Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Ke Wonosobo, Ke Leksono

arie_saptaji's picture

Jumat, 24 April

Ono gulo, ono semut
Durung rondo, ojo direbut

Pantun brilian dari pengamen stanplat itu mengiringi bis lepas dari terminal Parakan. Sindoro tegak memagar di sebelah kanan, Sumbing di sebelah kiri, bis meliuk membelah gunung kembar itu, mengantarku menuju akhir pekan yang hiruk pikuk di Wonosobo.

Persisnya: Dukuh Sunten, Desa Lipursari, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Itulah lokasi kediaman Stevie Sundah dan Maria Bo Niok, pasangan suami-istri pengelola rumah baca Istana Rumbia, yang mengadakan Gebyar Literasi nun di pelosok gunung.

Hujan rintik-rintik ketika aku turun di mulut terminal Mendolo sekitar pukul 13.00. Segera kuhubungi Stevie yang berjanji menjemput. Kutengok di seberang terminal ada warung dengan menu tertulis di kacanya: bakso, mi ayam, nasi goreng. Three-in-one yang asyik nih. Warung itu bisa menjadi tempat menunggu, tempat mengisi perut, sekaligus tempat numpang pipis. Kupesan mi ayam, yang ternyata disajikan dengan sawi hijau melimpah. Lauk tambahannya tempe kemul (tahu kan kalau kemul itu artinya selimut?) yang masih hangat dan kupikir lebih cocok disebut tempe tenda karena tepungnya melebar lebih generous dari tempe kemul yang biasa kutemui. (Baru nanti di rumah Stevie terbukalah rahasia penggorengannya---karena tempe tenda itu termasuk camilan yang rajin muncul, dan aku bisa melihat langsung pembuatannya di dapur. Juga tepungnya yang bersemu kuning, ternyata karena adonannya dibubuhi gerusan kunyit.) Hm, baru saja berkenalan, Wonosobo sudah menghidangkan produk kuliner yang maknyus!

Hujan sudah reda ketika Stevie datang dengan motor bebeknya. Celana jeansnya tampak membasah, dan bercak-bercak tanah lempung mengotori sebagian badan motornya. Barang-barang bawaanku---buku-buku sumbangan, kaos Apsas kiriman Rita Achdris, tas dan pin Apsas titipan Ilenk Rembulan, serta baju gantiku sendiri---ditumpuk di leher motor. Stevie memilih jalur alternatif yang lebih sepi, tapi meliuk-liuk naik-turun, dan sesekali tercium harum durian yang dijajakan di pinggir jalan. Meninggalkan jalan provinsi, kami memasuki jalan aspal menembus hutan. Setelah sekian kelokan, jalan berubah jadi beralas bebatuan yang licin mengilap habis disiram hujan. Tanjakan tajam, turunan curam, lalu ketemu lintasan berlempung---o, ini dia yang membuat motor jadi kotor.

Memasuki kampung, suasana sepi. Di sebuah pekarangan beberapa orang sedang mempersiapkan panggung dari besi-besi warna biru. Di manakah Istana Rumbia? ”Itu yang di belakang panggung. Yang ada tulisan WARTEL-nya,” jelas Stevie. Jalan menuju rumah itu becek, lempung basah melekat di telapak sepatu. Mana taman bacanya? Stevie menyuruhku masuk ke ruang tamu kecil berkarpet hijau. Ada meja komputer di satu sisi, lalu rak baca dari tumpukan batu bata dan papan membentuk huruf L di sudut. ”Ini taman bacanya.” Oh, tak sebesar yang kubayangkan. Rumah sudah lengang. Aku hanya sempat diperkenalkan dengan Mbak Tien, kakak Sigit Susanto. Juga ditawari kopi oleh seorang ibu yang berkutat di dapur. Kutolak karena tampaknya kami harus buru-buru pergi lagi. Yang lain? Itu dia! Mereka sudah mendahului memulai acara Gebyar Literasi ini dengan acara penebaran benih dan lomba memancing di Kali Putih. Setelah mengganti sepatu dengan sandal jepit, aku membuntuti Stevie menyusul ke sana.

