Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pantaskah menerima uang dalam pelayanan?

Purnomo's picture
Ketika saya menjadi anggota pengurus sebuah organisasi Sekolah Minggu yang besar, untuk menangani kekosongan guru SM yang bisa mendadak terjadi di pos-pos, saya membentuk tim darurat yang anggota-anggotanya secara mandiri siap bergerak cepat menangani keadaan itu. Suatu hari seorang teman menegur saya. “Seorang anak buahmu hutang uang kepadaku untuk menambal ban motornya yang bocor. Apa mereka tidak kamu bekali uang untuk beli bensin atau menambal ban motornya?” Tidak, jawab saya.

“Kamu tidak benar. Seharusnya mereka diberi uang setidaknya untuk membeli 1 liter bensin. Kasihan mereka. Sudah mau memberikan tenaga dan waktunya, masih harus nombok.”

Sering aktivis memperdebatkan pantas tidaknya mereka menerima uang dalam kerja pelayanan di gereja. Perdebatan ini tidak happy ending karena jawaban yang diinginkan adalah “ya” atau “tidak”. Padahal jawabannya, menurut saya, “maybe yes maybe no” tergantung dari manfaat uang itu, motif si pemberi, dan motif si penerima.

 

Uang untuk kegiatan itu sendiri.

Contoh. Saya diminta menyelenggarakan acara kebaktian padang untuk jemaat lanjut usia tanpa dibekali uang oleh majelis. Untuk melaksanakan tugas itu saya perlu uang paling tidak untuk menyewa bis dan membeli makanan kecil bagi yang ikut. Bagaimana saya bisa melakukannya bila tidak dibekali uang? Saya butuh uang. Jika tidak diberi uang, saya mengundurkan diri.

Bagi mereka yang berjemaat di gereja yang punya perencanaan keuangan yang baik, bisa bingung dengan contoh di atas. Karena uang untuk setiap kegiatan sudah disiapkan oleh penatua, ready to use. Tetapi bagi gereja yang pada awal tahun anggaran tidak punya persediaan uang, contoh di atas sering terjadi. Saya diangkat jadi ketua Panitia Paskah. Saya boleh mencari sendiri teman kerja. Saya boleh menetapkan sendiri acaranya. Saya boleh membayari sendiri semua biayanya. Jika saya mengherani karena harus nombok dan ngotot minta uang, penatua ganti yang heran. “Anda diangkat jadi ketua perlunya untuk membayari biayanya,” jawabnya.

Karena itu bila sampeyan pindah ke gereja kecil dan tiba-tiba ketiban sampur menjadi ketua Panitia Paskah, sebelum bilang “ya” tanyalah dulu dana yang sudah disediakan ada berapa banyak. Bila tidak ada, ya sebaiknya mengadakan acara Kebaktian Padang saja. Maksud saya, kebaktian padang rembulan di halaman gereja pada pagi-pagi buta. Tidak perlu biaya ‘kan.

Bahkan di gereja besar klarifikasi ini sebaiknya dilakukan supaya peristiwa “naas” yang pernah menimpa saya tidak Anda alami. Ketua tim pelawatan menemui saya. Ia minta saya membetulkan genteng seorang jemaat miskin yang bocor. Saya ke sana dan ternyata talang sengnya bodol. Saya panggil teman yang pekerjaannya merenovasi rumah untuk memasang talang karpet. Setelah selesai saya disodori tagihan hampir 150 ribu. Nota tagihan saya teruskan ke ketua pelawatan.
“Mahal ya,” komentarnya.
“Mahal itu relatif,” jawab saya. Ia mengembalikan nota itu kepada saya. “Lho, uangnya mana?” tanya saya heran.
Sekarang ganti dia yang heran. “Uang apa? Maksudmu tim pelawatan yang membayarnya? Kami tidak punya uang. Karena itu kami suruh kamu yang membetulkan. Kalau kami punya uang, masak kami menyuruh kamu. Kamu punya uang ‘kan?”
Onde mande! Agaknya saya harus belajar bahasa Indonesia lagi. “Kalau begitu lebih baik nota ini saya kembalikan kepada teman saya dan bilang gereja tidak bisa membayarnya.”
Seminggu kemudian ia memberi uang kepada saya. Anggota tim pelawatan patungan untuk membayarnya. “Ada lagi genteng yang bocor?” tanya saya. Tidak ada! jawabnya ketus.

