Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Lurah Di Kampung Kami

PlainBread's picture

Bambang. Itulah nama lurah di kampung kami.

Kampung Sukamalu.

 

Ada beberapa warga kampung kami yang sangat bangga dengan kampung ini. Mereka terus menerus bercerita betapa indahnya pemandangan di sini. Belum lagi kalau sudah  berbicara dengan jualan minyak yang laris manis. Mereka bangga sekali dengan minyak. Saya sampai pernah berpikir, jangan-jangan buat hidung mereka bau minyak tidak ubahnya dengan bau duit.

 

Tapi ada juga warga yang terus menerus bercerita tentang betapa jeleknya Sukamalu. Mereka bercerita bagaimana kita tidak pernah maju, keadaan begini-begini saja. Buat mereka, bukan saja air di gelas selalu dilihat setengah kosong, bahkan mereka percaya bahwa kami sudah tidak memiliki gelas lagi. Belum lagi kalau mereka bercerita bahwa nama kampung kami seharusnya diganti, karena seperti kutuk yang membuat kampung kami tidak pernah maju, yang ada hanyalah bikin malu.

Sedangkan saya yang bahkan banyak orang tidak pernah mengingat namanya, menganggap bahwa Sukamalu ada bagusnya, ada juga jeleknya.

 

Pak Bambang yang saya lihat sebenarnya biasa saja. Tidak terlalu bagus, juga tidak terlalu jelek. Tapi saya lihat tidak sedikit warga kampung kami yang tidak menyukai keberadaan beliau sebagai Lurah. Alasannya macam-macam.

Ada yang bilang beliau bergaya militer, karena semua aturan terlalu kaku. Mereka bilang beliau membuat terlalu banyak organisasi di kampung kami, yang tujuannya kata mereka cuma satu, untuk membantu tugas beliau sebagai lurah.

Ada juga yang bilang beliau cuma mau jaim, jaga image. Tutur kata diatur, gaya berpidato diatur, bahkan rambut pun tampak klimis. Mungkin satu-satunya pejabat yang bisa menandingi rambut beliau adalah Harmoko, Menteri Penerangan jaman Soeharto dahulu.

Ada juga yang bilang beliau sebenarnya tidak peduli dengan kemajuan kampung kami. Tidak peduli soal bencana, atau misalnya ada warga yang wafat, atau baru saja melahirkan. Yang beliau pedulikan hanya bagaimana bisa menjabat terus, sampai salah satu anaknya juga diarahkan untuk menjadi salah satu anggota wakil warga di kampung Sukamalu. Bahkan setiap dipersilakan untuk berpidato di depan warga, mereka bilang bapak Bambang hanya bercerita tentang keamanan dirinya.

Yang membuat saya tertawa, adalah alasan beberapa warga yang lain mengenai ketidaksukaan mereka terhadap bapak Lurah. Mereka bilang lurah kami hanya senang menyanyi, bahkan bercita-cita mau menjadi artis ibukota. Sudah berapa banyak uang ditarik dari warga secara diam-diam untuk dikumpulkan, supaya beliau bisa punya biaya pergi ke ibukota dan mengadu nasib menjadi penyanyi kenamaan.

 

Begitulah keadaan di kampung kami. Meskipun ada yang nyinyir, ada yang suka protes, tapi hari demi hari berlalu seperti biasa. Kadang ramai, kadang sepi. Kadang ada yang berteriak tanpa alasan. Mungkin karena butuh perhatian.

 

Suatu hari, saya pernah ngobrol dengan Ibu Ani, istri pak Bambang. Bu Ani bilang walaupun dia tidak mengerti kenapa banyak orang yang berkata jelek tentang keburukan suaminya, namun dia berusaha memaklumi.

Saya santunkan perkataan saya, dengan mencoba memberi pandangan baru.

"Siapapun yang jadi lurah, tetap saja bakal banyak yang tidak suka. Apapun yang pak Bambang lakukan, itu ibarat damned if you do, damned if you don't", ucap saya dengan pelan.

"Halah, sok english kamu!" Ujar Bu Ani dengan senyumnya yang khas

"Loh, saya kan cuma ikut gaya Pak Bambang. Baru bilang begitu saja sudah dibilang sok english. Saya belum bilang debottlenecking loh, bu"

Ibu Ani tertawa lepas. Baru kali ini saya melihatnya tertawa seperti itu.