Dari kampung, kami menuruni jalan setapak berubin semen kasar. Hanya beberapa meter, jalan kini beralas bebatuan, dan kian menurun tajam. Karena konsentrasi menjaga langkah, aku tak sempat memperhatikan pepohonan yang tumbuh lebat di kiri kanan. Tak lama kemudian, lapisan batu hilang, tinggal tanah lempung yang lunak dan licin. Langkah mesti diatur sedemikian rupa agar mencengkeram jalan dan tidak tergelincir. Hh, masih berapa jauh sih lokasinya? ”Sudah dekat kok. Di seberang jembatan itu.” Hehe, rupanya Stevie sudah menjadi orang desa. ”Sudah dekat”-nya berarti menuruni undak-undakan, melintasi jembatan, lalu menyusuri pematang sawah bertanah liat basah sekitar sekilometer. Aku sempat terbanting ketika jalannya menurun.

Di lokasi, puluhan bocah dan remaja hiruk-pikuk berendam di dalam sungai, masing-masing mengulurkan joran ke air. Aliran sungai ini dibendung sebagian untuk dijadikan irigasi. Di situlah benih ribuan ikan sumbangan Dinas Perikanan setempat ditebarkan sebelum kami datang. Namun, dua karyawati dinas yang seharusnya melakukan serah terima dan memimpin penyebaran tidak datang karena enggan berhujan-hujan. Menurut Stevie, Dinas Perikanan memang menyediakan benih untuk dibagikan ke masyarakat guna peningkatan kesejahteraan mereka, tapi masyarakat sendirilah yang mesti berinisiatif mengajukan proposal. Salah satu syaratnya, ikan-ikan yang ditebar itu nantinya tidak boleh dipotas atau disetrum, hanya boleh dipancing atau dijala. Rencananya setahun sekali akan diadakan penaburan benih baru.

Aku melambaikan tangan pada Sigit yang sedang memegang halo-halo di kejauhan sana. Di sebelahnya tampak Maria, istri Stevie. Setelah mendekat aku diperkenalkan pada teman-teman yang sudah datang lebih awal: Daurie dari KKS Melati, Heri Santoso dari Komunitas Lerengmedini, dan Tommas Titus Kurniawan, sang fotografer berambut gelombang sebahu.

Ternyata sudah ada pemancing yang memenangkan hadiah sebagai pemancing tercepat pertama dan kedua. Karena keduanya laki-laki, kini diumumkan kesempatan bagi para perempuan untuk mendapatkan hadiah sebagai pemancing tercepat. Selain adu cepat, mereka juga diadu paling banyak memperoleh ikan. Tercatat ada 12 regu peserta, masing-masing terdiri atas lima orang. Ikan yang terpancing ternyata masih kecil-kecil, paling besar seukuran jempol. Ada juga yang mendapatkan udang. Enak kayaknya digoreng jadi peyek.

Pukul 17.00 Maria berhalo-halo meminta bocah-bocah pulang. Sebagian dari mereka menggigil dengan bibir memucat, namun mata mereka tetap berkilat-kilat penuh semangat. Sepanjang perjalanan pulang hujan sempat menderai tipis. Jalan menanjak selepas jembatan jadi paduan antara pijat refleksi dan lulur lumpur. Tapi, malah ada sejumlah anak yang tertawa-tawa memanfaatkan jalur licin itu untuk main luncur-luncuran.

Kemi menunggu giliran mandi sambil ngobrol ngalor ngidul di ruang tamu ditemani kopi pekat, jadah goreng, dan ceriping tela. Tamu Istana Rumbia bertambah dengan kehadiran Bu Ida, pengelola pondok baca Ibnu Hajar di Salam, Magelang. Daurie menceritakan secara lebih detail peristiwa yang baru kutahu sekilas dari SMS Sigit dan cerita Stevie: ia kehilangan laptopnya di bis malam, kira-kira selepas Indramayu karena dari situlah ia tidur nyenyak. Si maling rupanya cukup canggih karena ia lumayan sabar membuka lapisan tas ransel, merogoh laptop di tengah, dan merapikan tas seperti semula. Baru saat turun di Wonosobo Daurie tersadar kalau laptopnya sudah raib. Kira-kira saat itulah Ita Siregar berkabar ia siap berangkar dari Jakarta. Aku dan Sigit serempak mengirim SMS memberi password peringatan: Peluk tas!

Daurie juga bercerita setahun terakhir ini ia sedang mendalami metode konseling dan pelayanan penyembuhan trauma, antara lain dengan NLP. Setiap minggu ada saja klien yang meminta layanannya. Usai dari acara Wonosobo ini, ia akan ke Ambon untuk melayani korban kerusuhan di sana. Menurut catatannya, untuk melayani masalah orang lain, tak jarang ia mesti mengalami dulu masalah yang tak kalah berat. Seperti ujian kehilangan laptop itu, mungkin?