Seorang pendeta bercerita kepada saya sepulang dari Korea Selatan. Sebuah gereja di sana mengundangnya untuk menjadi salah seorang pembicara di sebuah seminar. Semua biaya hotel, makan, city tour ditanggung oleh gereja itu. Tetapi ia nyaris tidak berangkat. Ia tidak punya uang untuk beli tiket pesawat yang tidak disediakan oleh pengundangnya yang tidak tahu walau ia dosen sebuah seminari, di dompetnya tidak pernah tersimpan uang lebih dari 50 ribu rupiah. Untung seorang temannya mengetahui kesulitannya ini dan segera membelikan tiket pesawat pergi-pulang.
“Kalau tidak dibelikan tiket sama teman, Bapak berangkat tidak?” tanya saya.
“Ya tidak berangkat. Masak saya harus cari pinjaman uang untuk sebuah pelayanan. Malu-maluin Tuhan saja.”
“Makanya, kalau selesai kotbah disodori amplop jangan dikembalikan,” komentar saya.
Dia tertawa. “Bagaimana ya? Saya tidak tega menerima amplop dari gereja kecil. Saya diundang mereka saja sudah senang. Itu sebuah penghargaan bagi saya, seorang pendeta kelas teri. Begini saja. Tolong carikan order kotbah di gereja besar. Nanti saya sisihkan komisinya,” jawabnya bergurau.

- o -

Di pihak penyelenggara kegiatan, ketidaksanggupan aktivis memenuhi permintaannya karena tidak memiliki sarana (uang) sering menimbulkan kesan negatip.

Contoh yang paling sederhana adalah Anda diminta mengajar sebuah pos Sekolah Minggu yang jaraknya 30 km dari rumah Anda. Jika Anda punya sepeda motor, pergi-pulang dibutuhkan premium 2 liter atau 12 ribu rupiah. Setelah menunaikan tugas, Anda tidak menerima uang. Padahal uang “segitu” buat Anda sangat berarti karena gaji Anda pas-pasan buat makan. Minggu depan Anda kembali diminta ke pos itu. Apa yang harus Anda perbuat? Memang betul melayani Tuhan itu tidak hanya dengan tenaga dan pikiran saja, tetapi juga dengan uang pribadi. Tetapi Anda belum sanggup memberikan uang dalam pelayanan. Seperti juga Anda belum sanggup memberi persembahan persepuluhan. Apa yang sebaiknya Anda lakukan?

Menolak tanpa alasan jelas akan menimbulkan kesan negatip. Ada 2 cara yang sering saya lakukan. Pertama, mencari orang yang mau menjadi “sponsor” saya. Bila tidak berhasil, saya akan menemui si pemberi tugas dan tanpa malu menceritakan keterbatasan saya. Bila ia memberi uang, saya hanya mau menerima sejumlah keperluan saya, tidak berlebih untuk jajan di jalan. Bila ia tidak memberi uang, saya minta maaf karena harus menolak penugasan itu.

- o -

Seorang pengurus sekolah Kristen di sebuah kota kecil yang berjarak hampir 150 km dari tempat tinggal saya menelepon. Ia minta saya jadi pembicara ritrit guru. Saya menolak karena saya tidak tahu apa-apa mengenai topik yang ditetapkannya. Lalu saya menyebut beberapa nama untuk ia hubungi. Tiba pada sebuah nama, suara di seberang melengking, “O, jangan dia. Dia itu komersiel sekali.”

