahan sampai 4 kali sambil melongok-longok jendela. Saya melihat wajahnya kesal. Lalu ia mengambil Alkitab dan mulai membacanya. Saya mengendap-endap mendekati pintu untuk mencuri dengar.
 
Selesai Sekolah Minggu bisa ditebak apa yang terjadi. Dia mencari kakaknya dan memarahinya habis-habisan. Si Sulung hahahihi saja. Malam hari ketika kami berempat berkumpul untuk bersama membaca Alkitab, ibunya mengherani wajah kesalnya. Dia diam saja. Lalu saya bercerita betapa hebatnya tadi pagi ia membawakan Cerita di depan kelas. Mengetahui saya mengintipnya, ia marah. “Bapak yang tidak sayang sama anaknya!” katanya. “Tahu anaknya panik tidak masuk menolongnya.” Bagaimana aku tahu anakku panik? bantah saya, kamu cerita bagus, anak-anak yang biasa ribut waktu kakakmu berCerita tadi pagi tenang semua.
 
Ia tidak mau lagi ke SM, begitu ikrarnya. Ibunya tidak berhasil membujuknya membatalkan niatnya. Tapi Minggu berikutnya ia masuk ke kelas SM yang bukan diasuh oleh kakaknya. Sampai sekarang ia masih ada di SM. Pasti ia merasakan kesukaan yang istimewa dalam menyampaikan Firman.
 
Pak Jackching, terima kasih telah berbagi pengalaman.
Selamat merayakan Natal 2008.
Dikirimkan oleh Purnawan Kristanto pada Sab, 2008-12-20 12:07
Tulisan bang Purnomo cenderung sarkastis, namun itulah realitasnya dalam dunia Sekolah Minggu (SM). Membaca tulisan tersebut, saya bersyukur bahwa gereja kami tidak [atau belum] mengalami situasi seperti itu.
 
Kami memiliki 9 kelas, mulai dari pra TK (0-3 tahun) sampai dengan pra-remaja (6 SD-1 SMP). Jika sudah remaja, mereka masuk ke dalam kebaktian remaja. Setiap kela memiliki 2 guru tetap dan sekali-kali ada guru 'tamu' yang menyampaikan cerita. Guru 'tamu' ini adalah guru-guru TK dan SD Kristen, serta mantan-mantan GSM yang sebulan sekali ingin bernostalgia untuk mengajar lagi.
 
Dulu, setiap malam minggu GSM harus pontang-panting dalam menyiapkan bahan pengajaran. Namun setelah ada acara persiapan mengajar maka kondisi ini dapat diminimalkan. Setiap Jumat malam, semua GSM berkumpul untuk membahas metode cerita, memilih lagu-lagu dan menyiapkan bahan aktivitas anak-anak.
 
Bagian yang paling sulit adalah menyiapkan bahan aktivitas, sebab dibutuhkan kreativitas. Kami menggunakan buku pegangan GSM yang diterbitkan oleh Sinode. Dalam buku ini memang sudah ada petunjuk untuk membuat aktivitas, tapi biasanya jenis aktivitasnya itu-itu saja alias monoton. Kebanyakan adalah aktivitas menempel dan mewarnai. Kalau sudah begini, anak-anak akan protes: "Huu....bosen, Kak!"
 
Maka kami menyiasatinya dengan membuat enam TIM KREATIF. Setiap tim wajib membuat dan menyiapkan:
1. Alat peraga untuk bercerita
2. Metode bercerita
3. Memilih lagu-lagu yang sesuai denga tema cerita
4. Membuat bahan-bahan aktivitas (penerapan) murid.
 
Setiap tim terdiri dari GSM dan anggota jemaat yang punya kreativitas tinggi tapi bisa mengajar GSM secara reguler. Setiap tim, sesuai dengan jadwalnya, mulai bekerja pada hari Senin, sehingga pada hari Jumat sebagian bahan sudah siap.
 
Dengan cara ini, maka waktu persiapan lebih singkat, GSM dapat berkonsentrasi menyiapkan kerohaniannya, dan ada banyak variasi dalam pengajaran.
 