Sigit dan Heri menunjukkan buku himpunan tulisan kegiatan bersastra sambil naik sepeda di Boja, Kendal, tahun 2008. Selain tulisan, ada gambar dan foto-foto kegiatan. Tulisan anak-anak peserta tidak diketik ulang, namun langsung ditampilkan hasil scan tulisan tangan mereka. Itu termasuk buku awal garapan Komunitas Lerengmedini.

Seorang bapak distributor gas elpiji---nuwun sewu, Pak, lupa menanyakan nama---yang ikut acara pemancingan tadi tertarik pada kaos Apsas yang kubawa. Ia memborong tiga. Kubuka juga jualan lainnya. Sigit membawa Menyusuri Lorong-Lorong Dunia Jilid 2. Bu Ida membeli Pacaran Asyik dan Cerdas. Untuk anak tersayang, Bu?

Setelah makan malam berlauk pecel dan sayur ikan gereh layur dimasak dengan santan dan lombok ijo, kami melanjutkan obrolan. Sigit menyodorkan setumpuk kartu pos dari berbagai negara, dan kami masing-masing dipersilakan mengambil lima lembar. Ia juga menghadiahiku oleh-oleh dvd The Christmas Shoes, yang diangkat dari novel Donna Van Liere. Pelipur kegagalan mendapatkan Messiah-nya Handel pesananku. Sebagai balasan kuberikan vcd Cheng Cheng Po, pemenang film pendek terbaik dalam FFI 2008. Aku menyerahkan buku sumbangan untuk Istana Rumbia, yang diterima dengan hangat oleh Stevie dan Maria.

Kalau bukan karena mengantuk, obrolan tentu terus bersambung. Akhirnya, Mbak Tien tidur di kamar tamu, Bu Ida menginap di tetangga sebelah, dan kami enam laki-laki bergelimpangan di atas karpet di ruang tamu...

Sabtu, 25 April

Sekitar pukul 05.00 aku terbangun karena keributan yang dibikin Tommas. Ia memang berencana balik ke Semarang untuk mengurus seminar di kampusnya, dan siangnya akan kembali ke Dukuh Sunten. Perjalanannya naik motor dengan Heri kemarin memakan waktu empat jam. Aku terbangun sebentar mendengar suara keresek-kereseknya, namun udara dingin mengajakku meringkukkan tubuh lagi seperti udang.

Cahaya matahari sudah menerobos ke ruang tamu ketika Maria mengumumkan acara pagi itu: jalan-jalan keliling kampung. Aku memutuskan tidak perlu mandi dulu, cukup menggosok gigi. Habis berkeringat nanti baru mandi kan segar, pikirku.

Beberapa teman dari Warung Bacaan Anak (Wacana) KKS Pelita Hati muncul. Ada Monica, Yusni, dan Toro. Mereka membawa satu dos buku sumbangan untuk Istana Rumbia. Ceritanya, mereka baru datang dari Jakarta, mampir ke komunitas mereka di Gunung Kidul, Yogyakarta, dan sebelum subuh tadi langsung berangkat ke Wonosobo.

Tamasya keliling desa dipandu oleh Elias. Ia lulusan SMA yang sebenarnya ingin masuk sekolah polisi, namun batal karena ibunya tidak setuju. Akhirnya ia mengikuti sejumlah pelatihan SAR, dan sempat diterjunkan ke beberapa lokasi bencana di Indonesia. Saat ini ia bekerja sebagai petugas satpam di pasar induk Wonosobo, dan hari ini ia khusus minta cuti untuk bisa mendukung acara Gebyar Literasi.

Perjalanan dimulai dengan berpose di depan kerbau di kelokan dukuh. Jalan berbatu menanjak sampai ke ujung desa, dilanjutkan dengan menerabas hutan pinus, lalu berkelok menyusuri jalan setapak menuju pertigaan bersejarah di atas Bukit Beser. Menurut Elias, dulu di salah satu sudut ada pohon beringin besar umur ratusan tahun. Entah dengan alasan apa Perum Perhutani memilih memangkasnya meskipun masyarakat setempat sempat menentangnya. Konon, dulu pohon itu terlihat dari kota Wonosobo sebagai penanda bukit ini. Di sudut satunya, dulu ada pohon karet tua. Kawasan itu dulunya hutan karet, dan nun di sana ada TPK (Tempat Penampungan Karet). Orang setempat masih menyebutnya demikian sampai sekarang.

