Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kisah di Tasikmalaya

Purnawan Kristanto's picture

PhotobucketHari Selasa [8/9/2009], saya bersama dengan pak Tjandra Agus, koh Januar, Doddy Hendro dan pak Hasan pergi ke Tasikmalaya untuk mengantarkan bantuan kemanusiaan. Sekitar pukul sepuluh pagi, ditemani oleh pak Philipus Kristianto dan pak Jonson Sitorus, kami meluncur menuju desa Sukajaya, kecamatan Purbaratu. Sepanjang pengamatan,  kota Tasikmalaya tidak terpengaruh sama sekali dengan adanya gempa. Semua berjalan dengan normal. Tidak ada tanda-tanda kedaruratan. Sedikit tanda bahwa ada gempa telah terjadi di sana adalah runtuhnya bangunan tua di sebuah perempatn dan aktivitas anak jalanan yang meminta sumbangan atas nama korban gempa. Aktivitas perekonomian berjalan dengan normal. Toko-toko buka seperti biasa, kecuali warung makan. Jalanan disesaki kendaraan pribadi dan angkutan umum. Tidak banyak terlihat mobil pembawa bantuan kemanusiaan.

Sekitar 15 menit perjalanan, kami melihat hamparan sawah dengan tanaman padi berumur sekitar sebulan dengan aliran air yang melimpah. Lima menit kemudian , kami memasuki lokasi yang terkena dampak gempa. Kami melihat ACT sudah membuka posko kemanusiaan. Sesampai di kantor kalurahan, kami melihat sekitar 50 orang sedang mengantri untuk menerima pengobatan gratis dari Obor Berkat Indonesia. Terlihat mobil bak terbuka dari Koramil yang menurunkan 4 zak beras dan sektar  10 dus mie instant. Setelah berfoto-foto sejenak, Koramil itu pergi.
Di dekat kantor kelurahan sudah terpasang dua tenda peleton, namun sayangnya belum ada isinya. Tidak juga ada relawan yang ada menunggui di sana.
Kami diantarkan oleh aparat desa mengunjungungi rumah-rumah yang rusak. Berbeda dengan Klaten, kerusakan di sini tidak terpusat  satu tempat. Rumah yang rusak tersebar di tempat-tempat yang terpisah.
Kebanyakan rumah yang rusak berat adalah bangunan yang tidak menggunakan tulang besi sebagai penguat.  Beberapa warga masih menghuni rumah meskipun sudah rusak berat. Jika terjadi gempa susulan, kemungkinan besar rumah tersebut akan roboh. Mereka hanya menghuni pada siang hari, dengan alasan jika tinggal di tenda, terasa sangat panas. Namun jika malam hari, mereka bermalam di tenda darurat.
Ada seorang ibu yang menonton  TV di rumahnya yang rusak berat. Bahkan ada seorang ibu yang meninggalkan bayi di dalam rumah yang rusak berat. Puing-puing masih berserakan karena belum dibersihkan. Kondisi ini berbahaya bagi bayi yang masih rentan tersebut. Struktur bangunan yang sudah rapuh dapat runtuh sewaktu-waktu. Selain itu, debu-debu pada puing bangunan dapat menyebabkan penyakit ISPA [Infeksi Saluran Pernapasan Atas].
Bayi Penyintas Gempa
Bayi Penyintas Gempa
Bayi berumur 21 hari tinggal di dalam rumah yang hampir rubuh

Photobucket

Inilah kondisi tembok rumah orangtua bayi ini
 
Menurut sang ibu, dia terpaksa meninggalkan bayinya karena harus mengurus pekerjaan domestik. Dia tidak mau meninggalkan bayinya di dalam tenda karena terasa panas. Sementara itu suaminya sedang pergi kerja sebagai kuli bangunan.
Melihat kondisi tersebut, maka kami menawarkan untuk membuat shelter dari bambu [orang Sunda menyebutnya Saung]. Di sekitar lokasi, kami melihat ada banyak bambu yang dapat dimanfaatkan. Kepada lurah setempat, kami menawarkan untuk menyediakan bahan bangunan, sementara mereka yang menyediakan tenaga kerja untuk pembuatannya secara bergotong royong.  Saat ini saung tersebut sudah berdiri. [Terimakasih untuk kerja keras pak Philipus dan pak Jonson].
Saung
Saung
 
