Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sastra Goceng: Ditangisi atau Disyukuri?

Indonesia-saram's picture

Setiap kali ada pesta buku, salah satu jenis buku yang pasti saya cari ialah buku sastra. Memang saya tidak selalu menghampiri stan yang menjajakan buku-buku sastraNamun, saya pasti melihat buku sastra apa saja yang bisa saya temukan di berbagai stan.

Dalam kegiatan Kompas-Gramedia Fair yang baru lalu, saya cukup terpuaskan, salah satunya oleh sebuah karya Korrie Layun Rampan. Apalagi beliau merupakan salah seorang sastrawan favorit saya. Tidak hanya karena banyak mengangkat budaya suku Dayak, tetapi juga karena gaya bahasanya yang menurut saya cukup indah dan enak dibaca. Karya yang saya maksudkan ialah kumpulan cerpen berjudul Melintasi Malam.

Namun, yang segera membuat saya segera ”mengamankan”-nya ialah harga jual buku kecil tersebut. Hanya Rp5.000! Sudah menemukan karya sastrawan favorit, harganya juga sangat murah.

Keberuntungan saya dalam menemukan buku dengan harga semurah itu tidak hanya pada Kompas-Gramedia Fair itu saja. Pada saat menghadiri Solo Book Fair beberapa tahun lalu, saya menemukan Grass on the Wayside, karya novelis Jepang kenamaan, Soseki Natsume. Juga dengan Rp5.000. Lalu pada Jakarta Book Fair, saya menemukan karya-karya beliau lainnya, seperti The 210th Day, My Individualism and The Philosophical Foundations of Literature, dan The Heredity of Taste. Juga dengan harga Rp5.000 per buku.

Ada pula nama lain yang tak kalah terkenalnya, Shusaku Endo, salah satu sastrawan yang banyak memperkenalkan kekristenan di Jepang. Ada Volcano, The Last Martyr, The Golden Country (sebuah drama yang bisa dianggap prolog ke dalam Silence). Juga dengan harga Rp5.000.

Pada kesempatan lain lagi di Yogya, saya mendapatkan buku tentang Putu Wijaya terbitan Grasindo. Itu pun dengan harga yang sama, Rp5.000. Dan kalau diperhatikan, ada begitu banyak buku sastra dari penulis-penulis ternama yang dijual dengan harga begitu murah.

Pada satu sisi, sebagai pencinta sastra dan buku, harga yang demikian tentu membuat saya tergiur. Bahkan sekalipun buku-buku tersebut berharga Rp20.000 per buku pun, saya masih akan tetap tergiur. Namun, kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah hal ini perlu ditangisi atau justru disyukuri?

Sastra Goceng

Saya menyebut karya sastra yang dijual hanya dengan harga Rp5.000 sebagai sastra goceng. Istilah itu muncul karena banyaknya buku sastra yang saya beli hanya dengan Rp5.000 (goceng) per buku. Meskipun semula saya khususkan untuk buku-buku sastra yang dijual dengan harga Rp5.000, belakangan istilah itu saya gunakan juga untuk menyebut karya sasta yang dijual murah. Batas paling tinggi Rp20.000.

Ditangisi
Pada dasarnya, hal ini tidak berlaku hanya pada karya sastra. Ada begitu banyak buku yang kalau kita pikirkan nilainya sungguh tidak sepadan jika dihargai dengan harga yang begitu murah. Sebut saja misalnya, karya lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Di toko buku, harganya bisa mencapai Rp50.000-an. Namun, di pesta buku, harganya bisa menjadi Rp15.000. Atau buku Identitas Manusia karya seorang linguis kenamaan, J.W.M. Verhaar. Buku tipis yang kini begitu langka ini bisa dijual seharga Rp2.000!

Berpikir dari satu sisi, saya merasa sedih. Sebuah karya yang dikerjakan (mungkin) dengan susah payah oleh penulisnya, kini dijual dengan harga begitu murah. Saking murahnya, ada banyak juga orang yang akhirnya tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang berharga. Maka tidak jarang kita akan melihat rak buku tidak lagi rapi; buku-buku yang dihamparkan di lantai terinjak-injak sampai kadang bentuknya menyedihkan.