Kami menanjak sedikit lagi ke puncak Bukit Beser, tampat kami bisa memandang hamparan lembah Wonosobo secara leluasa tanpa pengalang. Elias menunjuk ke bukit di seberang sana, Bukit Pupur (Bedak). Konon, para perempuan pendudukan bagian depan bukit itu jelek-jelek wajahnya, sedangkan para perempuan di balik bukit terkenal ayu-ayu. Elias mengaku sudah membuktikannya.

Turun kembali ke desa lewat jalur lain, kami singgah ke rumah ketua ketua paguyuban jaran kepang. Rencananya akan ada sedikit pertunjukkan. Namun, karena kebanyakan anggota sepagi ini masih bekerja di sawah, acara batal.

Kekaguman khusus mesti kutujukan pada Mbak Tien. Dalam usianya yang sudah mencapai 64 tahun, pensiunan guru Bahasa Indonesia masih sanggup menaklukkan medan naik-turun yang menguras tenaga. Dan, tetap bugar sesampai di bawah!

Sampai di Istana Rumbia, Ita Siregar sudah menunggu di ruang tengah. Berkat SMS peluk tas, ia tiba dengan selamat tanpa kekurangan suatu apa pun!

Belum sempat ngobrol lama, atraksi lain sudah menunggu: flying fox! Ini acara sumbangan tim SAR Kabupaten Wonosobo. ”Sekalian biar penduduk sini tahu. Ketimbang mereka cuma lihat di tivi.” Hehe, saya juga baru lihat di tivi, Pak. Ujung tali yang satu diikat di batang pohon kelapa di atas tanggul, ujung yang lain diikat di pohon kelapa lain di bawah sana, tali menggantung melintasi petak-petak sawah. Anak-anak bersemangat sekali menjajalnya. Aku ikut mencobanya. Asyik, tapi terasa tidak terlalu lama meluncurnya.

Setelah sarapan siang, kenyang dan lelah, aku sempat tertidur. Terbangun, terdengar suara hujan deras di luar. Juga suara Ita dari pengeras suara. Ia sedang mendongeng tentang lumba-luma. Nanti baru aku tahu ia bercerita dari buku Renny Yaniar. Anak-anak terdengar menanggapi dengan antusias.

Wah, berarti giliranku sebentar lagi. Aku segera mandi---baru sesiang itu!

Selesai mandi, panggung sudah diisi atraksi sulap Sigit. Ia menyirami boneka bocah kecil bugil dengan air panas dari termos. Apa yang terjadi? Kurang ajar, bocah itu kencing ke arah penonton. Anak-anak terbahak. Sigit melanjutkan dengan sejumlah trik lain diiringi mantra prikkiprakkiprukiprektatti

ttutkuik sambil mengerjai beberapa anak. Anak-anak senang, orang dewasa pun bungah. Di belakang panggung nanti, Sigit membeberkan rahasia triknya. Setiap menanyakan cara kerja alat di toko sulap, penjualnya akan bertanya, ”Mau beli nggak?” Kalau transaksi sudah terjadi, baru rahasia diberitahukan. Kini Sigit membongkarnya secara cuma-cuma: bagaimana mengubah warna selendang, bagaimana menghilangkan dan memunculkan telur, bagaimana menyalakan bola lampu dalam genggaman, dan bagaimana menebak mumi warna-warni.

Tibalah giliranku. Tugasnya keren: membagikan resep menulis kepada anak-anak. Sebenarnya ku modal nekat juga. Memang aku sudah beberapa kali mengajar di pelatihan menulis. Tapi, menghadapi anak-anak? Ini pengalaman pertama. Aku menyiapkan kliping puisi, artikel, dan cerpen dari Kompas Anak dan Bobo. Juga mengunduh puisi Abdurahman Faiz dari blognya, serta puisi-puisi heboh Serafina Ophelia (Ibu dan Facebook) dan kawan-kawan. Kupakai bahan-bahan itu untuk menggambarkan tak terbatasnya lahan menulis: bocah-bocah seumur mereka sudah biasa menulis, dan mereka bisa menulis baik berdasarkan kenyataan maupun khayalan. Lalu, dengan memberi iming-iming buku humor, aku mengajak dua orang anak naik ke panggung membacakan puisi atau cerita yang dipegangnya. Stevie menambahkan dua buku hadiah. Jadilah empat anak bergantian membaca puisi dan penggalan cerpen.

