Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Aku Akan Menikah (1)

ely's picture

Sudah seminggu aku menjalani waktu dengan membiarkan sebuah kata yang tak hentinya menggodaku. Melayang mengitari seluruh rongga pada otak di kepalaku. Pertanyaan dan pernyataan datang dan pergi silih berganti. Membuat aku merasa tak tenang dan bimbang. Tetapi aku kembali terhibur manakala aku mempercayai bahwa sebuah pernikahan akan menawarkan pengalaman baru yang indah dan tantangan-tantangan baru, yang akan dapat aku lewati bersama  pria yang akan menjadi suamiku.

***

Kembali aku teringat, ketika ibu menjadi semakin sering mendesakku akhir-akhir tahun ini. Kadang ayah juga ikut-ikutan mengompori ibu. Beberapa nama silih berganti mereka sebutkan, agar aku mempertimbangkan untuk menerima salah satu nama yang mereka sodorkan. Hanya saja, dari sekian nama, tak ada satupun yang tersangkut di hatiku. Dan itu membuat aku bosan mendengar nama-nama itu disebutkan berulangkali.

Kalau sudah begitu, aku hanya diam karena memang tak ada lagi yang dapat aku katakan, aku merasa seolah sedang merasa di sudut ruangan gelap tanpa setitikpun cahaya, karena aku belum mendapatkan tanda-tanda kapan aku akan mewujudkan keinginan mereka.

Aku tak dapat lagi melenggang santai dengan jawaban andalanku, “jangan kuatir, masih banyak waktu” kalimat yang selalu keluar dari mulutku dengan manis, berharap mereka dan akupun terhibur dengan itu.

Tidak hanya mereka, sahabat-sahabatku yang juga sudah menikah semua seringkali menggodaku, ibu-ibu tetangga yang biasa berkumpul di sudut-sudut halaman rumah bahkan tidak segan-segan menyindirku, ketika aku berpas-pasan lewat di depan mereka.

Kadang aku berpikir dan bertanya sendiri,” Ada apa denganku jika aku tak menikah?”,

“Bukankah tidak menikah bukan sesuatu yang tidak dilarang”. Pertanyaan dan pernyataan yang keluar karena sudah bosan dengan kata menikah, dan itu bukan berarti aku tidak ingin menikah. Aku hanya tidak ingin menikah dengan orang yang tidak aku kenal dan tidak mengenalku.

Aku tidak ingin pernikahanku terjadi hanya karena tekanan-tekanan dari orang-orang di sekitarku.

Aku tidak ingin pernikahanku menjadi seperti pernikahan seseorang yang pernah aku kenal. Ia mengambil keputusan untuk menikah dengan kekasihnya yang ia kenal lewat dunia maya. Ya, ia menikah dengan kekasihnya itu, dan hingga sekarang sudah 2 tahun, aku tahu ia belum pernah hidup bersama dengan kekasih yang telah menjadi suaminya itu, karena mereka hidup di masing-masing kota yang berjauhan. Kesanku dari pernikahannya menjadi negatif.  Aku berpikir mungkin saja ia hanya ingin mengubah status, supaya tidak lagi terganggu dengan gunjingan-gunjingan orang-orang di sekitarnya. Kasihan sekali dia kalau memang begitu kenyataannya. Dan aku tidak ingin seperti itu.

***

Namun kini, aku tidak perlu resah dengan kekuatiran orang-orang di sekitarku lagi.  Tentu saja aku bahagia dengan pernikahan yang sedang menantiku, namun aku tidak ingin terlalu bahagia dengan itu, karena ada sesuatu yang masih mengganjal hatiku.

***

Aku memang tidak akan perduli apa kata orang tentang pilihanku, tapi aku harus perduli dengan apa kata hatiku.

Aku bahagia, manakala ia melamarku. Karena aku memang pernah berharap bahwa pria seperti dialah yang akan menikah denganku.

Aku tidak perlu mengatakan mengapa aku menyukainya, karena tidak semua akan setuju dengan pendapatku tentang seorang yang aku sukai. Seorang temanku pernah menertawaiku ketika aku bercerita kepadanya tentang seorang pria yang aku sukai, sehingga terlalu bodoh rasanya apabila aku kembali ditertawai dengan ceritaku yang sama.

Jadi aku hanya ingin mengatakan bahwa aku menyukainya, itu saja.

Sudah cukup, jika ibu dan ayahku setuju denganku, sekalipun mungkin hanya karena alasan mereka ingin melihatku menikah sebelum aku benar-benar tidak lagi dapat menikah.

Dan jika, dua orang sahabatku sudah tersenyum, ketika aku bercerita kepada mereka. Aku tahu mereka selalu mendukungku untuk hal yang mereka anggap baik.

***

Sepuluh tahun aku telah mengenalnya, karena sering bertemu dengannya. Di gereja, di kelompok doa, di depan rumahku.

Aku mengenalnya dari sikapnya dan dari orang-orang yang dekat dengannya.

Hanya saja, bukan hal yang mudah bagiku untuk membayangkan bagaimana nanti ketika aku berumah tangga dengan pria yang aku kenal itu.

Sekalipun aku tak perduli apa kata orang tapi aku harus perduli apa kata hatiku.

 

bersambung

 

__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...