Mungkin ada penulis yang berpikir, ”Beginikah karyaku pada akhirnya? Diobral murah, terinjak-injak sampai tak berbentuk, padahal sudah kukerjakan dengan susah payah?” Rasanya tidak ada yang tidak akan bersedih ketika hasil kerja kerasnya seolah-olah diperlakukan tidak berharga.

Mungkin buku itu adalah satu-satunya buku yang ia tulis seumur hidupnya. Mungkin buku itu adalah buku yang ia kerjakan dalam waktu bertahun-tahun. Mungkin buku itu adalah karya ilmiahnya yang membutuhkan penelitian selama bertahun-tahun. Namun, berakhir di bak buku yang diobral dengan begitu murah. Tidakkah ini menyedihkan?

Disyukuri
Akan tetapi, ketika berpikir pada sisi lain, keadaan ini ternyata patut disyukuri. Ketika melihat begitu tingginya harga buku di toko-toko buku,kegiatan pasar buku murah seperti ini merupakan ajang yang sangat tepat untuk memiliki buku. Tidak heran kalau kegiatan seperti ini senantiasa ramai dikunjungi.

Mungkin ada yang datang hanya untuk lihat-lihat. Mungkin juga karena kebagian pekerjaan. Mungkin ada yang datang untuk mencari buku tertentu. Ada juga yang datang untuk memborong buku apa pun yang menurutnya menarik. Yang jelas, semua datang ke pesta buku.

Khusus untuk bidang kesusastraan, kondisi ini sebenarnya sesuatu yang sangat menggembirakan. Pada dasarnya, sebuah karya bisa diakui ketika ada yang menikmati. Namun, ketika mencermati betapa buku-buku sastra di toko buku pun turut bersaing ketinggian harganya dengan buku-buku dari bidang lain, buku-buku sastra terkesan menjadi buku-buku untuk kalangan elit. Padahal karya sastra itu seharusnya dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat.

Maka keberadaan sastra goceng menjadi jawaban. Saya kira sastra goceng ini menjadi salah satu cara mengakrabkan karya sastra kepada masyarakat, bahkan dari kalangan bawah sekali pun. Buku-buku sastra yang semula tidak terjangkau, kini menjadi terjangkau. Ibaratnya, cukup berjalan kaki guna menghemat ongkos ojek jarak dekat (yang memang umumnya seharga Rp5.000) untuk membeli buku sastra.

Pertanyaan terakhir

Memang pesta buku memungkinkan semua kalangan untuk membeli buku. Akan tetapi, masih ada satu pertanyaan yang tersisa (yang mungkin mulai menjadi pertanyaan klise). Apakah dengan mengobral buku semurah-murahnya minat baca menjadi meningkat? Apakah jumlah pengunjung pesta buku yang begitu banyak itu bisa menjadi parameter meningkatnya minat membaca? Lebih spesifik lagi, apakah dengan menjual buku sastra seharga Rp5.000 serta-merta membuat orang tertarik pada karya sastra?

Sepertinya tidaklah mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

 

 

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.

dennis santoso a.k.a nis's picture

apa sih pentingnya karya sastra?

saram... tiga pertanyaan yang susah untuk dijawab tapi sedikit banyak menggelitik kepala gue sehingga muncul tiga pertanyaan berikut:

apa sih gunanya membaca karya sastra?

apa kelebihan karya sastra dibanding dengan komik silat misalnya?

andai komik silat dijual semurah karya sastra goceng tadi, apakah akan ada orang yang membuat blog yang kira2 sama dengan blog ini dan mengganti kata2 "karya sastra" dengan "komik silat"?

 

ps.

ini nanya beneran lho, jangan disangka aneh2 seperti kebiasaan beberapa orang dari kita yah ;-)

Purnomo's picture

Beda karya sastra dengan komik silat

adalah sama dengan bedanya blognya hai hai dengan blognya purnomo.