Stevie dan Maria lalu mengingatkan, mereka yang sudah mendaftar besok akan pergi ke kebun teh. Di sana mereka akan bersama-sama berlatih menulis. Mereka boleh menulis apa saja, dari pengalaman memancing, melihat sulap, pengalaman sehari-hari, atau cerita khayalan mereka sendiri. Tulisan yang bagus nantinya akan dibukukan.

Di tengah keasyikanku memotivasi anak-anak tadi, muncullah Yahya Perwita dan Asrie Lesningati. Pasutri ini khusus datang berboncengan dari Purwantoro, Wonogiri, untuk berbagi dalam diskusi rumah baca sebentar lagi. Asrie menyalamiku dengan tampang seperti orang pangling. ”Mas Arie ini kok beda banget ya. Dulu di Purwantoro hanya senyam-senyum, la kok sekarang seperti diberi makan buah,” komentarnya. Begitukah? Ia lalu memberiku buku kecil kumpulan testimoni istri pendeta, sedangkan aku memberinya vcd Cheng Cheng Po.

Obrolan para pengelola rumah baca dilakukan sambil duduk melingkar di ruang depan. Cerita mereka asyik. Kenapa, misalnya, rumah baca di sini dinamai Istana Rumbia? Maria bercerita, nama itu merupakan kenangan pada neneknya, tuan tanah terhormat yang memiliki pondok beratap rumbia di tengah alas. Pondok itu biasa dipakai sebagai tempat perlindungan penduduk bila ada serangan musuh pada masa penjajahan dulu. Perabotan di pondok itu serbaalami, salah satunya gelas dari bumbung bambu. Meskipun hanya pondok beratap rumbia, Maria menganggapnya sebagai istana. Pengalaman mengurus rumah baca ini sendiri lumayan pelik. Tidak gampang menumbuhkan minat baca. Pernah suatu ketika ia mendapatkan sumbangan buku satu dos. Apa yang terjadi? Ternyata buku-buku itu beralih ke tukang loak. Mereka tak patah arang. Baru dua tahunan kemudian tampak hasilnya, anak-anak itu mulai bertanya-tanya seputar buku dan kepenulisan. Ada pula yang senang karena bisa mengerjakan tugas sekolah berkat bacaan yang tersedia di Istana Rumbia. Lurah setempat bahkan memberikan bantuan, berupa dua rak yang dipasang di ruang tengah.

Semula kubayangkan Istana Rumbia itu rumah baca yang berdiri terpisah dari rumah Stevie dan Maria. Ternyata, taman baca itu memakan ruang tamu dan merambah ke ruang tengah rumah mereka. Di Boja, Kendal, Sigit Susanto juga merelakan ruang tamu rumah keluarganya dijadikan Pondok Maos Guyub. Hari pertama, tamu yang ingin membaca masih permisi. Hari ketiga, mereka langsung nyelonong memilih bacaan tanpa menyapa tuan rumah! Menarik. Ruang privat beralih menjadi ruang publik. ”Kan sama saja. Daripada ruang tamu dijadikan tempat bergosip lebih baik dibuat ruang baca sekalian,” kata Sigit. Dengan membuka taman baca, mereka membuka rumah dan hidup mereka untuk dilintasi orang lain. Keramahtamahan yang hebat!

Asrie mengembangkan model rumah baca keliling dan pembuatan mading. Saat ini sudah ada sembilan pos yang didatangi secara bergilir sebulan sekali. Bu Ida mengasuh taman bacaan yang terpadu dengan TK dan PAUD. Dari semula hanya di ruang sebesar 3 x 4 meter, kini beralih ke ruang seluas 60 meter persegi. Lokasi itu sekaligus menjadi pusat tempat bermain dan belajar bagi masyarakat setempat. Daurie menuturkan keuletannya membangun jaringan dan kreativitas pengumpulan dana untuk menjalankan proyek-proyek sosialnya.

Di tengah diskusi itu, muncullan rombongan dari Nawa FM, Wonosobo, dikomandani Arya Dheza. Radio ini menjajal acara-acara berbau sastra, seperti pembacaan puisi dan cerita. Semula dianggap terlalu “tinggi” oleh pendengar, namun lama-kelamaan bisa diterima juga.