Soal pendanaan, kami bersyukur karena mendapat dukungan dana sesuai dengan kebutuhan kami. Setiap tahun, semua badan-badan pelayanan di gereja kami wajib membuat program dan anggaran tahunan. Program  dan anggaran ini kemudian dibahas bersama-sama. Jika sudah disetujui dalam rapat pleno, maka tidak ada alasan dari pihak mana pun untuk menggugat nilai anggaran tersebut.
 
Kekurangan tenaga pengajar dapat disiasati dengan cara mentoring dan Permagangan. Usai ibadah untuk Sidi/Baptis Dewasa, Komisi Anak biasanya akan menawarkan pelayanan kepada orang-orang yang baru saja dibaptis dewasa/sidi. Mereka tidak langsung diberi tanggungjawab mengajar, tapi diminta untuk membantu hal-hal yang kecil dulu seperti menyiapkan ruangan atau mengisi buku absen. Ini untuk membiasakan mereka pada suasana kelas. Komisi Anak juga menyiapkan Video Klip yang menunjukkan suasana sekolah minggu. Klip ini diputar pada kebaktian umum sehingga jemaat tahu/sadar tentang pelayanan SM.
 
Lagu Sekolah Minggu dalam kebaktian dewasa
Pak Wawan, terima kasih mau meluangkan waktu melengkapi artikel saya.
Dari uraian Pak Wawan, saya melihat satu ide bagus yang masih belum diakrabi oleh sementara gereja. Yaitu, mengiklankan SM dalam kebaktian umum.
 
Di gereja saya, pada hari ulang tahun SM, anak-anak SM ikut kebaktian umum. Seluruh lagu dalam kebaktian itu mempergunakan lagu-lagu Sekolah Minggu. Reaksi jemaat dewasa? Mereka terkejut tetapi kemudian menikmatinya. Mereka menyanyi jauh lebih bersemangat daripada biasanya. Mungkin mereka bernostalgia. Ketika lagu “Jalan serta Yesus” dinyanyikan mereka mau menuruti seruan Pendeta untuk saling bergandengan tangan. Dalam kebaktian khusus ini musisi dikerahkan full team untuk menyajikan lagu-lagu itu dalam aransemen baru. Bertepuk tangan yang biasanya diharamkan, malah dianjurkan saat menaikkan pujian.
Doa pengakuan dosa dinaikkan oleh seorang anak, seorang ayah/ibu dan seorang GSM. Kantong persembahan diedarkan oleh anak-anak SM. Tentunya dengan pendampingan majelis gereja. Selesai kebaktian.
 
Ketika tiba saat penyampaian Firman, Pendeta turun dari mimbar dan membawakan Firman dengan alat peraga dan melakukan dialok dengan anak-anak. Juga dengan jemaat dewasa seperti “Bapak-Ibu Oma-Opa harus menjawab dengan jujur. Siapa yang anak atau cucunya ini betul-betul membaca Alkitab setiap hari dan berdoa sebelum makan, angkat tangan!”
 
Bagaimanapun mereka tetap anak-anak. Walaupun di dalam gereja mereka ribut, tapi tidak sampai mengganggu. Sampai suatu saat pintu konsistori di samping kanan mimbar terbuka dan seorang anak dalam pakaian sekolah berlari melintas di depan mimbar dan menghilang masuk ke pintu di samping kiri mimbar. Seorang ibu berlari mengejarnya sambil mengacung-acungkan sandalnya. “Andi, Andi, ayo sekolah! Apa perlu kepala kamu Mama ketok pakai sandal ini?” teriaknya. Jemaat dan anak-anak tertawa. Tetapi ada yang berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak suka.
 
Baru saja Pendeta akan melanjutkan Ceritanya, anak ini muncul kembali. Terpaksa Pendeta menangkapnya dan menanyakan apa yang terjadi. Wawancara singkat terjadi. Anak itu kemudian lari menghilang. Sang Ibu muncul dengan nafas terengah-engah. Pendeta melambaikan tangan memanggilnya. Wawancara singkat terjadi. Jika tadi si Anak menjawab pertanyaan Pendeta sambil menangis, Ibu ini menjawab dengan suara melengking-lengking karena jengkel. Si Ibu kemudian menghilang di balik pintu.
 
