Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Little Faith

minmerry's picture

faith

 Now we are not afraid
Although we know there's much to fear
We were moving mountains long
Before we knew we could
(When You Believe)
 


 Aku membatasi buku didepanku. Memandang ke langit melalui jendela, tepat disebelahku. Buku tebal, penuh dengan kalimat dan kata-kata, yang aku yakini dalam hati yang menuliskan imanku. Hingga hari ini.
 
 
 
Versi yang sedikit berbeda dengan yang ada dihadapanku saat ini, sekitar belasan tahun yang lalu. Bukan versi buku yang penuh gambar dan warna yang menghiasi pikiranku hingga saat ini.
 
Sedikit lebih kompleks.
 
 
 
Aku memandang langit biru itu. Tanpa warna lain. Biru dan putih. Memandang sedikit jauh, abu-abu. Akan hujan? Hujan juga bukan hal yang baru.
 
 
 
Tidak di zaman-nya.
 
Aku memejamkan mata dan memandang lelaki itu dalam imajinasiku.
Wajahnya serius. Mengukur kayu di depan matanya. Kayu gofir. Memaku dan membelah. Tidak ada yang membantunya. Perlahan-lahan. Ia memastikan semua sesuai yang diperintahkan.
 
Rangka. Semakin banyak kayu.
Sesekali ia akan menegadahkan kepala dan menatap ke langit. Dan aku tahu yang dilihatnya, sama seperti yang aku lihat. Biru dan putih.
 
Satu hal dalam benaknya, apapun itu. Apa yang ia kerjakan saat ini, tidak membuat ia mengerti. Apapun yang ia kerjakan saat ini, membuat ia semakin yakin setiap hari demi hari, bahwa ia melakukan sesuatu yang benar.
 
Dan besar.
 
 
 
Bukan barisan perang. Bukan barisan orang-orang yang bersorak-sorai. Hanya binatang-binatang yang Tuhan pilih. Hanya dia dan keluarganya.
 
Empat puluh hari lamanya. Ia memusnahkan semua yang ada di Bumi.
 
Ia membuka jendela kapal, menerbangkan seeokor burung. Belum, belum surut….
 
 
…. bahwa ia tahu, ia sedang melakukan sesuatu yang benar.
 
Ia membebaskan seekor burung lagi. Burung itu kembali dengan daun di paruh kecilnya.
 
 
 
Hingga suatu kali, burung itu tidak pernah kembali. Hatinya bergejolak. Wajahnya bersinar. Air yang turun empat puluh hari empat puluh malam lamanya telah surut.
 
 
 
Langit yang saat itu dia lihat, tidak sama dengan yang aku lihat sore ini.
 
 
 
Dia menemui pelangi pertama kalinya.
Busur yang Tuhan tempatkan pada awan. Janji Tuhan padanya. Bahwa Ia tidak akan memusnahkan Bumi, bahwa Ia tidak akan pernah menurunkan hujan empat puluh hari lamanya lagi. Bahwa tidak akan ada air bah lagi.
 
 
 
 
***
 
Many nights we've prayed
With no proof anyone could hear
In our hearts a hopeful song
We barely understood
(When You Believe)
 
 
Aku melewati beberapa bagian chapter buku didepanku. Menandainya, lalu menutupnya.
Teringat akan satu film. Memutar dan menekan play. Duduk menunggu.
 
Fast Forward. Hingga pada bagian yang paling kusukai.
 
 
 
Ia mengutus Musa mengeluarkan Bangsa Israel. Dan Dia tidak tinggal diam.
 
 
 
Malaikat menghampiri rumah-rumah bangsa mesir. Menulahi mereka. Aku mendengar tangisan. Malam itu, semua anak sulung mereka, yang pada pintunya tidak menorehkan darah domba, mati.
 
 
 
Tulah.
 
 
 
Siapakah Tuhan-ku? Dia yang memimpin bangsa ini keluar dari Mesir. JanjiNya.
 
Aku memandang lelaki itu. Duka cita tertulis di wajahnya. Ia bahkan berduka cita karena sulung dari Firaun, diambil oleh Malaikat. Aku menyukai bagian ini, di film ini, Miriam bernyanyi.
 
Mengingatkan Musa akan janji, mimpi dan kebebasan bangsa yang dikasihiNya. Mengingatkan akan doa mereka. Doa mereka yang menceritakan penderitaan mereka, doa yang mereka panjatkan setiap malam. Tuhan menjawabnya.
 
 
 
Akan ada keajaiban, jika kamu mempercayainya.
Hanya jika kamu percaya.
 
 
 
Ia mengangkat tongkatnya. “Kita pulang…”
 
 
 
Seluruh bangsa bersorak dan menelusuri kebebasan mereka. Pulang. Mereka berjalan. Meninggalkan rumah mereka. Membawa apa yang ada pada mereka.
Barisan bangsa itu diterangi api saat malam, dan Tuhan menyertai mereka. Anak-anak, perempuan dan orang tua. Senyum dan harapan baru.
 