Saya tidak berkomentar. Tetapi mencoba mereka-reka sendiri mengapa pembicara ini dituduh komersiel. Ia ibu rumah tangga tetapi bergelar master pendidikan anak yang didapat di luar negeri. Sering ia diundang gereja saya untuk memimpin acara pembekalan guru SM yang membahas Cerita dan alat peraga untuk diberikan kepada anak-anak Minggu berikutnya. Ia mendapat amplop untuk pekerjaan ini, walaupun ia diantar-jemput oleh mobil gereja kami. Ia tidak pernah memberi kami alat peraga dengan gratis. Ia menjualnya. Kami tidak menggerutu karena menganggap hal ini wajar. Jika ia harus memberi gratis, apakah isi amplop kami yang paling banyak 100 ribu rupiah itu mencukupi?

Bulan Juni-2008 ia menyelenggarakan seminar Menulis Renungan Harian Anak. Untuk 4 kali pertemuan yang dimulai setiap hari Sabtu pk.12.00 ia mematok tarip Rp.120.000,- termasuk makan siang. Berapa yang ia terima bila biaya itu dipotong biaya makan peserta, penyediaan makalah dan ongkos sewa ruang seminar plus perlengkapan multimedia? Kita mudah berprasangka jelek bila seorang aktivis meminta uang sebelum sebuah kegiatan pelayanan dilakukannya tanpa terlebih dahulu menyiasati (meneliti) kegunaan uang itu.

Sebaliknya, kita juga tidak bisa menyalahkan pihak penyelenggara kegiatan apabila ia adalah gereja kecil yang tidak punya uang berlebih. Mereka ingin dapat yang terbaik dengan biaya termurah. Solusinya adalah mencari orang yang punya semangat berbagi. Misalnya, gereja besar bila menyelenggarakan kegiatan seperti ritrit aktivis, pendidikan teologi untuk jemaat, pelatihan manajemen keuangan gereja, mengundang gereja kecil tanpa memungut biaya.

Uang sebagai honor.

Jika gereja saya mengundang pendeta luar untuk melayani ibadah Minggu, penatua akan memberinya uang yang disebut deklarasi (KBBI: uang biaya perjalanan). Tetapi jumlah deklarasi ini melebihi harga tiket pesawatnya pergi-pulang. Dengan demikian sebetulnya dalam deklarasi ini terkandung uang honor untuknya. Ia mendapat honor karena memang melayani ibadah adalah profesinya.

Seorang jemaat di gereja saya bergelar S.Th. Ia sering dipanggil ke sana ke mari untuk berkotbah atau membawakan ceramah rohani. Suatu saat ia diminta melayani ibadah Minggu di gereja kami. Ia mendapat amplop, padahal gereja kami punya tradisi untuk tidak memberi honor kepada anggota gerejanya atas pelayanan yang dilakukannya. Mengapa ia diberi? Penatua menjawab, karena berkotbah adalah profesinya. Ia membiayai hidupnya hanya dari profesi ini. Soal nanti uang itu dikembalikan dalam bentuk persembahan, terserah yang bersangkutan.

Karena itu apabila ada jemaat yang melatih paduan suara di gereja saya dan profesinya memang di bidang itu, ia menerima uang sebagai honor. Tetapi tidak banyak. Bila tarip kursus privat vocal yang ia adakan adalah 50 ribu per jam, paling ia mendapat 75 atau 100 ribu untuk sekali datang melatih puluhan anggota PS yang enggak tahu kapan pintarnya ini.

Demikian juga bila seorang jemaat yang profesinya di bidang bangunan, tidak perlu risih meminta uang jasa bila ia diminta merenovasi gedung gereja. Jika selama sebulan dirinya harus berada di gereja karena menangani renovasi itu apakah ia tidak boleh meminta honor atau uang jasa dari gereja? Kalau tidak boleh, makan angin dia nanti.