Ketika undur ke belakang, aku bertemu Gendhotwukir dan rombongan Komunitas Merapinya sudah memenuhi ruang tengah. Mereka datang beramai-ramai naik motor dari Muntilan untuk meramaikan Gebyar Literasi ini.

Di luar, pentas seni dimulai. Pak Lurah memberikan sambutan. Sigit menampilkan sulap lagi, lalu penampilan band, dan ada juga lawakan pemuda setempat. Makin malam suasana makin ramai, Istana Rumbia juga makin penuh orang. Orang-orang asyik ngobrol, aku tergeletak di sofa. Tidur.

Minggu, 26 April

Pengumuman kemarin sore ternyata belum diralat. Anak-anak diminta bersiap-siap pukul enam untuk berangkat ke kebun teh. Dan, betul saja, pagi-pagi mereka sudah ribut menunggu di pelataran. Sementara itu yang tua-tua ini masih bergelimpangan di atas karpet---entah pada begadang sampai jam berapa semalam.

Setelah mandi dan sarapan, kami bergabung dengan anak-anak. Pikap belum datang. Anak-anak itu tampak ceria, tak masalah rupanya mereka menunggu dua jam lebih. Ita memanfaatkan waktu untuk kursus kilat memotret pada Tommas. Sigit mempertunjukkan senam yoga. Stevie dan Maria mengabsen para peserta.

Matahari sudah tinggi dan terik sinarnya ketika dua pikap bak mengangkut para peserta ke perkebunan teh Tanjungsari, Tambi. Beberapa orang menyusul naik motor. Perjalanan lumayan jauh, jalan meliuk-liuk, di kiri-kanan hutan atau perkebunan, angin gunung menerpa keras. Wonosobo memamerkan keasriannya.

Di Tanjungsari perbukitan kebun teh menyambut kami. Luas menghijau, namun sunyi. Tidak tampak sosok para pemetik. Karena hari libur atau kedatangan kami terlalu siang? Anak-anak pun diminta menyebar, memilih tempat yang senyaman untuk menulis, dan mencoret-coretkan apa saja yang hendak mereka tuangkan. Eh, rupanya ada yang berkumpul berbagi bakmi bawaan dari rumah dulu. Sudah lapar mereka. Aku membawa halo-halo berkeliling. Baru sekali ini aku menikmati suasana kebun teh dari dekat. Hamparan hijau bersemu kuning yang meluas sampai ke batas pandang. Sayang, tidak ada pemandu yang bisa bercerita lebih banyak soal seluk-beluk kebun teh ini.

Sekitar pukul dua belas, peserta latihan penulisan diminta berkumpul. Tulisan yang sudah selesai diserahkan kepada Maria. Selebihnya, peserta yang ingin berenang boleh menceburkan diri ke kolam di bawah. Aku memilih duduk-duduk menunggu di taman.

Perjalanan pulang diwarnai mendung menggantung, namun hujan tak turun. Tiba di Istana Rumbia, kami makan siang dan berkemas. Arya Dheza muncul bersama Adi, pembuat video klip pembacaan puisi, visualisasi acara sastra di radio. Mereka memutarkannya untuk kami. Tampilnya mirip dengan video klip musik. Sayang, pada klip ketiga, mobil jemputan kami datang. Kami berpamitan, dan Maria menghadiahi kami masing-masing novelnya, Ranting Sakura.

Kami meluncur ke terminal Mendolo. Ita mencari bis ke Jakarta, Daurie menuju Bandung. Sigit, Mbak Tien, dan aku mendapat bisa terakhir ke Magelang. Aku akan turun di Parakan karena ingin menengok Bapak di Ngadirejo. Sigit dan Mbak Tien akan berganti bis ke Jogja di Magelang nanti.

Akhir pekan yang hiruk pikuk itu pun menyusup ke bilik kenangan. ***

Yogyakarta, 11 Mei 2009

__________________

greeny's picture

@mas Arie : salute :)

salam kenal Mas Arie,

selama ini mah saya baru mengenal mas Arie mlalui buku yang sering saya baca gratis di toko buku haleluya (oppsss ketahuan, ada juga sih yang beli:)

perjalan yang mengasyikkan ya kisah di atas, dan mungkin ga banyak orang yang mau melakukannya mesti mengasyikkan.

salute untuk karyanya terhdp anak anak di istana rumbia

salute untuk kluarga pa Sigit yang merelakan ruang tamunya menjadi istana baca. pelayanan yang sungguh merakyat dan beraroma sorga

dan salute untuk tulisan mas Arie, yang alurnya sedikit banyak membawa pembaca seakan-akan hadir dalam peristiwa itu dengan detil yang lengkap

Ajarin dong mas :)

 

 

salam

Purnomo's picture

Greeny, mau belajar?

