Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Makna pesan Yesus sebelum meninggal

andryhart's picture

Kata-kata
seseorang yang disampaikan sebelum meninggal biasanya sangat dipedulikan oleh
keluarga yang ditinggalkan. Jika kita mengaku sebagai keluarga Allah, maka
kata-kata yang diucapkan Yesus sebelum meninggal di kayu salib harus kita simak
dan jadikan pedoman hidup kita. Ketika Yesus menghadapi kematian di kayu salib,
Dia meninggalkan beberapa pesan atau kata yang sangat dalam maknanya bagi kita, para
pengikut-Nya. Pesan-pesan itu tertulis di dalam Injil untuk mengungkapkan betapa
besar kasih Kristus kepada kita. Dalam renungan ini, saya mencoba memahami
maknanya kendati sebagai manusia mungkin saya keliru menafsirkannya. Karena
itu, ketika tulisan ini dibuat saya memohon agar Yesus memberikan hikmat
kebijaksanaan dan roh kudus membimbing saya. Semoga apa yang saya tulis ini
berkenan di hadapan-Nya.

Dalam
Lukas 23:34, Yesus berkata: "Ya
Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.
"
Mengapa Yesus berkata demikian? Karena Yesus menyadari betapa dahsyatnya dosa
yang telah diperbuat oleh orang-orang yang telah menyalibkan putera Allah.
Yesus merupakan firman Allah yang menjadi manusia dan terang Allah yang tidak
bisa dikuasai kegelapan sehingga Yesus disebut sebagai putera Allah (Yohanes
1:1-5 dan 1:14). Dengan akal sehat, kita yakin bahwa pelecehan dan penghinaan
yang mereka lakukan terhadap putera Allah sungguh tidak akan dapat diampuni
oleh Allah yang Mahakuasa. Karena
itulah, umat Muslim memiliki keyakinan bahwa sesungguhnya Isa Almasih tidak
disalib tetapi diangkat langsung ke surga. Umat Muslim mengatakan bahwa Allah
sungguh mahakuasa dan tidak ada seorang pun mampu melecehkan-Nya. Yesus pun
menyadari hal tersebut sehingga Dia memohonkan ampun kepada Allah, Bapa-Nya,
bagi mereka yang telah melecehkan-Nya dengan mengatakan bahwa mereka tidak tahu
apa yang diperbuatnya. Dengan membela musuh-musuh-Nya, Yesus juga konsisten
dengan ajaran-Nya yang luar biasa seperti dikatakan dalam Matius 5:44, “Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan
berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.

Dalam Lukas 23:43, Yesus berkata
kepada salah seorang penyamun yang menyesali dosanya, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini
juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.
" Perkataan
ini menunjukkan betapa besar kasih Yesus kepada orang yang berdosa. Seperti
seorang tabib, Yesus datang bagi orang sakit. Yesus berkata dalam Markus 2:17, "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang
bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.
" Yesus
memang datang sebagai gembala baik yang menyelamatkan domba-Nya yang hilang
sekalipun hanya seekor (Lukas 15:4). Karena itu, sebagai orang berdosa
hendaknya kita bertobat dan membuka hati untuk diselamatkan oleh Yesus agar
kita bisa bersama-sama dengan Dia di Firdaus.

Dalam Yohanes 19:26-27 dikisahkan
ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya,
berkatalah Dia kepada ibu-Nya: "Ibu,
inilah, anakmu!
"

Kemudian
kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah
ibumu!
" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya. Pesan
ini mengungkapkan harapan Yesus agar setiap pengikut-Nya membentuk keluarga
kasih. Kasih harus dimulai dari dalam keluarga sendiri sebelum orang dapat membagikan
kasih kepada sesama. Kasih itu tidak
berkesudahan
(I Korintus 13:8), dan kasih
itu lebih besar di antara iman dan harapan
(I Korintus 13:13). Kasih
itu sabar, murah hati dan tidak cemburu; ia tidak memegahkan diri dan tidak
sombong.
(I Korintus 13:4.) Yesus tidak menghendaki terjadinya kekosongan
kasih di antara para pengikut-Nya yang harus menjadi keluarga besar Allah
setelah Dia meninggalkan mereka. Karena dengan pertobatan dan kasih, roh kita
akan diterima Allah pada saat meninggal nanti.

Setelah menyerahkan ibu-Nya kepada
murid-murid-Nya, Yesus merintih, “Aku
haus.
(Yohanes 19:28). Perkataan “aku haus diucapkan Yesus
dalam proses kematian-Nya untuk menggenapi apa yang tertulis dalam kitab suci.
Yesus berseru kepada kita untuk memberikan kasih kita kepada-Nya dan kepada
sesama yang menderita. Bunda Theresa memulai pelayanannya kepada sesama yang
menderita setelah beliau diingatkan oleh rintihan “Aku haus” dari seorang pengemis tua yang tidak berdaya untuk
berebut sepotong roti yang diberikannya di tengah kerumunan pengemis-pengemis lain
pada sebuah stasiun kereta api di India. Seorang wartawan melihat sebuah
spanduk besar bertuliskan “Aku haus pada dinding bangsal perawatan
orang-orang yang sakit dan cacat di India; bangsal perawatan ini
diselenggarakan oleh ordo Suster-Suster Cinta Kasih yang didirikan oleh Bunda
Theresa. Ketika melihat dua kata tersebut, dia bertanya mengapa mereka memilih
dua kata Yesus yang terakhir. Salah seorang biarawati menjelaskan, “Rintihan Yesus telah menjadi seruan yang
mengungkapkan keinginan membagikan kasih kepada sesama. Sebelum meninggal,
Bunda Theresa berkata, “Rasa haus yang diungkapkan oleh Yesus itu tanpa akhir. Allah
yang menciptakan kita telah memohon kepada kita untuk membagikan kasih kepada
semua ciptaan-Nya. Bukankah kata-kata ‘Aku haus’ harus selalu bergema di dalam hati
kita?

