Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kamu Makan Babi

Purnomo's picture


Siang tadi waktu makan aku duduk di seberang Abel. Tubuhnya kecil dan kurus. Dia dan saudara-saudaranya dirawat oleh neneknya karena kedua orang tuanya sudah meninggal ketika merantau di Kalimantan dan Jakarta. Menu makan siang di ritrit kelas 6 itu nasi sop.

         Abel menoleh ke Krisandi yang duduk di sampingnya sambil menunjuk potongan-potongan kecil di piringnya dia berkata,
        "Itu babi. Kamu makan babi."
        "Babi tidak seperti ini," jawab Krisandi.
        "Betul, aku tahu itu babi."

         Dari 26 siswa kelas 6 hanya 2 orang yang orang tuanya Muslim dan aku ingat itu bukan Krisandi. Karena itu aku berkata, "Itu daging babi yang diblender dengan tepung lalu dimasukkan ke dalam kaleng, lalu diberi merek Ma Ling. Biasanya dipakai unt sop."

        Anehnya, Krisandi lalu menepikan potongan-potongan itu ke tepi piring, namun tidak semua. Dia tinggal di sebuah rumah susun. Apa sekarang dia di perumahan belajar mengaji? Aku tak tahu.

       Tanggal 28 & 29 Juni 2013 Sekolah Minggu gerejaku menyelenggarakan ritrit bagi anak kelas 6 SD di Lembah Kemenangan Ungaran. Aku 'memboncengkan' 22 siswa kelas 6 SD Tabita dalam acara ini. 'Membonceng' acaranya saja karena seluruh biaya ritrit unt 22 siswa ini ditanggung penuh oleh para penyantunnya karena kegiatan penyantunan seluruh siswa SD Tabita ada di luar organisasi gereja.

       Aku pindah ke meja siswa perempuan. Kepada seorang gadis kecil aku bertanya, "Sema, aku dengar kamu sudah punya ibu baru ya?" Ibu kandungnya yang Muslim - yang juga Penyalur Santunanku yang pertama karena rumahnya tepat di belakang SD Tabita - setahun yang lalu meninggal karena kanker rahim.

       Dia menganggukkan kepalanya.
       "Ibu barumu cantik ya."
       Kembali dia menganggukkan kepala. Ibu barunya mau dinikahi ayahnya karena ayahnya bersedia menerima dirinya beserta 2 anaknya yang seorang diantaranya cacat. Aku tidak tahu cacat apa. Ini aku dengar dari cerita gurunya.
      "Gurumu bilang kamu akan ke SMP Boni. Sekolah itu 'kan jauh dari rumahmu? Lalu siapa yang mengantar kamu ke sekolah?"
      "Dekat kok, karena saya sudah pindah ke Karanganyar dekat sekolah itu."
      "Nomornya berapa?" tanyaku karena dia calon penerima santunan 'siswa SMP lulusan SD Tabita'.
      "Saya lupa."
      "Mengapa pindah?"
      "Karena kontraknya di rumah lama sudah habis," jawab teman yang duduk di sebelahnya. Dia seorang dari gadis-kembar-tiga yg masih familinya. Bulik tiga dara ini alumni SD Tabita dan menikah ketika duduk di kelas 1 SMP karena terlanjur hamil dengan pacarnya.
      "Nanti selesai makan kamu cari aku ya, untuk mengambil santunan bulan Juni. Vika, Vita, Vina juga ya," kataku sebelum meninggalkan meja mereka.


          Kegiatan penyantunan siswa SD Tabita terus berkembang. Setelah berhasil menyantuni seluruh siswa dan membiayai peninggian lantai semua kelas agar luput dari banjir rob, guru mulai dibantu dengan memberikan 'bantuan uang transport' 150 rb untuk setiap guru setiap bulan. Jumlah seluruh biaya rutin setiap bulan telah naik menjadi 9.6 juta rupiah. Sekitar 60% donasi itu datang dari para pesbuker yang tinggal di berbagai kota. Dan mulai Juli 2013 secara selektif para lulusan SD ini tetap diberi santunan apabila (1) ekonomi ortunya betul-betul lemah dan (2) ortu mereka Katolik atau Kristen agar tidak disangka melakukan permurtadan.

       Waktu berjalan menuju meja di mana 3 guru SD Tabita duduk makan, seorang gadis kecil cantik menyalami aku.
      "Fernanda, kamu masih tinggal di belakang bekas gedung penjara?"
      "Masih," jawabnya.
     
       Di lembar data siswa pada kolom pekerjaan bapaknya menulis kata 'wirausaha'. Ketika aku mengunjungi rumah gubuknya, bapaknya sedang membakar 2 ekor anjing yang digantung terbalik. Rupanya itu yang disebut 'wirausaha'. Setiap minggu pertama spp-nya sudah dibayar lunas karena seekor anjing ukuran kecil yang sudah matang dibakar sebelum diolah jadi masakan bisa dijualnya paling tidak 125 rb. Sayang setahun yang lalu bapaknya meninggal.

       Aku juga akan memasukkan dia ke proyek 'penyantunan siswa SMP'. Semoga dengan penyantunan itu pendidikannya tidak berhenti di tengah jalan seperti Yuda yg lulus tahun lalu dan - cerita guru kelas 6 tadi malam kepadaku - tidak lagi bersekolah. Rp.100.000 sebulan mungkin tidak begitu berarti buat kita, tetapi untuk mereka bisa membuatnya terpaksa menghentikan pendidikan anaknya. Kalau anaknya perempuan, dikawinkan sekalian untuk meringankan beban biaya hidup keluarganya.

                                                      (29.06.2013)