Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sahabatku di LP Wirogunan

arie_saptaji's picture

“Maaf ya, harus bertemu di tempat seperti ini.” Itu ucapan pertama yang terlontar dari mulutnya begitu kami berjabatan tangan. Ia memandangku dengan mimik yang membuatku yakin, ini memang ST yang kukenal dulu. ”Malu enggak?”

Aku tidak siap menanggapi pernyataan dan pertanyaannya. ’Tempat seperti ini’ yang dimaksudkannya tidak lain ialah LP Wirogunan, Yogyakarta, dan ini kunjungan pertamaku ke ’tempat seperti itu.’ Mana menduga kalau akan disambut dengan ucapan begitu? Aku hanya tersenyum.

Ia segera mengajakku ke seberang ruangan. Memperkenalkan suaminya. Namanya IN. Aku belum pernah berjumpa dengannya, namun ia mengaku sempat datang ke gereja ketika kami kebaktian di Borobudur Plaza.

Sekitar tiga minggu lalu aku menerima telepon dari seorang rekan pelayanan. Ia menanyakan apakah aku kenal ST. Meskipun sudah sepuluh tahun lebih tidak ketemu, aku segera mengingat pemilik nama itu karena kami sama-sama wong Temanggung beda kecamatan. Ia melanjutkan, beberapa hari sebelumnya ia pelayanan ke penjara dan bertemu ST di sana. ST dan suaminya sedang menjalani hukuman karena kasus pembunuhan. Dan, ST berpesan, mudah-mudahan aku bersedia mengunjunginya.

Ke penjara? Meskipun aku suka membaca tulisan Charles Colson, selama ini tidak pernah aku merasa tergerak untuk ikut pelayanan kunjungan ke penjara. Tidak berminat. Telepon itu mengubahnya. Seorang sahabatku meringkuk di sana, dan ia berharap aku mengunjunginya, masakan aku bergeming?
 

Aku meminta informasi dari temanku di Persekutuan Sahabat Gloria. Tak salah alamat. Mbak Wiwik memberi tahu, ada pelayanan kunjungan bersama setiap Rabu minggu ketiga. Jadilah, pagi ini aku bergabung dengan rombongan dari beberapa gereja dan lembaga pelayanan, berkunjung ke LP Wirogunan.

Di atas pintu masuk ruang pertemuan ada tulisan kecil ’GEREJA’. Di dinding luar samping ada mural ’Hati Kudus’. Di dalam ruangan ada mimbar di bagian depan, tidak disediakan kursi, namun digelar karpet warna hijau. Sepanjang dinding kiri-kanan berderet 14 foto lukisan menggambarkan stasi-stasi Via Dolorosa. Langit-langit yang tinggi menjadikan ruangan terasa adem.

Aku duduk bersila di samping ST dan IN. Dengan gaya berbicara yang cepat seperti ST yang kukenal dulu, ia bercerita, mereka sudah menjalani hukuman selama 2 tahun. Ia masih harus menunggu 5 tahun, sedangkan suaminya 10 tahun. Peristiwanya berlangsung di Cirebon. Semula mereka dipenjarakan terpisah; ia di Bandung, suaminya di Cirebon. Agar keluarga di Magelang lebih mudah menengok, mereka lalu minta dipindahkan ke Yogya. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik. Aku bingung, apakah pantas menanyakan apa persisnya peristiwa yang membawa mereka ke balik terali.

Percakapan kami terpenggal oleh ajakan pemimpin pujian untuk memulai ibadah. Aku memperhatikan wajah-wajah para penghuni LP: tampak berat mereka membuka mulut dan tatapan mereka menerawang. Apa ya yang mereka pikirkan ketika terbata-bata melagukan lirik seperti “Ke manakah kami berseru saat badai datang menderu”? Aku, yang kerap menyanyikan suatu lagu hanya karena lagu itu terasa indah dan mendayu, jadinya tersipu: jangan-jangan warga LP ini justru lebih meresapi makna kata demi kata lagu itu.

Seusai nyanyian, Pdt. Rima Matruty menyampaikan firman Tuhan. Ibu pendeta ini terlihat rileks dan cergas, tampak mumpuni menghadapi sidang jemaat yang istimewa ini. Ia mengajak kami bergantian membaca ayat demi ayat Kitab Filemon. Lalu, layaknya juru cerita yang memikat, ia menguraikan kembali latar peristiwa dan rangkaian kisah, bagaimana seorang Rasul Paulus sampai mengajukan permohonan khusus kepada Filemon, agar menerima seorang bekas budaknya, Onesimus, bukan lagi sebagai budak, melainkan sebagai saudara seiman yang kinasih. Dari situ, ia menukilkan dua butir hikmah yang bening.

Ada tiga tokoh utama di situ. Paulus, seorang rasul yang gigih membela iman dan giat merintis jemaat sekalipun harus dijebloskan ke penjara. Filemon, orang beriman yang kaya dan murah hati pada sesamanya. Dan, Onesimus, budak yang merugikan tuannya dan dipenjarakan, tetapi justru di dalam penjara itulah ia mengalami perubahan hidup radikal berkat kasih Tuhan. Jamahan Tuhan, dengan demikian, tidaklah terbatas untuk kalangan tertentu saja---mereka yang dianggap hina sebagai sampah masyarakat pun disentuh-Nya. Tembok penjara tidak merintangi aliran rahmat-Nya.