Siapakah di antara kedua orang itu yang benar?” tanya Pendeta kepada jemaat untuk membawa mereka ke bagian akhir kotbah. Beliau menoleh ke arah tempat duduk anak-anak. “Yang benar pasti si Ibu yang ingin sekali anaknya tidak membolos sekolah. Kalian setuju ya?”
 
Huuuuuuuuuu,” teriak anak-anak.
 
O ya, hampir lupa. Ruang kebaktian dihiasi dengan balon aneka warna.
 
Selamat merayakan Natal 2008.
 
Dikirimkan oleh Purnawan Kristanto pada Jum, 2008-12-26 22:49
Jemaat dewasa masih banyak yang memandang anak-anak sebagai "faktor pengganggu". Itu sebabnya mereka harus "diasingkan" di SM selama kebaktian dewasa berlangsung. Atau kalau ada yang membawanya ke gereja, maka sudah ditangkal dengan tayangan LCD: "Jemaat yang yang membawa anak kecil harap menjaga anaknya untuk menjaga kekhidmatan ibadah."
Setiap setahun sekali ada Pekan Sekolah Minggu. Salah satunya, ibadah dewasa yang dihadiri oleh ASM. Mereka akan tampil menyanyi, mendengarkan cerita singkat dari pendeta, setelah itu cepat-cepat "disingkirkan" dari gereja, supaya tidak mengganggu jemaat dewasa dalam mendengarkan khotbah. Saya selalu bersikeras supaya anak-anak dibiarkan mengikuti ibadah sampai selesai. Argumen saya:
1. Supaya anak-anak terbiasa dengan suasana ibadah umum dan mengenal liturgi.
2. Supaya orang dewasa mau bertoleransi dengan anak-anak. Kalau anak-anak seama ini harus bertoleransi dan mengalah, maka ada saatnya jemaat dewasa juga bertoleransi dengan kegaduhan anak-anak.
Sayangnya, argumentasi saya ini belum bisa diterima. Jangan-jangan pikiran saya keblinger nih
 
Dikirimkan oleh hai hai pada Sab, 2008-12-20 14:03
 
Bila anda jadi guru sekolah minggu, ingatlah, hanya sedikit jemaat yang mau jadi guru sekolah minggu. Bila pendeta anda tidak menghormatimu, ingatkan dia bahwa tanpa guru sekolah minggu, suatu hari nanti dia akan kehilangan pekerjaannya karena tidak ada orang yang menghadiri kebaktian yang dipimpinnya. Bila majelis tidak menghormati anda, ingatkan mereka bahwa tanpa guru sekolah minggu, merekalah yang harus mengajar. Bila ada orang tua murid yang tidak menghormati anda ingatkan mereka bahwa tanpa guru sekolah minggu, mustahil mereka dapat mengikuti kebaktian dengan tenang.
 
Bila ada orang tua yang bertanya, “Mengapa anak saya walaupun sudah bertahun-tahun ikut Sekolah Minggu belum juga bisa berdoa?” Katakan kepadanya, mungkin itu disebabkan karena orang tuanya tidak pernah mengajarinya berdoa atau tidak memberi contoh untuk berdoa. Tanyakan kepada mereka, apakah anaknya harus menunggu hingga mendapat pelajaran berdoa di sekolah minggu?
 
Apabila ada yang mengeritik cara anda mengajar, mintalah mereka untuk memberi contoh yang benar.
 
Apabila Majelis dan jemaat tidak mau mengeluarkan uang untuk biaya sekolah minggu, ingatkan kepada mereka, lebih baik uang itu digunakan sekarang untuk mendidik anak menjadi baik dari pada mereka menghabiskannya setelah dewasa nanti sebagai preman. Lebih baik uang itu digunakan sekarang untuk mendidik anak menjadi baik dari pada mereka tidak memberi kolekte setelah dewasa nanti karena tidak ke gereja.
 
Jangan biarkan orang tua mengagul-agulkan kekayaan mereka dengan merayakan ulang tahun anaknya. Juga, jangan biarkan orang tua mengagul-agulkan kekayaan mereka dengan membelikan kado bagi teman anaknya yang ulang tahun. Biarkan mereka memberikan bahan mentahnya (uang) lalu aturlah semua dana yang terkumpul agar semua anak dapat merayakan ulang tahunnya dan mendapat kado.
 
