Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

MENILIK KEMBALI RELEVANSI AGAMA: PENDEKATAN ETIS-LIBERATIF

teologi_rakyat's picture

Akhir-akhir ini, di dunia maya, makin banyak orang Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai ateis. Menafsirkan “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai kewajiban untuk mencantumkan salah satu dari enam agama di KTP warganegaranya, negara yang bernama Indonesia tidak bisa lagi membungkam kejujuran semakin banyak warganya setelah mereka mengenal salah satu media yang memungkinkan mereka untuk melakukannya: internet. Sementara di alam nyata mengaku ateis secara terbuka bisa merupakan kekonyolan yang celaka, di alam maya orang bebas mengecam bahkan mencaci-maki agama (-agama), terutama Islam dan Kristen, dengan risiko minimal. Sebagai orang beragama barangkali kita menjadi prihatin bahkan jengkel demi mengetahui agama (-agama) kita bukan lagi tidak menarik tetapi bahkan menjadi tak ubahnya seperti barang yang layak dibuang ke tong sampah oleh para ateis “durjana” itu. Tapi sudilah kita merenung barang sejenak, apa kiranya yang membuat agama (-agama) kita “tidak laku” bahkan menjijikkan bagi mereka. Dengan jalan itu, barangkali kita bisa melakukan otokritik, bertobat, dan menjalankan agama kita secara baru, yang meneguhkan kehidupan.

 

Bila diamati, nampaknya ateisme orang Indonesia di internet dapat dibedakan dalam dua corak. Pertama, ateisme dari orang atau orang-orang yang baru saja terpesona oleh dan gandrung kepada cara berpikir rasionalisme-naturalistik yang memustahilkan segala yang adikodrati dan bentuk-bentuk sosio-historis yang diklaim sebagai jembatan-penghubungnya (agama dengan seperangkat ritus, dogma, dan pelbagai aturan halal-haram, boleh-tidak boleh, dan benar-salahnya). Corak rasionalisme-naturalistik kagetan ini, menurut saya, tidak terlalu serius. Kita bisa “berguru” kepada gembong-gembong apologetik Barat seperti almarhun Cornelius van Til, alm. Francis Schaeffer, Norman Geisler, dsb., atau karya-karya pseudo-saintifik Harun Yahya. Mematahkan argumen para kagetan secara rasional barangkali tidak terlalu sukar, lagipula menaikkan gengsi agama yang kita anut sebagai agama “rasional dan ilmiah.”

 

Tapi ada corak ateisme yang kedua. Corak ini bukan sekadar rasional, tetapi etis-eksistensial. Dalam corak ini, Tuhan dan agama dirasa berbenturan dengan suara hati atau hati nurani manusia. Di sini hati nuranilah yang terutama berkata-kata, sedangkan rasio sekadar berfungsi sebagai senjatanya.  Orang ateis corak ini menggugat agama dan Tuhan. Mengapa agama yang mengklaim diri sebagai rahmat bagi alam semesta, atau Tuhan yang katanya ingin memberkati seluruh umat manusia, justru menginspirasikan kekerasan, pertumpahan darah, penindasan, penghisapan, dan diskriminasi baik rasial, gender, maupun seksual di kalangan umat manusia? Bukankah itu semua pertanda bahwa Tuhan atau Allah merupakan Sosok yang terlalu sempurna yang pernah dibuat manusia, sehingga saking sempurnanya mampu memuat kontradiksi-kontradiksi yang harus disikapi manusia dengan ungkapan takzim “Subhanallah” atau “God is the Great Mystery”? Bukankah itu semua mengindikasikan bahwa agama, suatu modus sosio-historis yang menampung seperangkat idea tentang Tuhan atau Allah, adalah cerminan dari kontradiksi-kontradiksi antara aspirasi terluhur manusia yang pro-kehidupan dan hasrat-hasrat gelap berupa kehendak untuk berkuasa dan menghancurkan apa dan/atau siapa yang dianggap menantang atau merintanginya?

 

Lantas bagaimana kita selaku orang beragama menyikapi para ateis eksistensial ini? Memberikan argumentasi rasional akan kelihatan sebagai rasionalisasi, entah merasionalkan ketidakbermoralan Tuhan dan agama, atau menyembunyikan ketidakbermoralan dengan seribu satu dalih. Hati nurani yang sakit tertusuk oleh kelaliman Tuhan entah dalam bencana alam yang kebanyakan korbannya adalah rakyat jelata atau dalam ketidakadilan, penghisapan, dan penindasan yang mendera kaum papa, tidak bisa disembuhkan dengan argumen yang kedengaran paling rasional sekalipun. Hati nurani yang tercederai oleh wajah demonis agama dan senyum munafik para ulama tidak pula bisa dipulihkan oleh jargon-jargon ”Islam itu indah”, ”Allah adalah kasih”, ”Yesus mengasihimu”, dan sebagainya. Gugatan eksistensial tak dapat dijawab dengan apologetika rasional. Di hadapan nurani yang meradang, rasionalisasi apapun tentang Allah dan agama hanya akan menampilkan orang ateis yang bernurani sebagai sosok yang lebih bermoral daripada Allah dan lebih luhur daripada agama.