Saung
Pak Pilipus bersama bayi [21 hari] dan ibunya yang akan menhuni saung
 
Sekitar perkampungan di desa Sukajaya ini masih terdapat banyak pohon keras, utamanya pohon mahoni. Topografi tanahnya datar dan berpasir. Di banyak tempat tumbuh rumpun-rumpun bambu. Hal ini berkaitan dengan usaha warga setempat yang membuat kerajinan dari anyaman bambu. Kami melihat hal ini sebagai potensi yang dapat dikembangkan untuk upaya pemulihan paska bencana. Mereka dapat memasok anyaman-anyaman bambu [gedhek: Jawa], untuk pembuatan shelter.
Sayangnya rumpun-rumpun bambu ini juga menyimpan masalah. Kalau rumpun ini dihembus oleh angin yang kuat maka bulu-bulu bambu akan beterbangan dan jika menempel di kulit warga, dapat menimbulkan gatal-gatal. Itu sebabnya, pendirian tenda-tenda plastik sebagai tempat tinggal sementara tidak banyak bermanfaat di desa ini. Mereka membutuhkan tempat tinggal sementara seperti saung yang kami dirikan.
Potensi lain yang dapat dikembangkan di desa ini adalah anyaman tikar dari pandan air [mendhong:Jawa]. Kami melihat ada banyak warga desa, khususnya perempuan, yang memintal tikar menggunakan alat tenun tradisional. Sayangnya, mereka hanya berstatus buruh upahan. Mereka dibayar Rp 6 ribu per lembar tikar yang dihasilkan. Dalam bulan puasa ini, mereka menghasilkan dua lembar tikar setiap harinya.
Dalam satu kesempatan, kami mengobrol dengan anak bernama Sinta (6 tahun) dan Rizki [3 tahun], serta satu lagi teman sebaya. Mereka sedang main masak-masakan. Tangan kanan Rizki cacat. Sejak lahir dia tidak memiliki telapak tangan.  Saya bertanya: “Waktu gempa kamu merasa takut, nggak?” Mereka mengaku takut. Saya tanya lagi, apa sekarang masih takut? Tidak, jawab mereka. Mereka bermain di dekat jamban cemplung, yang hanya ditutup dengan lembaran seng seadanya.
Dalam perjalanan pulang, ada sebuah posko yang menarik perhatian kami karena terlihat sedikit aneh. Menurut cerita pak Jonson, posko ini mencegat setiap bantuan yang masuk ke desa sukajaya. Mereka memaksa supaya penyumbang menyerahkan bantuan kepada mereka. Mereka berjanji akan  menyalurkan ke warga.
***
Menjelang tengah hari, kami melanjutkan perjalanan ke Ciloak-Pasirjaya, desa Cikadu. Desa ini berlokasi di kaki perbukitan dengan hamparan sawah di bagian bawahnya. Untuk mencapai lokasi, kami harus mendaki bukit yang sangat curam dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Pada awal gempa, ada banyak relawan yang membantu di sini, kebanyakan dari pesantren Daarut Tauhid dan Persis. Namun karena lokasi yang susah dijangkau, maka jumlah relawan yang masih bertahan hanya dapat dihitung dengan jari. Kendalanya adalah medan yang cukup curam. Untuk mencapai lokasi, kami mendaki dengan napas tersengal-sengal. Dua orang memilih tidak beristirahat di tengah perjalanan karena kehabisan tenaga.
Kerusakan di desa ini cukup besar. Hampir 80 persen rusak berat atau rata dengan tanah. Sebuah masjid ikut rubuh. Di antara sedikit rumah yang masih bertahan adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu dan bambu. Ini membuktikan bahwa rumah kayu dan bambu relatif aman dari goyangan gempa karena bersifat lentur terhadap goyangan.
Di kanan-kiri rumah terdapat kolam-kolam ikan dengan air melimpah. Pada kaki bukit, terdapat hamparan padi berumur satu bulan. Mereka baru bisa memanen dua bulan kemudian. Ada juga kebun singkong dan talas, serta tanaman pepaya. Ini dapat menjadi sumber makanan karbohidrat jika mereka kehabisan beras. Dengan kata lain, stok pangan mereka masih bagus.
Photobucket
Dapur Umum
Photobucket
Penyintas mulai membangun rumah sementara
Photobucket
Hamparan padi
 
Kami melihat ada dapur umum yang dibuat seadanya oleh warga desa. Dengan dibantu para santri, kaum pria mulai membersihkan puing-puing dan membangun rumah darurat. Kendala yang dihadapi warga desa ini adalah lokasinya yang menanjak. Akibatnya, bantuan kadang  tidak sampai ke desa ini. Kebanyakan bantuan dicegat di desa yang ada di kaki bukit. Para pemberi bantuanpun  tidak mau bersusah payah membawanya ke atas.
Pukul 13.30, kami mengakhiri kunjungan. Dalam perjalanan pulang, kami melihat Gereja Bala Keselamatan [Salvation Army] sudah mendirikan dapur umum dengan peralatan yang sangat lengkap di mulut desa. Gereja yang satu ini memang jago dalam aksi sosial.
 
[BERSAMBUNG]
 
Baca juga:

Lihat Video di sini:

Respons Gempa Tasikmalaya

Respons Gempa Tasikmalaya

Respons Gempa Tasikmalaya

Respons Gempa Tasikmalaya

Respons Gempa Tasikmalaya

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways