Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Menghindari Pacaran dalam Lingkaran Setan Ketidakpuasan

sidiknugroho's picture

Kover buku bisa dilihat di sini.

Judul Buku: Pacaran Asyik dan Cerdas
Penulis: Arie Saptaji
Penerbit: Gloria Graffa
Tebal: 142 halaman
Cetakan pertama, Maret 2009

"Dengan sentuhan cinta, semua orang menjadi pujangga," demikian Plato berujar suatu ketika. Memang benar, cinta membuat hidup menjadi lebih indah, walau kadang juga menyakitkan. Dengan dua kemungkinan akibat yang ditimbulkannya itu, Arie Saptaji mengajak kita menggerapai lebih dalam -- juga mendefinisi ulang -- makna dan keberadaan cinta dalam diri kita.

Memang, memaknai cinta adalah suatu tugas mahaberat; tak satu pun bisa melakukannya dengan sempurna. Beragam penafsiran, beragam pemikiran, sulit nian diseragamkan! Namun, butir-butir refleksi dan wacana yang ditawarkan di buku ini benar-benar bermaksud baik: kita diajak untuk melihat cinta dengan lebih jeli dan mata terbuka.

"Love is blind," kata sebuah pepatah. Pepatah itu rasanya mewakili perasaan Bella Swan yang cinta-mati pada seorang vampir tampan nan romantis dalam kisah Twilight yang amat digandrungi remaja putri -- bahkan tante-tante -- saat-saat ini. Namun, kebutaan itu, bila dinalar ulang, tak nyaman. Menutup mata sepuluh menit sambil berjalan-jalan di sebuah pasar malam benar-benar tak nyaman. Bahkan berbahaya, bisa nubruk-nubruk. Karena itu, Xavier Quentin Pranata dalam pengantarnya di buku ini menyebutkan versi plesetan dari pepatah itu: "Love is blaen" ("blaen" dari bahasa Jawa yang artinya: blunder, atau berbahaya).

Nah, apakah yang berbahaya dari sebuah hubungan cinta sepasang manusia yang terpanah asmara? Dengan gamblang dan lugas Arie Saptaji menyebutkan di bab-bab awal adanya mitos-mitos cinta yang keliru (1), hubungan-hubungan yang rentan (2), cacat-cacat karakter yang berbahaya bila tidak ditangani serius (3), dan bom-bom waktu ketidakcocokan (4). Empat hal ini diuraikan begitu apik dan runut dalam sebuah bagian bertajuk Ranjau-ranjau Cinta. Ranjau-ranjau ini secara garis besar berusaha memberikan gambaran kepada para pembaca: apa yang harus dihindari dalam membangun hubungan kasih atau berpacaran bila kita memang berniat membangun sebuah hubungan jangka panjang.

Sementara ranjau-ranjau dihindari, dengan telak pula Pilar-pilar Cinta disampaikan dalam buku ini di bab-bab berikutnya -- juga dalam empat bab. Pilar-pilar ini harus ditegakkan dengan kokoh: bagaimana kita mengembangkan karakter untuk menjadi lebih berkualitas (1), peneguhan komitmen dalam membangun hubungan (2), menyelaraskan kecocokan dengan pasangan (3), dan menumbuhkan keintiman (4).

Bab demi bab -- bahkan subbab demi subbab yang ada di bab-bab -- buku ini, bisa dikata terangkai secara optimal, sehingga menjadi tepat sasaran. Pembaca, utamanya kaum muda, dituntun untuk memahami apa yang semestinya dibuang; apa yang semestinya dipertahankan dan kemudian dikembangkan. Dengan didukung wacana, kutipan dan contoh-contoh yang memadai -- juga gambar-gambar ilustrasi yang lucu-lucu -- buku ini, walaupun tidak menggunakan bahasa gaul ala ibukota, masih tetap enak diikuti sasaran utama pembacanya, yaitu kaum muda. Para orang tua, atau pendidik yang dekat dengan kaum muda, juga sangat tepat memilih buku ini untuk dijadikan acuan dalam pembinaan-pembinaan kaum muda.

Kalau kita peka dengan kondisi zaman, kaum muda tampaknya semakin kehilangan pegangan untuk menjalin hubungan cinta yang sehat pada masa kini, saat gaya hidup selebritas yang metropolis nan hedonis begitu dipuja dan ditiru-tiru. Akibatnya, tak sedikit yang menjadi sinetronis, cengeng, atau justru malah main-main dalam membangun sebuah hubungan cinta. Cinta begitu diagung-agungkan oleh mereka yang jablai (jarang dibelai), tapi diperlakukan begitu rendah oleh mereka yang terlalu santai -- karena merasa sudah mahir memikat hati dan pikiran banyak orang.

Dalam buku inilah Arie Saptaji menekankan bagaimana kita berlaku wajar terhadap hubungan cinta. Tak berlebihan, juga tak asal-asalan. Ada sebuah bagian yang memuat pernyataan Michael Lawrence. Sungguh menarik untuk disimak: "Terlalu sering dalam hubungan berpacaran kita berpikir dan bertindak seperti konsumen daripada pelayan. Dan parahnya kita bukan konsumen yang baik."

Kemudian Arie Saptaji menguraikan dengan jitu apa-apa saja yang membuat kita tampil sebagai konsumen yang serakah dalam bercinta. Kita membangun hubungan hanya untuk memanfaatkan segenap keberadaan pasangan kita. Kita membangun hubungan hanya untuk kesenangan. Dan yang paling parah, kita membangun hubungan tanpa komitmen -- sementara hubungan itu sudah berlangsung sekian lama, dan mestinya dilanjutkan ke pernikahan.

Sebagai ganti komitmen, mata dan hati kita jelalatan. Kalau ada calon lain yang tampak lebih baik, kita menyanyi bersama ST 12, "Tinggalkan saja pacarmu, lalu bilang I love you... padaku."

Mengenaskan memang, bila kita benar-benar memahami kenyataan ini: bahwa hubungan sesama manusia perlu dilandasi dengan kasih sayang, pengorbanan dan keputusan yang konsisten. Karena gaya hidup konsumtif makin disukai banyak orang, membangun hubungan pun kita jadi konsumtif. Ini semata-mata bukan soal sikap yang materialistis -- tapi tentang kesejatian dan konsistensi dalam mencintai pasangan kita.

Bila kita sudah membangun hubungan, tapi selalu ingin mendapatkan yang lebih baik, maka kita tidak akan pernah merasa cukup. Daripada terus-terusan berharap mendapat pasangan yang lebih baik, tiliklah diri sendiri dulu: apakah aku sudah menjadi lebih baik? Tak jarang, hubungan cinta disama-samakan dengan dunia kerja: bila kita tidak cocok, putus hubungan. Repot benar bila hal ini terjadi saat kita sudah menikah. Inginnya mencoba dan mencicipi yang lain -- lagi dan lagi. Dengan cara demikian, kita sebenarnya sedang mengucapkan selamat datang pada lingkaran setan ketidakpuasan.

Bercinta memang asyik: kita semua suka mencintai dan balas dicintai. Namun, bercinta juga harus dilakukan dengan cerdas. Kecerdasan yang membuat kita mampu menilik dan menilai sebuah hubungan cinta dengan wajar. Sebuah kewajaran dalam bercinta, yang membuat kita bisa puas dan mampu bertahan hidup dengan seseorang yang suatu saat (atau juga telah) kita putuskan untuk selalu kita sertai -- hingga tutup usia. ***

Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, penulis lepas.