 

Saat ini kita hidup bukan hanya dengan kesadaran tentang kemajemukan agama dan kepercayaan (termasuk ketidakpercayaan kepada Tuhan). Kita juga hidup di suatu zaman di mana agama-agama, khususnya agama-agama samawi, diperhadapkan pada sisi-sisi gelapnya sendiri, dan sikap antipati terhadap agama-agama dan para tuhan perlu diakui sebagai sikap yang sah – kecuali bila kita menganut sejenis ultrafanatisme yang membuat kita membaptis kata-kata Benjamin Disraeli menjadi ”right or wrong my God, my religion”. Kesadaran akan hal ini perlu ditindaklanjuti dengan kejujuran dalam melihat agama kita sendiri, tak terkecuali konsep kita tentang Tuhan atau Allah.

 

Agama adalah realitas sosio-historis, yang lahir dalam setting tertentu dan tidak luput dari batasan-batasannya. Kelahiran dan perkembangan agama tak lepas dari konteks-konteks sosio-historisnya. Sekeras apapun kita bersikukuh, sebagai sosio-historis agama adalah bikinan manusia, atau, lebih persisnya, buatan komunitas penganutnya. Demikian pula halnya dengan Tuhan, atau, lebih memadai, konsep tentang Tuhan. (Dalam kenyataannya sukar untuk memilah dan memisah Tuhan yang kita percaya dan konsep kita tentang Tuhan yang kita percaya). Konsep tentang Tuhan adalah bikinan para penganutnya. Dalam konsep tentang Tuhan manusia memproyeksikan dirinya, entah keprihatinan-keprihatinannya, ideal-idealnya tentang keutamaan, atau pemaknaannya terhadap pengalaman. Feuerbach tidak jauh dari kebenaran ketika mengatakan bahwa manusia menciptakan Allah menurut rupa dan gambarnya. Bagaimana dengan ”wahyu”? Andaikata benar ada atau pernah ada, wahyu (yang diyakini sebagai penyataan-diri Tuhan dan fondasi agama) juga dimediasi secara sosio-historis konkret. Sebagaimana ”Sosialisme tidak begitu saja jatuh dari langit”, demikian juga konsep tentang Tuhan, wahyu, dan agama.

 

Menyadari hal ini, kita patut mengkritisi klaim-klaim absolutistik kita tentang agama, mencermati kelekatan agama kita pada setting sosio-historis baik saat lahir maupun tumbuh-kembang-mekarnya, dan mendialogkan agama kita dengan aspirasi kemanusiaan yang semakin berkembang. Setelah itu kita perlu menggali kekayaan agama kita guna memberikan sumbangan bagi pemekaran aspirasi kemanusiaan. Itu berarti praksis, yakni penerjemahan keyakinan dan nilai-nilai luhur agamawi yang kita anut dalam misi atau aksi. Misi atau aksi ini hendaknya tidak lagi dimaknai sekadar dakwah atau evangelisasi yang bertujuan mengagamakan orang lain (termasuk yang ateis), tetapi partisipasi aktif dalam setiap perjuangan yang menjadikan keberpihakan kepada siapapun yang miskin dan tertindas sebagai komitmennya.

 

Sementara ateisme kian berkembang di negeri kita, orang beragama terpanggil bukan untuk berapologetika, melainkan untuk mengikis sisi gelap agamanya dan memancarkan sisi terangnya – melalui praksis yang berpremis nilai preferential option for the poor and the oppressed: kaum yang dimelaratkan oleh sistem ekonomi-politik yang menghisap, kaum yang teraniaya di bawah rezim politik yang korup dan tiranikal, kaum yang tertindas karena rasisme dan seksisme, kaum yang tidak diakui hak-hak asasinya karena orientasi seksual yang berbeda, juga alam-sekitar yang semakin merana karena penjarahrayahan yang dilakukan demi sebuah modus produksi yang menjadikan keuntungan dan bukan kebutuhan masyarakat dan sustainability of all life sebagai tujuannya.

 

Dalam rangka praksis yang bersumbangsih pada keadilan dan pembebasan ini, yang merupakan prasyarat bagi terwujudnya perdamaian, orang-orang beragama perlu bahkan harus bekerjasama, baik di antara sesama mereka sendiri, maupun dengan mereka yang karena alasan-alasan nurani menempatkan diri di luar agama dan/atau memposisikan diri di luar hubungan dengan Tuhan. Dengan jalan itulah orang beragama memberikan kesempatan bagi para ateis eksistensial untuk melihat Allah. Jalan ini bukannya mereduksi agama menjadi etika semata-mata, tetapi ”memaksa” spiritualitas kaum beragama untuk berjumpa dengan aspirasi kemanusiaan dan mengekspresikan dirinya dalam bakti kepada kemanusiaan. ”Memuliakan Tuhan” akan hampir tiada gunanya bila tidak terekspresi dalam tindakan konkret ”memuliakan manusia” (khususnya mereka yang melarat, tertindas, terhisap, dan teraniaya) dan ”memuliakan alam”,  yang tak pernah tidak menjadi sasaran keprihatinan-Nya? ***

 

 

TERPUJILAH ALLAH! (Rudolfus Antonius)

Untuk keterangan lebih lanjut tentang artikel ini, silakan Sobat kunjungi http://tongthink.blogspot.co.id/2015/11/menilik-kembali-relevansi-agama.html