Apakah bila aktivis menerima honor berarti motivasi pelayanannya rendah? Kita tidak bisa tahu karena yang tahu hanya diri si penerima. Seorang tukang foto yang sering dipakai jasanya dalam acara pembaptisan bercerita kepada saya. Ia tetap meminta uang jasa dari gereja. Tetapi tarip yang ia ajukan di bawah tarip yang biasa ia patok untuk umum. “Bagi saya ini juga pelayanan,” katanya. “Bahkan bila gereja tidak bisa memberi uang jasanya, saya juga rela asalkan jangan ada suara miring di luar yang mengatakan saya banting harga untuk menyingkirkan tukang potret lainnya. Yang paling berat buat saya adalah bila saya sudah dipesan jauh-jauh hari untuk memotret pengantin, kurang 2 hari gereja mendadak meminta saya bertugas pada jam yang sama. Terpaksa saya mencari tambahan tenaga untuk mewakili saya di pesta pengantin sementara saya ada di gereja. Uang jasa yang saya dapat dari gereja habis untuk tambahan tenaga ini. Bahkan kadang saya nombok.”

Ketika saya menyarankan ia membicarakan masalah ini dengan majelis gereja, ia menolak. “Tuhan yang nomboki kok,” katanya sambil senyam-senyum. “Jangan bilang saya bohong bila saya mengatakan saya tidak berharap dapat berkat tambahan dengan jadi tukang foto di gereja dengan tarip murah. Tapi kenyataannya, gimana ya. Orderan saya di luar yang dulu sepi sekarang lumayan.”

Uang sebagai ungkapan terima kasih atau penghargaan.

Biasanya, ungkapan terima kasih atau penghargaan itu berbentuk barang yang lazim disebut kenang-kenangan. Tetapi karena kuatir barang yang diberikan tidak bermanfaat bagi si penerima, maka kelaziman itu berubah menjadi uang.

Guru SM di gereja di mana saat ini saya berjemaat setiap Natal menerima kenang-kenangan. Yang masih saya ingat, berupa tas Alkitab, kaos bertuliskan misi SM tahun depan, buku tentang teknik mengajar. Dua tahun yang lalu guru yang ditugasi untuk menyediakan kenang-kenangan merubah tradisi ini. Ia mengajak guru-guru ke ke toko buku dan menganjurkan mereka membeli buku pilihan mereka. Setiap nota pembelian mendapat subsidi darinya sebesar 15 ribu rupiah. Mereka yang tidak belanja saat itu, “uang” kenang-kenangannya hangus karena uang ini tidak bisa dipindah-tangankan atau disatukan ke nota teman. Tetapi mereka pintar. Bila ada teman membeli 2 buku, maka di kasir ia minta 1 nota untuk 1 buku sehingga temannya bisa mengalihkan subsidinya. Mereka curang? Tidak, karena sebelumnya mereka sudah minta ijin kepada yang memegang uang. “Boleh, boleh,” kata petugasnya sambil tertawa.

Sebuah gereja pedesaan mempunyai 5 cabang, atau lazim disebut bakal jemaat. Tetapi gereja ini hanya punya 1 orang pendeta dan ia harus berkeliling ke 5 cabangnya. Mengundang pendeta dari desa lain sulit karena tidak ada yang mau ke tempat ini. Solusinya, majelis atau jemaat senior yang memimpin ibadah bila pendeta tidak terjadwal ke situ dan ia mendapat uang terima kasih. Tidak banyak jumlahnya, sehingga majelis tidak berebut giliran. Pintar juga pengurusnya.

Menurut saya, kita tidak perlu risih menerima uang terima kasih ini. Yang perlu diwaspadai adalah jangan sampai uang ini merubah motivasi pelayanan kita, seperti cerita seorang mantan pendeta di bawah ini.