 
 
Riuh langkah bangsa mengikuti lelaki itu. Tongkat ditangannya.
 
Hati lelaki terus bertanya. Kemana ia membawa bangsa ini melangkah.
 
 
 
Ia berdiri menghadap sungai, dan sungai itu terbelah. Nyatalah bagi bangsa itu, Tuhan sungguh menurunkan tangan untuk kebebasan mereka.
 
Bangsa itu melewati sungai yang terbelah karena mereka. Berjalan di tengah-tengah air yang membelah seperti dua dinding tinggi, dan tidak menyentuh mereka. Terbelah untuk membebaskan mereka. Menatap kebelakang, semua yang sudah menjadi masa lalu.
 
 
 
Ketika kamu percaya… akan ada keajaiban.
 
 
 
Siapa yang tahu?
 
 
 
Matanya, mata lelaki melembut dan menengadahkan kepalanya ke langit. Bangsa itu bebas.
 
Ke negri yang penuh dengan madu dan susu. Begitulah janji itu.
 
 
 
There can be miracles
When you believe
 
You will when you believe.
(When You Believe)
 
 
***
 
 
Aku menyukai versi apapun tentang Lukas 9.
 
 
 
Bagaimana ribuan orang mengikutiNya hingga ke Betsaida. Bagaimana Ia duduk, dan ribuan orang ikut untuk mendengarkanNya.
 
 
 
Bagaimana Ia membuktikan bahwa apa yang Ia ajarkan dan lalukan di dunia adalah pesan keselamatan. Kesembuhan, mujizat, teguran, pencobaan. Ia menjalani itu, sebagai manusia.
 
 
 
Mereka, yang melihat perbuatanNya, yang menyaksikan kehidupanNya, yang menjadi saksi hidup Ia ada di dunia, mengikutiNya. Berharap.
 
 
 
Mereka berjalan kemana Ia pergi, hanya untuk duduk dan mendengarkan ajaranNya. Berharap kesembuhan, dan Ia memberikannya. Berharap mengetahui tentangNya. Dan Ia menceritakan kerajaan Sorga pada mereka. Mencari.
Ribuan orang. Setiap langkah orang-orang itu berbunyi rasa penasaran, rasa kagum, dan mungkin iman yang baru tumbuh dan pergumulan. Akan seorang Rabi di tengah-tengah bangsa itu. Menemukan.
 
 
Di tengah-tengah ribuan orang itu, tangan kecil itu menyerahkan lima roti dan dua ikan. Miliknya.
 
Dari tangan kecil itu, dan dengan tanganNya, Ia membagikan roti dan ikan itu.
 
Untuk lima ribu orang.
 
 
 
 
***
 
 
 
 
PerjalananNya yang terakhir.
 
Aku cukup mengingat berbagai versi scene Yesus berjalan dari Yerusalem hingga ke Golgota. Dan aku akan menghela napas jika setiap jumat agung, harus menonton scene itu sekali lagi.
 
 
 
Bagaimana Ia memikul salib itu.
 
 
 
Bagaimana Ia diiringi orang-orang yang berdosa. Mengikutinya, untuk melemparinya.
 
 
"Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita. Lukas 22:15
 
 
Kenapa harus Yesus?
Kenapa harus Ia yang tidak bersalah?
 
Karena harus yang paling dikasihi-Nya.
Itu iman yang paling besar.
 
Aku tidak akan lupa kalimat itu.
 
 
 
Tidak ada jalan lain. Dan harus Ia yang menjalani itu. Darah yang mengucur, darah-Nya. Tangan yang terpaku, Tangan-Nya. Cambukkan dan hinaan, pada diri-Nya.
Sungguh tidak ada jalan lain.
 
 
Surga terbuka karenaNya. Tirai itu terbelah. Langit gelap gulita.
 
 
“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” Kisah Para Rasul 4 : 12
 
 
 
***
 
 
Ah, Suara lonceng.
Aku menutup buku itu. Cukup untuk hari ini.
Aku tersenyum.
Aku memandang mereka yang belajar disekelilingku. Yang tahun ini masuk pada tahun pertama. Missio Dei tertulis di halaman pertama buku mereka.
 
 
 
Mereka adalah prajurit berkuda yang beperang menyelamatkan jiwa. The Your Heroes.
Mereka adalah gembala yang menyelamatkan domba yang belum mendengar suara Gembalanya.
 
 
 
Dan aku?
Aku mengikuti prajuritmu, dan membawa lima roti dan dua ikan - ku.
 
 
“Please take it, Dear Lord “
 
 
 
 
 
 
 
Yet now i'm standing here
My heart's so full, i can't explain
Seeking faith and speaking words
I never thought i'd say
(When You Believe)

 -----------------------------------------------------------------------------------



^^ A little cup of my faith-Ice latte. 

Nice day, everyone

__________________

logo min kecil