Apabila ada orang tua mengagul-agulkan kesuksesannya ketika menjadi guru sekolah minggu dulu. Ingatkan mereka bahwa dulu mereka tidak mengajar anaknya. Ajaklah mereka untuk mengajar sekolah minggu lagi agar dapat menyumbangkan kebisaan mereka.
 
Saat ini guru-guru sekolah minggu berlomba-lomba untuk menggunakan alat peraga ketika mengajar. Alasannya agar murid-murid sekolah minggu dapat memahami cerita dengan mudah. Pendapat tersebut benar, anak-anak akan mudah mengerti dengan alat peraga, namun mereka kehilangan PELUANG untuk berimajinasi. Sama seperti orang dewasa menonton film dibandingkan  membaca buku atau mendengar cerita.
 
Apabila alat peraga itu demikian penting, kenapa tidak membiarkan anak-anak menonton film saja? Bukankah saat ini banyak film-film animasi cerita-cerita Alkitab?
 
Uang penting tetapi bukan yang terpenting
Saya setuju dengan nasihat Empek, “Alat peraga itu penting, tetapi bukan yang terpenting.”
 
Suatu ketika ada jemaat kaya yang berkeinginan memasang layar lebar di setiap kelas SM untuk menayangkan video klip dari kantor SM. Saya menentangnya. Mengapa? tanya majelis gereja. “Karena saya takut di kemudian hari pendeta kita memimpin kebaktian dari kamar tidurnya melalui layar proyektor di depan mimbar. Dulu guru kencing berdiri murid kencing berlari. Sekarang terbalik. Murid kencing berlari gurunya kencing di taksi. Ingatlah. Dua tiga tahun yang lalu majelis mengamuk kalau melihat ada GSM menyemir rambutnya. Sekarang ada majelis wanita yang menyelupkan rambutnya dalam tinta printer tidak ada yang meributkan.”
 
Yang terpenting,” begitu yang pernah Empek tulis untuk seorang blogger, “adalah menjadi sahabat anak-anak. Menjadi sahabat bagi every single kid” bisa dimulai dengan memanggil setiap anak dengan namanya, tidak dengan “hei hei, ya kamu yang berbaju biru.” Kemudian dilanjutkan dengan datang lebih awal sehingga ada waktu untuk berbincang-bincang santai dengan anak-anak. “Bagaimana kabarnya dengan ikan kokimu? Sudah bisa memasak? Ya ampun, hebat dong kalau sudah bisa masak air.”
 
Dalam kerja pelayanan, uang memang penting, tetapi bukan yang terpenting. Waktu saya tinggal di Palembang, bersama dengan seorang teman saya melayani sebuah pos PI yang jauh di pedalaman di sebuah penggergajian kayu tanpa dana. Jemaat dewasa yang tidak lebih dari 15 orang berbakti di sebuah rumah kecil, sementara saya mengasuh Sekolah Minggu yang tidak punya tempat bernaung. Kami melakukan kebaktian di bawah kerindangan pohon dan saya menyampaikan Firman sambil berjalan-jalan bersama mereka menyusuri ladang, kebun dan tempat pembakaran batu bata. Alat peraga saya adalah alam sekitar dan apa yang mereka lihat.
 
Empek, selamat Natalan 2008.
Dikirimkan oleh esti pada Sab, 2008-12-20 23:13
Dear mas Purnomo,
saya ikutan cerita pengalaman ya mas, mohon dimaklumi...
 
Pertama kali belajar mengajar dulu saya menerima tawaran mengajar sekolah minggu, kebetulan kelas yang saya ajar ada anak2 ku.
 
Biasanya sepulang mengajar sekolah minggu selalu ada komplain dari anakku yang sulung, katanya mama bawa firmannya kelamaan lah, inilah itulah .... hi..hi..hi.., tapi adiknya membela dengan mengatakan bahwa kakaknya kelewat ceriwis, soalnya si adik ini  sangat bangga dengan profesi baru mamanya he..he..he...
 
Setelah mereka dewasa sang kakak sekarang jadi pendeta dan si adik  sebelum jadi dosen juga pernah menggantikan profesi mamanya sebagai GSM ...  
 