Pendeta emiritus yang kendaraannya motor bebek tua itu datang ke gereja saya mencari mahasiswa teologi yang sedang praktek karena mendengar mahasiswa ini pintar pijat refleksi. Sementara ia dipijat, saya menemaninya mengobrol karena ia juga seniman. Ia senang main drama dan melatih drama. Ia gemar menulis untuk majalah-majalah rohani dan telah menerbitkan beberapa buku. Ketika saya bertanya apakah ia masih dipanggil untuk berkotbah oleh gereja-gereja di kota kami, ia bertanya, “Kamu tahu gereja mana yang paling menghargai pendeta tamu?”
Saya menggelengkan kepala. Lalu ia menyebut sebuah gereja. “Satu kali kotbah, saya diberi 500 ribu. Padahal hari Minggu ada 2 kebaktian. Satu juta rupiah saya dapat,” tuturnya blak-blakan kepada saya. “Kamu tahu gereja mana yang paling miskin?” Saya menggelengkan kepala. Lalu ia menyebut sebuah gereja yang saya tahu gereja itu memang kecil.
“Untuk dua kali kotbah, saya diberi 50 ribu rupiah,” katanya sambil terbahak.
Kalau begitu lain kali bila diundang kotbah tolak saja Pak, kata saya.

Matanya mendadak melotot. “Bisa kuwalat saya. Ingat-ingat, ya. Jika kamu menolak undangan untuk melayani hanya karena kecilnya uang penghargaan yang akan kamu terima, kamu tidak bedanya dengan menolak undangan Allah. Aku cerita ini juga buat calon pendeta kita ini,” katanya sambil mencolek tangan si pemijat. “Jangan menolak panggilan gereja kecil kalau kamu sudah lulus nanti. Kalau honornya kurang, jangan mengemis. Memalukan. Tetapi begitu selesai ibadah, kamu buka praktek pijat refleksi di gereja. Pasti laris.”

Uang sebagai pemuas iri hati.

“Guru-guru SM di gereja Anu mutunya jauh di atas SM kita,” begitu kata beberapa orang di gereja saya. Karena itu pada suatu hari Minggu saya ke sana untuk mengintip kelas-kelas SM-nya. Saya mengamati dari luar kelas bagaimana guru-gurunya memimpin pujian, menyampaikan Firman dan seperti apa penampilannya.

Ketika berjalan meninggalkan gereja saya melintasi meja-meja tempat jemaat berjualan makanan. Nama saya dipanggil seorang penjualnya. Ternyata teman saya. Ia bertanya apa keperluan saya. Setelah saya jelaskan, ia tertawa.

“Menilai pelayanan seseorang tidak bisa hanya dengan melihat apa yang ia lakukan pada saat melakukan pelayanan itu. Guru-guru SM di sini sedang memperjuangkan disediakannya makan pagi untuk mereka. Kamu bisa menebak alasan yang mendasarinya?” Saya menggeleng. “Karena anggota paduan suara mendapat makan pagi. Padahal mereka diberi karena harus menyanyi pada kebaktian pk.06.00 dan pk.08.00 sehingga tidak sempat sarapan di rumah. Kalau mereka menyanyi di dua kebaktian sore, mereka tidak dapat apa-apa.”

“Sebaiknya kamu beritahu tidak semua guru SM butuh sarapan pagi,” kata saya. “Supaya adil, lebih baik mereka minta uang transpot 15 ribu sekali mengajar. Dengan demikian yang belum sarapan bisa membeli nasi, sedangkan yang sudah sarapan bisa memakainya untuk beli pulsa hapenya.”

“Lebih baik lagi kalau kamu sekarang cepat-cepat meninggalkan gereja ini,” jawabnya sambil melirik rekan-rekannya yang mukanya mendadak cemberut.