Lalu, Onesimus bisa jadi melakukan kriminalitas di Efesus. Tampaknya kriminalitas kelas parah. Terbukti, ia tidak dikerangkeng di penjara setempat saja, tetapi dikirim sampai ke penjara Roma. Namun, justru di penjara kelas berat di tempat jauh itu, ia dipertemukan dengan Paulus. Ia berkesempatan menyimak Kabar Baik. Hidupnya berubah oleh kemurahan Tuhan. Bukankah itu seperti sulaman kreatif Sang Penolong Agung dalam menenun jejaring untuk menyelamatkan anak yang terhilang?

Siang ini, di gereja di sebuah LP, kisah narapidana dijamah Tuhan yang biasanya kubaca sambil lalu itu memancarkan pesan yang berkilau.

Kami lalu dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil, waktu untuk saling mendoakan. Aku bersama dua orang bapak. Yang seorang meminta doa sederhana: agar sembuh karena sedang kurang enak badan. Yang seorang lagi suami yang bersama-sama istrinya dihukum selama dua tahun. Ia tidak meminta doa untuk dirinya sendiri. Ia meminta aku berdoa untuk anak laki-lakinya. Yang di luar penjara sana. Yang baru berumur 1 tahun 8 bulan. Yang diasuh keluarga polisi yang berbelas kasihan atas nasib mereka.

Aku mencoba mengumpulkan kata-kata. Aku berusaha mengingat-ingat janji-janji firman Tuhan yang semoga bisa menguatkan dan menghibur kedua bapak ini. Setelah kehabisan kata, aku meminta ganti mereka yang berdoa. Mereka terdiam. ”Sudah, bapak saja yang berdoa,” kata bapak yang pertama. Bapak yang kedua kulihat memalingkan muka, menyeka matanya.

Tibalah waktu untuk makan siang dan berbincang santai sambil menunggu habisnya jam berkunjung. Aku melanjutkan ngobrol dengan ST dan IN. Sebenarnya, sepanjang ibadah tadi, aku juga tidak mengikutinya secara khidmat, dan sesekali berbisik-bisik dengan mereka berdua. ST sempat memperlihatkan foto kedua anak perempuannya, mamanya, dan kakaknya, yang dijadikan selipan Alkitab. Si sulung 10 tahun, kelas 5 SD; adiknya 5 tahun, kelas 1. Si kecil kalau berkunjung kadang-kadang menyebutnya ”Mama”, tapi tak jarang menyebutnya ”Tante.” Mereka bercerita, penyiksaan terberat di penjara itu justru kebengongan. Menganggur. Tak ada aktivitas. Makanya, jam-jam persekutuan di gereja seperti ini seperti pergi tamasya bagi mereka. Itu juga kesempatan mereka sebagai suami-istri. ”Di sini sudah tidak ada lagi suami dan istri. Yang ada napi laki-laki dan napi perempuan.”

Diam-diam aku juga menyimpan pertanyaan: Di antara sekian banyak kawannya, kok aku termasuk yang diingatnya ya? Dari ceritanya, tahulah aku sebab-musababnya. Di penjara ia membaca buku-buku renungan, termasuk Renungan Harian. Membaca namaku di situ, ia bilang ke suaminya, ”Aku kenal penulis ini!” Ia ingin menghubungiku, tetapi tidak tahu caranya karena di Wirogunan para narapidana tidak diizinkan menggunakan telepon genggam. Sampai ia ketemu dengan temanku tadi dan menitipkan pesan.

Ketika berpamitan aku bertanya, apa kiranya bantuan yang bisa kuberikan. Mereka tersenyum. ”Sudah sangat senang kami dikunjungi. Doakan saja kami.”

Aku menjabat tangan mereka. Aku berjanji akan berkunjung lagi. Aku enggak malu, sahabat. ***

__________________

Purnawan Kristanto's picture

Tulisan yang menyentuh

Cerita yang menyentuh mas. Saya juga pernah masuk penjara di LP Wirogunan. Waktu itu, masih mahasiswa. Kami mengadakan kebaktian bersama dengan para napi sambil membagi peralatan mandi. Acaranya berlangsung di sebuah kapel. Suasanaya tidak seangker bayangan saya semula.

Bu Rima Matruty emang jagonya kalau ditugasi untuk bercerita. Beliau adalah penyampai warta yang mumpuni. Kalau kita ingin menyebarkan berita, titip saja pada bu Rina. Beliau pasti akan mengatakannya pada semua orang yang ditemuinya...ha...ha...ha... Semoga bu Rima tidak membaca ini.

Di penjara ia membaca buku-buku renungan, termasuk Renungan Harian. Membaca namaku di situ, ia bilang ke suaminya, ”Aku kenal penulis ini!”

Membaca kalimat-kalimat ini, membuat saya semakin mantap dalam menekuni pelayanan literatur. Saya mungkin tidak bisa menerobos tembok penjara, tetapi tulisan saya bisa sampai ke sana. Saya mungkin tidak bisa menginjili sampai ujung-ujung Indonesia, tapi tulisan saya mungkin bisa mengenalkan kasih Allah pada tempat-tempat yang tak pernah saya bayangkan.

 

 


 www.purnawan.web.id

__________________

------------

Communicating good news in good ways

Anak El-Shadday's picture

tulisan yang menyentuh

memang sengaja saya juduli yang sama ama pak wawan. Dapat merasakan beratnya mereka berdua, tapi itulah keadilan.

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

__________________

but the one who endure to the end, he shall be saved.....