Untuk belajar menulis catatan perjalanan, Mas Arie memang jagonya.

Temannya, Sigit Susanto, juga sama pintarnya dan telah membukukan kisah-kisah perjalanannya dalam 2 jilid bukunya “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia”.

 Untuk belajar membuat rumah baca bisa berkunjung ke (bekas) rumah Sigit di Boja dengan alamat

Bpk. Hartono (adiknya Sigit), Jl.Raya Bebengan 221 (dekat pasar) Boja, Kendal.

 Tanggal 18-Agustus-2008 saya ke tempat ini mengantar teman yang ingin membuka rumah baca di rumahnya di Pedan dekat Delanggu-Klaten. Pintu rumahnya terbuka tetapi tidak ada yang menjaganya. Sampai kami masuk ke ruang tamu dan kamar tidur depan yang sudah berubah menjadi tempat pemajangan buku, tidak ada orang yang keluar menyambut kami. Agaknya di kota kecil ini penduduknya tidak merasa kuatir meninggalkan rumah dalam keadaan terbuka. Kami membuka-buka buku catatan peminjaman untuk melihat jumlah peminjaman buku setiap hari. Sampai setengah jam kami asyik di situ dan meninggalkan tempat itu, kami tidak bertemu dengan pemilik rumahnya.

 Jadi tak perlu kaget bila Greeny mendapat pengalaman yang sama. Sayang saya kehilangan nomor telepon rumah itu. Tetapi bila Greeny membutuhkan, saya akan mengirim imel ke Sigit yang sekarang tinggal di luar negeri untuk menanyakannya. Atau Greeny bisa tanya Mas Arie yang mungkin mempunyai catatan alamat dan nomor telepon rumah baca yang dekat dengan domisili Greeny.

 Salam.

 

Daniel's picture

serasa hadir di sana

terima kasih untuk ceritanya yang mengasyikkan dan sekaligus mengharukan...

arie_saptaji's picture

alamat rumah baca

 

kawan-kawan,

bila berminat untuk mengunjungi rumah baca, atau memberi/mengirimkan sumbangan buku, berikut ini yang kutahu:

Istana Rumbia/Maria Bo Niok
Jl. Gerangsang Lor 03/02
Ds. Sunten, Lipursari, Leksono
Wonosobo, Jawa Tengah

http://boniok.multiply.com/

Taman Bacaan Kirana/Asrie Lesningati di Pastori GKJ Purwantoro, Selatan Terminal Bus Purwantoro, Wonogiri 57695, telp 0273 415055

Pondok Maos Guyub ada multiply-nya:

http://pondokmaos.multiply.com/

saya sendiri bukan pengelola rumah baca, hanya penggembira acara. bila tulisan saya menggugah minat, syukurlah.

bagaimana kalau warga sabdaspace bergotong royong mensponsori/mendirikan taman bacaan?

__________________

y-control's picture

apsas

kang sigit memang baik hati, apalagi kalau sudah bagi-bagi buku.. tapi kalo ngikutin diskusi di apsas, yang paling saya tunggu adalah saut situmorang.. 

HA HA HA...

 

Presse Ne Pas Avaler

noni's picture

mampir...

Jadi malu nih, sebagai orang Wonosobo malah nggak 'ngerti' kalau ada kegiatan seperti yang mas/pak Ari sebutkan.

Kapan-kapan kalau ada tugas/acara ke Wonosobo, saya persilakan untuk singgah di gubug saya. Dan jika membutuhkan tenaga angkut-angkut atau apalah namanya, bisa hubungi saya. Kebetulan rumah saya dekat sama Desa Lipursari maupun Sunten. Saya tinggal di Selokromo Pak...

Salam kenal dan terima kasih, tulisannya bagus dan sepertinya orang akan jadi lebih tertarik untuk datang ke Wonosobo setelah membaca tulisan Pak Ari. (Itung-itung promosi wisata, hehehe...).

Tuhan memberkati.

__________________