- o -

Ingat ketika untuk pertama kalinya pemerintah membagi BLT (Bantuan Langsung Tunai)? Tidak sedikit ketua RT dan RW minta turun dari tahtanya. Bahkan ada yang dipukuli oleh warganya yang tidak masuk daftar orang miskin. Jika memang para pamong ini salah, ya begitulah seharusnya nasibnya. Tetapi yang menganiaya mereka adalah orang-orang yang selama ini dinilai tidak miskin. Pada bulan Juni-2008 sebuah tivi swasta menayangkan orang-orang yang protes karena tidak masuk daftar dalam BLT. Juru kameranya memang sableng. Ia menyorot seorang ibu bertubuh tambun dan di lehernya bertengger seuntai kalung emas.

Bukan cerita baru lagi bila bantuan uang dari pemerintah untuk penduduk di daerah yang kena bencana alam diterima tidak utuh. Jika di sebuah RT yang roboh 25 rumah dan yang utuh 5 rumah, maka 5 pemilik rumah ini menuntut bantuan juga. Bila perlu mereka merobohkan rumahnya. Ya tentunya enggak parah-parah banget. Untuk menghindari malapetaka, maka ketua RT menyatukan uang bantuan untuk 25 rumah itu dan kemudian dibagi rata kepada 30 pemilik rumah. Itu kerukunan hidup orang-orang desa, begitu komentarnya.

Ironis sekali di satu tempat kita berdemo menuntut para pejabat tidak korupsi, di tempat lain di mana ada kesempatan, kita sendiri melakukan korupsi. Jadi, kita marah bukan terhadap korupsi, tetapi karena iri hati. Lebih ironis lagi bila kelakuan yang tidak terpuji ini kita lakukan di dalam gereja. Sebuah tempat yang diharapkan menjadi oase di padang tandus kehidupan.

- o -

Ketika saya masuk ke kantor gereja, kepala TU sedang asyik ngobrol di telepon. Kedengarannya ia sedang menghibur atau menguatkan seseorang di seberang sana. Lamaaa sampai hampir seperempat jam saya menunggu. Makanya begitu gagang telepon diletakkan saya langsung menyemprotnya.

“Sombong ‘kali kau ini. Konseling jemaat itu ‘kan tugas pendeta, bukan tugas kamu.”
“Makanya, pendeta itu jangan dibiarkan mengambil master. Kalau sudah pintar, keliling ke sana ke mari jadi presenter tidak lagi mengurusi jemaatnya. Coba, kalau ada jemaat yang kena stres, apa aku suruh dia nunggu pendeta? Kalau setruk mau kamu yang bayarin rumah sakitnya? Gaji enggak naik-naik, kerjaan malah ditambah terus. Bisa-bisa sebentar lagi aku disuruh membuat naskah kotbahnya pendeta. Kamu usulin dong ke majelis supaya gajiku ditambah.”

“Sudahlah, sabar,” kata saya. “Lebih baik jadi karyawan berhati pendeta.”
Dia diam sesaat. Lalu, “Kok perkataanmu tanggung begitu? Enggak ada terusannya?”
“Ya segitu aja. Loe mau terusin sendiri ya monggo.”

Dia terbahak-bahak dan menoleh ke meja asistennya. “Kamu dengar tadi? Cepat ketik kalimat itu dengan huruf gede, dan di bawahnya kamu tulis nama pengucapnya. Tempel kertas itu di pintu masuk kantor.”
Untung asistennya hanya tersenyum tanpa menuruti perintahnya. Jika tidak, musuh saya pasti bertambah satu. Kelas berat lagi. Jangan, ah.

– (the end) –
Purnawan Kristanto's picture

Tulisan Luar Biasa!