Memang bener jadi GSM tidak ada transportnya banyak pengorbanan seperti cerita mas Pur , rasanya sama dengan pemimpin paduan suara, para pelayan dan para presbiter /penatua/diaken di gereja. 
 
Kalau semua yang kita lakukan kita pikirkan sebagai beban rasanya seperti semakin berat, tapi ketika kita menyadari betapa beruntungnya kita diberikan kesempatan untuk menyumbangkan talenta yang ada dengan turut ambil bagian demi tercapainya  "eklesia semper reformanda " gereja yang selalu diperbarui dan memperbarui kearah kesempurnaan, terasa ada sukacita juga lho. 
Didunia ini hampir tidak ada yang adil, meski di gereja sekalipun dan kita tidak perlu ikut2an menjadi tidak adil, yang penting  mas Pur kita tahu bahwa Allah kita adalah Allah yang adil.
Ok mas Pur, tetap melayani Tuhan Memberkati.
Salam,
 
Jangan membungkamkan mulut pengritik
Si sulung yang hobi mengritisi Mamanya dalam membawakan Firman akhirnya memberi contoh bagaimana membawakan Firman dengan baik. Tidak tanggung-tanggung, dari atas mimbar! Duh senangnya punya anak jadi pendeta. Pasti Ibunya punya saham besar dalam memotivasi anaknya memenuhi panggilan Tuhan.
 
Terima kasih Oma Esti untuk kesaksiannya.
Selamat Hari Natal 2008.
Dikirimkan oleh rahseto pada Sab, 2008-12-20 23:41
 
Di gereja saya guru sekolah minggu berasal dari para pemuda dan remaja gereja. mereka masih kecil-kecil dan minim pengalaman mengajar. ketika mereka harus teriak-teriak dan lari sana lari sini ngejar anak yang bergerak bagai bola pin ball, para bapak dan ibu majelis duduk manis di samping kanan dan kiri mimbar di gedung gereja utama, senyam-senyum sambil menyanyi dan mendengarkan firman.
 
Suatu saat ketika mereka mengajak saya membuat program sekolah minggu saya melontarkan ide bagaimana jika bapak dan ibu majelis mengajar sekolah minggu apalagi majelis sekolah minggunya, lebih seru lagi apabila bapak pendeta juga mengajar sekolah minggu, toch anak-anak sekolah minggu juga jemaatnya juga. teman-teman tertawa terbahak-bahak karena mereka mulai berfantasi apabila para "penggede" gereja itu menagani anak sekolah minggu. saya diam saja dan terus berpikir.
 
ketika berpikir itu munculah pikiran lain yang terpikir. Menjadi guru sekolah minggu di gereja kami juga susah, bayangkan saja dengan dana yang terbatas kami harus membuat banyak program yang membuat anak tetap tertarik ke sekolah minggu. mau dibuat acara-acara menarik biar tidak kalah ma keindahan Tv dan play station, uang ga cukup. mau dibuat biasa anak-anak bosan. warakadrabah dana untuk sekolah minggu jauh sekali lebih sedikit daripada dana untuk belanja (fisik) gereja. apa gereja ga sadar kalo mereka sedang mengibiri tulang punggung gereja? mending bayar cicilan motor mewah pendeta daripada nambah-nambah anggaran sekolah minggu hehehehehehehehehe
 
pikiran saya berhenti karena sang empunya rumah tempat kami rapat menyuguhkan tahu petis pedas, wah nyam nyam.
Bapak dan ibu majelis serta para pendeta: bagaimana?, apakah bapak dan ibu majelis serta pendeta berani mengajar sekolah minggu?
saya tunggu jawabannya (kalo ada dari beliau-beliau yang baca)
 
Dikirimkan oleh esti pada Mgu, 2008-12-21 11:15
Dear Rahseto,
 
Anda melayani sebagai GSM tentunya ikut merasakan betapa lelah dan capeknya mengajar anak2 yang berlari-lari kesana kemari, karena itu biasanya dilakukan oleh para pemuda dan pemudi yang masih muda2 dan lebih lincah dan gesit.
 
Kalo para majelis atau pendeta yang rata2 sudah S2(sudah sepuh) tentu saja fisik tidak sebanding dengan anak2 muda.
 