Setelah membaca karya sastra kita akan memikirkan dengan dahi berkerut berhari-hari sedangkan setelah membaca komik silat kita akan senang berhari-hari. Itulah sebabnya saya tidak merasa kehilangan ketika kehilangan buku Layar Terkembang dan Di Bawah Naungan Kaabah serta Cerita Dari Blora. Tetapi saya teramat menyesal ketika kehilangan komik Sie Djing Kwie dan bundel kliping Koh Put On.

Membaca blognya hai hai akan membuat orang merajamnya berbulan-bulan tetapi membaca blognya purnomo membuat orang akan menertawakannya berjam-jam. Purnomo bisa membuat pembacanya senang, sedangkan hai hai membuat pembacanya kena migrain. Ya, itulah akibatnya bila senang membaca karya sastra teologi.

Pro Indonesiasaram.

Penjualan buku obral goceng tidak lepas dari unsur bisnis. Mana yang Anda pilih, membiarkan sisa stok 100 exemplar buku sastra di gudang penerbit dimakan rayap atau menjualnya dengan harga obral?

Saya sekarang tidak lagi mengunjungi tempat obral buku karena selalu saja hanya menemukan buku-buku yang sudah tidak ngetrend. Lebih banyak buku komputer untuk aplikasi versi yang telah jauh tertinggal yang dijual di sana. Saya cari buku Mas Wawan tidak pernah ketemu. Mengapa begitu? Bukan karena Wawan orang top di Sabdaspace sehingga penerbit takut mengobral bukunya, tetapi karena bukunya masih salesable di rak penjualan tanpa diskon.

Jadi tidak perlu sakit hati bila buku sastra diobral. Saya malah sedang berpikir bagaimana membujuk para penerbit buku-buku Kristen untuk mengobral buku-buku rohani yang ditulis oleh rohaniwan papan atas yang saat ini juga tidak bisa ditemukan di tempat pengobralan buku. Entahlah bila mereka berpikir mengobral buku rohani dan teologi bisa merendahkan Nama Tuhan Yesus seperti halnya perasaan Anda ketika melihat buku sastra dijual goceng.

Salam.

dennis santoso a.k.a nis's picture

menurut gue, lo salah pur ;-)

Beda karya sastra dengan komik silat adalah sama dengan bedanya blognya hai hai dengan blognya purnomo.

Setelah membaca karya sastra kita akan memikirkan dengan dahi berkerut berhari-hari sedangkan setelah membaca komik silat kita akan senang berhari-hari. Itulah sebabnya saya tidak merasa kehilangan ketika kehilangan buku Layar Terkembang dan Di Bawah Naungan Kaabah serta Cerita Dari Blora. Tetapi saya teramat menyesal ketika kehilangan komik Sie Djing Kwie dan bundel kliping Koh Put On.

Membaca blognya hai hai akan membuat orang merajamnya berbulan-bulan tetapi membaca blognya purnomo membuat orang akan menertawakannya berjam-jam. Purnomo bisa membuat pembacanya senang, sedangkan hai hai membuat pembacanya kena migrain. Ya, itulah akibatnya bila senang membaca karya sastra teologi.

hmm... jadi pur... elo menganggap bahwa blog elo bisa dianalogikan sebagai komik silat sementara blog hai2 adalah karya sastra? mungkin itu menurut elo aja .... secara elo penulisnya, maka elo sok merendah dan menganggap bahwa tulisan2 elo itu enteng dan menghibur.

tapi sebagai audience, jujur, gue lebih pusing baca tulisan2 elo daripada tulisan2 hai2. tulisan2 elo itu pur, buat gue, bisa jadi sumber inspirasi berhari2... tulisan hai2 juga begitu tapi efeknya nggak sampai separah tulisan2 elo.... at least itu buat gue, hahahaha :-)

Tante Paku's picture

Sastra bukan yang istimewa.

SASTRA bukanlah sesuatu yang istimewa, sehingga timbulkan mitos bahwa ia hanya berhak dimiliki oleh manusia-manusia tertentu yang berdarah seni. Sastra merupakan milik segala lapisan masyarakat. Dari lapisan brahmana hingga paria, asalkan berminat dan senantiasa mau belajar terus.