Pak Purnomo, Tulisan Anda sungguh luarbiasa! Mengupas realitas jemaat dengan segala pernak-perniknya. Tulisan seperti ini pasti hasil dari pergulatan dalam pelayanan selama bertahun-tahun. Hmm...saya tidak bisa mengomentari banyak karena hampir semua aspek tercakup di dalamnya. Soal anggaran pelayanan saya ingin berbagi cerita di gereja saya. Setiap tahun anggaran, semua majelis bidang, komisi dan badan-badan pelayanan lainnya wajib menyusun program kegiatan selama satu tahun. Di dalamnya mencakup anggaran biayanya. Semua program dibahas dan disinkronkan, kemudian disetujui dalam rapat pleno. Dengan begitu, maka setiap kegiatan pasti sudah ada pedoman pembiayannya. Sebagai contoh, untuk Natal tahun ini anggarannya adalah sekian juta. Maka panitia Natal akan menyesuaikan acara sesuai dengan anggaran tersebut. Itu bukan berarti bahwa kami sudah memegang uang sebanyak itu. Namun berdasarkan catatan pemasukan gereja, kami dapat memproyeksikan seberapa besar total anggaran yang dapat dibiayai. Jadi, kalau sebuah program telah disetujui oleh gereja, maka tidak ada alasan bagi gereja untuk berkelit membiayainya, asalkan dana itu memang ada. Soal imbalan atau honor dalam pelayanan, teman saya punya pengalaman lucu. Dia diundang oleh sebuah Persekutuan Mahasiswa. Usai melayani, dia disodori amplop tebal. Teman saya tahu bahwa kondisi keuangan PMK itu pasa-pasan. Maka tanpa membuka amplop itu, dia menyerahkan kembali kepada pengurus PMK. "Ini saya kembalikan untuk persembahan," kata teman saya dengan tulus. Kontan wajah pengurus PMK itu merah padam. "Maaf, pak...isinya sebenarnya cuma surat ucapan terimakasih saja," jawab pengurus PMK tersipu. Giliran teman saya menjadi malu. Sampai di kantor, dia cerita kepada saya. "Aku harus bagaimana?"tanyanya. "Apa Anda tidak memeriksa isinya dulu?" tanya saya. "Kalau amplop itu saya buka, kemudian saya kembalikan semuanya, jangan-jangan mereka mengira jumlah uang yang diberikan kurang banyak sehingga saya memutuskan untuk mengembalikan semua. Tapi kalau tidak dibuka dan diperiksa isinya, jangan-jangan peristiwa seperti itu terjadi lagi." "Kalau aku, yang aku lakukan begini," kata saya,"Aku ambil uang secukupnya sebagai pengganti uang bensin. Sisanya aku kembalikan panitia. Aku katakan, 'Saya ingin memberikan persembahan kepada PMK ini."'
................................................................................................
__________________

------------

Communicating good news in good ways

joli's picture

Teladan yang bukan teladan..

Purnomo told.. 

Jika gereja saya mengundang pendeta luar untuk melayani ibadah Minggu, penatua akan memberinya uang yang disebut deklarasi (KBBI: uang biaya perjalanan). Tetapi jumlah deklarasi ini melebihi harga tiket pesawatnya pergi-pulang. Dengan demikian sebetulnya dalam deklarasi ini terkandung uang honor untuknya. Ia mendapat honor karena memang melayani ibadah adalah profesinya.

Dulu penatua di gereja kami juga memberikan deklarasi juga dengan pertimbangan seperti itu.. tetapi ketika pendeta kami mulai aktif di sinode.. mulailah perhitungan deklarasi disesuaikan yaitu uang transpot diperhitungkan per/km (sudah ada tabelnya) plus honornya.. demikian juga untuk pengkothbah dalam kota karena perhitungan kilometer di mulai dr 0-25 km Rp... 

Karena gereja kami tidak besar dan ada beberapa gereja kecil lain-nya yang akan merasa berat bila pas tiba giliran-nya tukar mimbar atau tukar pelayan kebaktian (pertukaran pengkotbah dari seluruh anggota sinode yg menjadwal dr sinode biasanya sejawa+bali+batam) dari sinode mendapat pengkotbah dari jawa barat or jakarta karena kami di Solo yang notabene berjarak km yg lumayan.... tanya kenapa(spt avatarnya rusdi)... karena seperti beli kucing dalam karung.. bayarnya mahal tapi tidak tahu kotbahnya baik or tidak..  jadilah tulis surat untuk tidak di beri pengkotbah yg jauh2 atau tidak ikut program pertukaran mimbar..