Anda mulai membandingkan betapa jauh lebih berat tugas tersebut dibanding dengan tugas pelayanan yang lain, he..he..he.. gpp siiih.
 
Hai mata enak benar kamu kerjanya Cuma larak lirik sana sini!!!, aku si kaki pueegel niiih jalan melulu....tauu...
 
Maka si mulut pun memperdengarkan suara merdunya....................... ”Puji Haleluya””” 
 
Salam,
Dikirimkan oleh rahseto pada Mgu, 2008-12-21 21:39
dear esti,
lam kenal esti, bagaimana kabarmu? pasti baik2 aja kan
tulisanmu atas komentarku sungguh membuat aku tertawa tawa, bukan karena lucu atau merendahkan tapi bener juga tulisanmu itu.
memang bapak pendeta en majelis-majelis udah terlalu tua untuk menangani anak-anak SM, tapi pikirku mereka kan punya pengalaman nanganin anak, jadi ada transfer of knowledge lah (atau mungkin transfer of experience) so teman2 pengajar tahu bagaimana harus menghadapi mereka.
seperti sekolah nyata, ga hanya pelatihan yang isinya teori tapi juga praktek, sapa lagi yang bisa dan dekat, yang pasti majelis en pendeta.
lagian pendeta di tempatku masih sangat muda dan energik (dan skrng ini bnyk gereja yang punya pendeta yang masih muda) serta masih single (sapa mau?) dan ada background pendidikan juga (S.Pd, S.Th, sebentar lagi M.Th)  aku kira dia bisa mengajarkan teologi dasar kepada anak-anak atau mengajarkan kepada guru sekolah minggu yang ada bagaimana mengubah tulisan panduan sekolah minggu menjadi lebih enak dicerna.
"Hai kaki kamu pegel ya ngejar anak-anak itu" kata mata kepada kaki, maka mata akan membantu mengawasi anak-anak yang lain.
kemudian pak mulut memperdengarkan suara merduanya "anak-anak ayo semua tenang dengarkan dulu kakak-kakak"
Gusti mberkahi
Dikirimkan oleh Rya A. Dede pada Sen, 2008-12-22 14:22
Baru saja kakiku melangkah masuk ke halaman parkir gedung gereja, setidaknya enam orang ASM menyerbuku dengan gembira, menempelku bak magnet (sehingga aku menyebutku mereka magnet-magnetku), dan berebut tanganku.
Semester depan, aku sudah minta ijin cuti mengajar. Memang "cuma" karena alasan belum bisa beradaptasi dengan program SM gereja. Tapi aku tetap menjadi sahabat mereka, sampai kapan pun, kan?
Jangan jadi GSM! Jadilah sahabat anak-anak.
 
Dikirimkan oleh Purnomo pada Rab, 2008-12-24 22:45
Mbak Rya, saya setuju dengan pendapat ini.
Di gereja saya banyak orang yang mau menjadi sahabat anak-anak. Merekalah yang selalu dikontak oleh para GSM bila Sekolah Minggu punya kegiatan khusus.
Seperti misalnya menyediakan makanan kecil bila SM mengadakan pesta kecil untuk ASM. Atau menyediakan transport bila ASM piknik keluar kota. Jumat yang lalu SM di sini merayakan Natal. Selesai acara mereka mendapat es krim kap dan sekantong snack yang isinya sekitar 10 macam cracker dan permen. Bingkisan ini datang dari para sahabat anak-anak. Saya juga ikut ngantri bersama anak-anak karena ingin mendapatkan es krim dan permen coklatnya.
Selamat menjalani cuti sambil tetap menjadi sahabat anak-anak.
Selamat merayakan Natal 2008.
 