 

Sedetik setelah menarik nafas ringan, dia menyahut,"Betul kamu bilang. Buah simalakama selalu tersedia di atas meja para pemimpin. Apapun tindakan yang mereka lakukan selalu ada sisi negatifnya. Itu selalu tertulis secara tersirat di dalam sejarah. Kalau kata Presiden Sukarno dulu, Jasmerah; Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itu yang bapak suka tekankan ke anak-anak kami atau ke keponakan-keponakannya. Untuk belajar sejarah dan mencoba memahami kenapa terjadi seperti itu."

Saya menganguk-nganguk. Entah apa yang Ibu Ani artikan dari angukan saya. Maklum, umumnya wanita selalu mencari arti dari setiap hal. Makanya tak heran kalau mayoritas pembaca horoskop di majalah adalah wanita. Semoga Ibu Ani menganggap bahwa saya mengerti apa yang dia katakan.

 

Keadaan kampung kami sebenarnya lebih baik daripada sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Setidaknya begitulah menurut saya.

Dulu lurah di kampung kami pernah menjabat selama puluhan tahun. Tidak ada yang protes. Bahkan saya masih ingat orang-orang yang sekarang selalu melihat kejelekan Pak Bambang, mereka malah suka menjilat pantat lurah kami yang dahulu.

Sekarang kami punya sistem baru, lurah dipilih tiap 5 tahun sekali. Dan setiap lurah hanya boleh menjabat 2 periode, artinya paling banyak 'hanya' sepuluh tahun. Terasa lama? Dibanding 32 tahun, 10 tahun hanyalah waktu yang singkat.

Memang ada warga di kampung kami yang berambisi mau jadi lurah. Ada yang diam-diam saja. Ada yang menyatakan ambisinya secara terus terang. Ada juga yang diam-diam tapi sambil menebar gosip soal pak Bambang.

Hal ini pernah saya ceritakan ke sepupu saya. Dia bilang semuanya memuakkan. Dia muak dengan sinetron di TV, begitu dia ganti channel TV yang ada malah berita politik, isinya tidak jauh dari sinetron. Mirip dengan keadaan di kampung saya.

 

Saya bingung, kenapa ada warga yang berambisi mau jadi lurah. Mungkin karena mereka sudah kaya raya, sehingga seperti Maslow Theory, orang-orang seperti ini berada di atas piramida Maslow, mencari kepuasan batin, dan bisa merasa damai jika banyak orang bisa tertolong karena leadership skill yang mereka percaya mereka miliki. Bisa jadi saya salah. Maklum, saya tidak begitu mengerti ilmu politik.

 

Saya malah teringat kata Bu Ani, istri pak Lurah, soal sejarah. Walaupun tidak banyak buku sejarah dan politik yang saya baca, namun saya tahu bahwa raja, sultan, perdana menteri dan presiden yang tercatat di dalam sejarah dunia, acap kali bisa sukses dan tumbang akibat orang-orang terdekat mereka. Beberapa orang menyebutnya para penasihat, atau saya menyebutnya invisible people.

Kalau saya ditanya apakah mau jadi lurah, saya lebih kepengen jadi bagian dari invisible people. Orang-orang yang lebih bijak, lebih pintar dan lebih cakap dari para raja. Tapi karena invisible, tentu nama mereka tidak akan tertulis di dalam sejarah. Buat saya itu malah lebih baik. Saya tidak butuh pengakuan. Piramida Maslow buat saya adalah piramida yang terbalik. Siapapun yang jadi lurang di kampung kami, menyadari bahwa warga tidak peduli soal teori dan nasihat. Warga cuma peduli makan enak, tidur tenang, dan tidak ada maling bergentayangan di kampung Sukamalu.

 

Kampung Sukamalu. Tempat saya dibesarkan.

Kadang ramai, kadang sepi.

Kadang ada yang berteriak sampai para warga kalang kabut, kadang malah begitu membosankan.

Ada beberapa rumah di kampung kami yang tampak bersih, ada yang kelihatan jorok seperti tidak pernah diurus oleh pemiliknya.

Ada warga yang rajin bekerja, ada warga yang rajin berbicara.

Ada juga yang rajin bekerja dan rajin berbicara.

Ada yang selalu bangga dengan kampung kami, ada juga yang selalu mencibir kampung kami.