Dalam Matius 27:46, Yesus berseru,
“"Eli, Eli, lama sabakhtani?"
Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Sebuah renungan
mengatakan bahwa penderitaan Yesus sebenarnya bukan hanya disebabkan oleh dosa-dosa
kita karena Dia tahu bahwa dosa-dosa kita nantinya akan diampuni Allah dan kita
akan diselamatkan oleh kematian putera-Nya. Yang meremukkan hati Yesus adalah
bahwa Bapa-Nya telah memalingkan wajah-Nya dari putera-Nya. Yesus mengalami
suatu penderitaan yang bukan disebabkan oleh penyaliban-Nya atau kesakitan pada
jasmani-Nya tetapi penderitaan pada jiwa dan roh-Nya yang merasakan Allah
benar-benar telah meninggalkan-Nya. Yesus tahu bahwa hal yang sama akan terjadi
pada semua orang ketika mereka berada dalam proses kematian. Orang-orang yang
meninggal kerapkali menderita bukan karena kesakitannya (orang yang sakit berat
umumnya sudah tidak mampu merasakan sakitnya lagi) tetapi karena merasa
kesepian, kekosongan dan kegelapan yang begitu mencengkam saat ditinggalkan
oleh semua orang yang mengasihinya—keluarganya, isteri/suaminya, anak-anaknya,
kerabatnya dan sahabatnya. Orang yang sakit berat dan mengalami gangguan
kesadaran sering sudah tidak mampu berkomunikasi tetapi masih bisa mendengar
(Bernie S. Siegel, Love, Medicine and
Miracle
). Karena keluarga menganggapnya sudah tidak bisa berkomunikasi,
biasanya orang yang sakit itu didiamkan. Doa baru dilantunkan ketika orang
sakit itu dinyatakan meninggal oleh dokter. Kesepian, kekosongan dan kegelapan
ini terasa begitu dahsyat apabila Allah yang berjanji untuk selalu mendampingi
umat-Nya juga meninggalkan orang yang sekarat itu sendirian. Yesus telah
bersedia menanggung kesepian, kekosongan dan kegelapan yang mencengkam itu
karena kasih-Nya yang begitu besar membuat Dia rela berkurban untuk
menghapuskan semua penderitaan yang terjadi pada saat kita berada dalam proses
kematian nanti. Rasul Petrus di dalam 1 Petrus 2:24 berkata, “Yesus sendiri telah memikul dosa kita di
dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa,
hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.

Injil Johanes 19:30 menceritakan bahwa sesudah Yesus meminum
anggur asam, berkatalah Dia: "Sudah
selesai.
" Lalu Yesus menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.
Mengapa Yesus mengatakan “Sudah selesai
? Pada saat itu, domba paskah sudah selesai dikurbankan. Ketika Abraham akan
mengorbankan anaknya, Ishak, sebagai tanda kesetiaannya kepada Allah, maka
Allah sendiri telah membatalkannya. Tetapi ketika Allah mengurbankan putera-Nya
yang dikasihi-Nya demi kita sebagai umat-Nya, Allah membiarkan. Mengapa hal ini
terjadi? Karena Allah ingin
menyelamatkan umat-Nya dari penderitaan yang abadi di dalam kegelapan. Kita harus
meresponsnya dengan selalu bertobat, mengakui dosa-dosa kita dan kemudian
menerima roh kudus lewat kasih yang ada di dalam hati kita masing-masing—kasih
kepada Allah, kepada Yesus dan kepada sesama untuk mewujudkannya dalam amal
perbuatan kita sehari-hari.

Dalam Lukas 23:46, Yesus berseru
dengan suara nyaring, “Ya Bapa, ke dalam
tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku."
Dan
sesudah berkata demikian, Yesus
menyerahkan nyawa-Nya. Kalimat Yesus yang terakhir seharusnya membuat
kita
mempercayakan hidup kita kepada Allah dan hidup untuk menyenangkan-Nya
sebagaimana
Dia lakukan dengan menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa. Dengan demikian,
ketika
kita akhirnya berjumpa dengan Yesus sendiri dan mendapatkan imbalan
surgawi
sebagaimana dijanjikan-Nya—yaitu kehidupan kekal dan kasih bersama Dia
dan Bapa
di Surga—maka kita mengalami saat yang sungguh-sungguh penuh sukacita!
Dan kita
akan berkata seperti ucapan Rasul Paulus dalam II Timotiur 4:7, "Aku
telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis
akhir, dan aku telah memelihara iman."(andryhart)

Sumber inspirasi: Presentasi Death of Jesus (anonim).

__________________

andryhart