Dikirimkan oleh inot dadu pada Kam, 2008-12-25 13:13
God is Love
Bukan hanya GSM saja, Tim Sound & MUltimedia (TSM)  juga mengalami hal yang sama. TSM mempunyai tugas yg sangat penting dalam kelancaran ibadah.
Pada waktu terjadi "feedback" / suara denging, pastilah jemaat menoleh ke arah TSM, jika suara kurang keras atau terlalu keras, sama saja.
Jika teks lagu terlambat muncul, sudah pasti TSM akan ditegur, begitu pula jika tiba-tiba komputernya "hang".
Bahkan jika tiba-tiba lampu padam ataupun ada dering suara handphone jemaat atau ada anak-anak yang berisik, TSM lah yang jadi korban.
Kalau minta tambahan peralatan, TSM akan dicap sebagai tim penghabis anggaran gereja, mengingat peralatan yang harganya mahal. Tetapi jika ada sesuatu masalah, TSM juga yg disalahkan.
Memang orang2 yg di belakang layar, nasibnya kurang begitu bagus, masih mending kalo dapet honor, lah udah gak dapet honor....dimarah-marahin pula. 
 
Dikirimkan oleh Purnawan Kristanto pada Jum, 2008-12-26 22:54
Dear inot dadu:
Nasib kita sama. Tim Multimedia itu harus bekerja keras di belakang layar. Berangkat lebih awal, pulang belakangan. Kadang harus ngelebur jika ada alat yang rewel. Semua itu untuk mendukung ibadah.
Kalau pekerjaannya bagus, tidak ada yang memuji. Mereka berpikir: "Memang seharusnya seperti itu pelayanan kalian." Tidak ada yang menyalami dan mengucapkan terimakasih.
Tapi jangan harap sedikit melakukan kesalahan. Ratusan sorot mata siap menghujam dan memanggang tim multimedia dalam kegerahan. Malam Natal kemarin, gara-gara salah ketik syair, tim multimedia mendapat kecaman dari tim pemusik. Wah...nasib-nasib.
 
Nasib sama tapi happy ending
Dikirimkan oleh Purnomo pada Mgu, 2008-12-28 23:47
 
TSM di gereja saya bernasib sama. Dulu. Sekarang nasibnya berubah gara-gara peristiwa penganiayaan yang menimpa mereka.
 
Suatu kali dalam sebuah ibadah duduk 3 orang gila di barisan paling belakang sehingga mereka sangat berdekatan dengan tempat TSM bekerja. Pemimpin jemaat menyanyi adalah istri pendeta mereka yang suaranya cempreng. Pada nada-nada tinggi ia berteriak sehingga urat-urat lehernya tampak menegang. Melihat peformanya sih, dia tidak memenuhi persyaratan. Tetapi siapa berani menampik permintaannya untuk ikut aktif dalam ibadah. Bukankah yang namanya “panggilan melayani” tidak bisa diperdebatkan apalagi bila ybs adalah istri pendeta?
 
Karena tidak tahan, seorang dari 3 orang gila itu menoleh ke belakang, ke arah tim TSM. Dengan bahasa tubuhnya ia menyuruh mike Ibunda dikecilkan volumenya. Petugas senyum-senyum saja. Kembali si gila menengok ke belakang mengulang pesannya dengan mata melotot. Volume mike itu turun sedikit. Terlihat Ibunda menyadari suaranya kurang keras. Maka ia menyanyi lebih kenceng. Kembali si gila menoleh ke belakang mengirim pesan “kurang kecil” dan Ibunda berteriak makin kenceng. Kali ketiga, 3 orang gila bersama-sama menoleh ke belakang, maka mike itu pun tidak berfungsi lagi dan Ibunda menyanyi dengan volume mentok dengan kepala makin mendongak ke atas sehingga terlihat urat-urat lehernya yang kenceng.
 
Selesai ibadah segera tim TSM menghilang. Begitu juga 3 orang gila ini. Di konsistori Ibunda protes keras kepada majelis dan menilai kerja tim TSM tidak mutu. Majelis juga heran mengapa ada 1 mike dari sekian belas mike saja yang mengalami “trouble”. Tetapi mereka akhirnya tahu penyebabnya karena orang-orang gila ini juga protes kepada majelis yang membiarkan mike dipegang oleh orang yang tidak bisa menyanyi.
 
Sejak itulah tim TSM selalu didampingi oleh seorang penatua dalam menunaikan tugasnya untuk mencegahnya adanya infiltrasi orang gila. Ibunda sendiri? Ia mau ikut kursus bina vokalia sehingga suara cemprengnya makin berkurang dan ia tidak berteriak lagi pada nada-nada tinggi.