Dari sinode dan klasis kami juga belajar bahwa ada uang transpot untuk setiap utusan, baik itu utusan rapat, untusan retreat, utusan seminar..selalu ada uang transpot dihitung per km.. nah yang sering kali jadi masalah adalah ketika mereka diutus dan berangkat rombongan dengan mobil  gereja, tetapi masih minta uang transpot perorangan dan per km... nah lo.. ketika diprotes mereka bilang lha yang diatas (pdt) juga begitu kok... nah lo..

Semua contoh dan teladan di awali dari yang diatasnya...  anehnya mereka tidak melihat teladan yang paling atas yaitu teladan pelayanan Tuhan Yesus..

Bagaimana ya...cara supaya teladan diatas kita meneladani atasannya lagi...dan setereusnya..sampai akhirnya semua bisa berteladadan kpd pelayanan Yesus?

 

 

 

 

 

galatia220's picture

susah juga ngomentarin ini.

seorang imam / lewi, mendapat bagian dari yang dipersembahkan dihadapan Tuhan. Gak selalu harus "uang" tapi bisa juga hasil pekerjaan/usaha/ladang kita. Karena tugas mereka menyelenggarakan pelayanan kepada Tuhan. Jadi menurut saya, jemaat wajib membawa persepuluh dari hasilnya kepada gereja sehingga dengan hasil tersebut para pelayan Tuhan dapat bagian dari apa yang dipersembahkan.
__________________

namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan
Kristus yang hidup di dalam aku.... Galatia 2:20

Yenti's picture

May be yes...may be no

Saya berpandangan, tidak ada aturan khusus apakah seseorang pantas menerima uang dalam pelayanan/tidak, tergantung situasi dan kondisi yang ada. Untuk para fulltimer ( pendeta, penginjil ) = mereka akan menerima amplop setelah khotbah, saya pikir pantas karena dari sanalah penghasilan mereka.Mengenai uang itu mau dikembalikan /nggak, yah tergantung dari mereka sendiri lagi. Untuk partimer ( orang-orang yang mungkin hanya melayani di hari minggu/ bukan sebagai penghasilan utama kalo misal diundang khotbah ), misal : aktivis gereja, panitia, "pengkhotbah sampingan "= saya pikir, may be yes may be no. Saya lebih berprinsip, lakukanlah apa yang membuat kita merasa damai pada saat kita melakukannya, jangan karena menjaga image biar kelihatan rohani, tapi apa yang kita pandang baik buat diri kita dan Tuhan. Keputusan terletak di tangan masing-masing orang:) untuk hal ini. Saya mempunyai seorang teman yang menjadi majelis di pos pi yang kecil. Dia pernah diangkat menjadi bendahara suatu acara dan pada saat penutupan panitia,ternyata biaya yang dikeluarkan melebihi budget dari gereja karena ada kejadian yang tidak terduga sama sekali. Setiap panitia diwajibkan untuk "nombok" buat acara tersebut, dan "tombokan" yang paling besar jatuh kepada bendahara acara:p Kalo sampe kejadian begini, saya nggak tahu deh, apakah setiap acara berlangsung, ada yang mau jadi bendahara lagi.. karena gimanapun, kadang-kadang kita lebih menjaga image sebagai "Kristen yang Rohani/ Aktivis yang rohani" daripada terbuka untuk menyatakan keberatan kita:). Jadi "nombok" tapi sambil mengeluh dan ngomel di belakang:p. Udah capek jadi panitia, nombok lagi:p.
abas's picture

sah sah aja

yang jelas tergantung apa kebutuhan