Yang jelas memang mustahil untuk bisa mencari upaya agar 90 persen rakyat Indonesia mencintai sastra. Namun upaya utk menambah kuantitas penggemar sastra bukanlah hal yang mustahil dan upaya tersebut memang seharusnya ada.

Lepas dari pengertian sastra dalam jangkauan arti kesenian yang sempit, di sisi lain sastra mengambil pengertian sebagai gambaran bukti nyata konsep hasil karya yang setidaknya untuk kepuasan tersendiri dan pribadi, juga penting bagi masyarakat guna dinikmati, diresapi dan sekaligus dimiliki.

Tapi masyarakat sebenarnya bukannya tidak menyenangi sastra, kebanyakan mereka hanya karena belum tahu sastra atau memang belum paham.

Segitu dulu.

__________________

Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat

PlainBread's picture

Robohnya Surau Kami

Pertama kali membaca literatur yang agak berat, saya baca "Robohnya Surau Kami". Lalu baca "To Kill A Mockingbird." Dari kedua buku itu saya mulai suka membaca karya sastra. Lalu sering membaca majalah Hai, karena tertarik membaca cerita-cerita "Balada si Roy". Tulisan-tulisan anakpatirsa mengingatkan saya dengan cerita-cerita tersebut. Ekspresif, menyegarkan, dan alurnya tidak biasa.

Dulu sewaktu Kompas masih bagus, saya juga suka baca cerbernya. Sekarang Kompas sudah berbeda.

Tapi sejak lulus kuliah, saya jadi jarang membaca. "Saman" adalah buku fiksi terakhir yang saya baca dan menurut saya cukup bagus. Ada lagi buku lain,"Kamu sadar kenapa aku selingkuh, kan sayang?". Tapi saya menyesal membaca buku itu -untungnya buku hadiah dari saudara- Menurut saya buku tersebut cuma bagus untuk ganjel meja. Maaf, Tamara. Mungkin penilaian saya bias karena saya membaca buku anda setelah membaca "Saman". Setelah itu, tidak ada lagi buku yang saya baca. Mungkin trauma dengan buku terakhir. Atau saya cuma ingin baca yang pendek-pendek dan non-fiksi, seperti "Caping" blog milik Gunawan Muhammad.

Ngomong-ngomong, melihat orang-orang yang masih sering membaca membuat saya iri. Ketika masuk toko buku, saya malah sering menjatuhkan pilihan ke non fiksi. Padahal saya merindukan bisa membaca karya-karya fiksi seperti dulu.

Yang membuat saya iri -mungkin iri bukan kata yang tepat-, kalau melihat orang jago menulis. Saya pernah baca sebuah cerpen yang menurut saya bagus sekali, pemilihan kata di dalamnya membuat saya mau menangis. Ditulisnya dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, oleh orang yang sama tanpa dibantu penerjemah. Jauh berkualitas dibanding kebanyakan cerita atau puisi yang ditulis di berbagai website (termasuk di SS ini). Begitu saya mengetahui penulisnya seorang remaja SMP di Jakarta, saya malah benar-benar menangis.

Kata orang makin banyak membaca bisa merangsang kemampuan seseorang menulis. Mirip seperti musik. Makin sering dengar lagu, bisa memicu hal yang sama dalam bermain musik. Apakah itu benar, sehingga mungkin saya harus lebih rajin lagi membaca karya sastra supaya bisa menulis dengan baik. Tapi kok rasanya saya tidak akan bisa mampu menulis dengan baik. Kalau menulis saja, saya pasti bisa. Sama seperti bermain musik, kemampuan saya cuma rata-rata, bisa jadi malah di bawah rata-rata. Melihat beberapa pemusik bahkan pengamen yang kemampuannya di atas rata-rata, seperti mau mencak-mencak rasanya.

Ataukah mungkin itu berhubungan dengan talenta? Tapi sepertinya jadi menghibur diri. "Mungkin saya gak punya talenta jadi cuma sebatas itu kemampuan saya"

Atau karena latihan? Tapi saya gak pernah diajari berlatih menulis yang baik.

Entahlah. Mungkin harus dijawab oleh orang-orang seperti anakpatirsa, Purnomo, atau Indonesia-Saram, Purnawan Kristanto, yang saya lihat bisa menulis dengan sangat baik dan sepertinya mendalami sastra secara serius.

 

 

 

 

The only difference between a sarcasm and a satire is the first one is usually done with anger while the later one is done with a smile - PlainBread

agamaitucandu's picture

@PB: baca "Bilangan Fu"

Saya juga kesulitan baca fiksi. Nggak konsen maunya lompat-lompat. Tapi ada satu buku yang bisa saya lalap habis tanpa jeda: Bilangan Fu-nya Ayu Utami. Analogi dan simbol-simbol yg digunakan sangat kaya. Silakan coba.

__________________

.

PlainBread's picture

Ayu Utami

Saya suka baca buku2 Ayu Utami, 2 bukunya yang pertama cukup memuaskan.

Kalo ada kesempatan saya akan beli. Temen saya juga udah ada yang refer buku itu, katanya isinya mengingatkan dia sama saya. Halah! Hahaha.

Dia pernah bilang di salah satu interview katanya dia sampe penelitian alias research berbulan2 sebelum menulis bukunya dia. Di situ saya tambah salut. Penulis2 sekarang (apalagi yang sudah diterbitkan karyanya) harus belajar dari dia, untuk mau sabar menulis.

Kadang saya juga gitu. Saya tau saya punya bahan bagus untuk ditulis. tapi karena terburu2 (sehari atau seminggu) menulisnya, saya sering menyesal karena saya pikir tulisan saya bisa lebih bagus dari situ.

Ngomong2 teman saya ada yang kasih tau gosip tentang dia, katanya buku Saman itu sebenarnya bukan hasil karya Ayu Utami, tapi karya GM. Hahaha, walahualam. Memang sih isinya agak2 mirip sama tulisan2 GM, tapi yah tulisan siapa saja bisa mirip dengan tulisan orang lain.

 

The only difference between a sarcasm and a satire is the first one is usually done with anger while the later one is done with a smile - PlainBread

Indonesia-saram's picture

Menanggapi yang Ringan

Saya agak bingung bagaimana memberikan tanggapan. Yang jelas, beberapa komentar rasanya perlu ditanggapi dengan artikel lain, misalnya komentar Dennis. Saya kira, saya hanya akan menanggapi soal-soal ringan saja sembari mencari peluang menulis tanggapan yang agak panjang.

Selera saya terhadap karya sastra mungkin hampir sama dengan selera saya terhadap musik. Saya cenderung menyukai karya sastra lama (namun, bukan dalam pengertian sastra lama dalam periodisasi sastra). Saya menggemari karya-karya Marah Rusli, Korrie Layun Rampan, NH Dini, Hamsad Rangkuti, Sunaryo Basuki Ks. Sementara karya sastra belakangan, terus terang, tidak begitu saya perhatikan. Kalau orang berkata karya Ayu Utami bagus, atau karya Dewi Lestari bagus, saya tidak begitu tahu; entah mengapa tidak tertarik. Daripada sastra Indonesia, belakangan saya malah menyeberang ke Jepang. Tertarik dengan Shusaku Endo dan Soseki Natsume.

Soal menulis, saya kira talenta memang berperan. Akan tetapi, bukan berarti orang yang tidak bertalenta tidak bisa menulis. Latihan merupakan kunci penting. Dalam hal menulis, setelah vakum berbulan-bulan, saya sendiri kesulitan untuk kembali menulis. Tulisan di atas, saya akui, seharusnya bisa lebih baik lagi kalau diendapkan lebih lama. Seperti kata Pak Andar, menulis itu tidak perlu buru-buru. Sebuah ide setelah ditulis, kadang-kadang perlu diendapkan, barulah kembali menulis.

Yah, kira-kira begitu.

NB: saya butuh waktu untuk memberi tanggapan terhadap satu-dua hal yang belum saya tanggapi

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.