Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sedikit Demi Sedikit, Akhirnya...

anakpatirsa's picture

Saraf, kata yang tidak boleh kuucapkan, tetapi puskesmas ini membuatku selalu mendengarnya.  Lihat orang saraf itu, selalu keluar dari mulut seseorang. Bila kuperhatikan dagu yang mendongak itu, selalu mengarah ke pria yang sedang menyeberangi jalan dengan pikulannya. Selalu ada tanggapan, Si Bentol memang saraf.

Hari ini, tidak ada yang berbeda.

Aku selalu suka ke puskesmas. Ibu selalu menungguku pulang sekolah bila membawa si kembar dan Deni ke sana. Bukan supaya membantu menggendong salah satu dari mereka, ada tante yang menolong saat musim posyandu. Ibu tahu aku senang ke sana, karena bisa mendapat alat suntik bekas untuk menembaki buah jambu dari teras.

Hari ini tidak beruntung. Tidak ada alat suntik bekas di rumpun bambu belakang puskesmas. Mantri yang kulihat memegang alat suntik juga tidak mengerti maksudku berdiri di depan pintu.

Ia hanya berkata, "Kamu tidak takut saya suntik?"

Aku menggeleng. Ingin kuminta alat suntik di tangannya, tetapi ibu pasti marah bila tahu anaknya meminta sesuatu dari orang lain. Tidak akan ia ajak aku kesini lagi.

Aku berharap mantri ini mengerti. Berharap, setelah menyuntik nenek tua itu, ia memberikan alat suntiknya.

Ia malah membuangnya ke kardus di bawah meja.

Kecewa, aku kembali ke tempat tante dan ibu menunggu. Mata Nyai tampak terbuka, bola matanya bergerak kemana-mana. Mantuh dari tadi sama sekali tidak terbangun. Deni entah dimana, pasti bersama tante.

Ada anak yang tidak kukenal sedang bermain di teras depan. Aku ingin kesana. Bukan ingin bermain bersamanya, tetapi sudah lama aku ingin melihat "tembak" polisi.

Kuurungkan niat karena ibu anak itu berteriak, "Boli, ayo masuk! Lihat si Bentol datang. Nanti ia timbun kamu dengan batu."

Mataku mengikuti dongakkan dagunya.

Bentol tampak terseok mengangkat kayu yang melintangi bahunya. Tubuh kecilnya pasti sakit membawa dua blek yang tergantung di kedua ujung pikulan. Aku tidak bisa melihat kedalam blek bekas minyak goreng itu, tetapi sudah tahu isinya.

Anak itu, Boli, lebih takut Bentol daripada polisi yang kantornya tepat di depan puskesmas. Ia langsung lari masuk, aku juga tidak jadi keluar. Dari sini bisa kulihat rumah Bentol. Hanya atapnya yang kelihatan, pintu dan jendelanya sama sekali tidak kelihatan.

Gundukan batu sungai menghalangi pandanganku.

***

Sedikit demi sedikit, akhirnya jadi bukit. Guruku tidak mencontohkannya dengan bukit Bentol. Walaupun semua orang tahu, sedikit demi sedikit ia memindahkan batu dari sungai ke halaman rumahnya. Pulang mandi, memikul batu; pulang buang air besar, juga memikul batu. Setiap hari kami juga melakukan hal yang hampir sama. Membawa jerigen kosong ke sungai, lalu pulangnya membawa jerigen penuh air. Kelas satu SD, aku punya jerigen kecil dua liter. Betapa merdunya suara air yang keluar dari jerigenku saat kakak memasukkannya ke tempayan. Hanya satu bedanya, air kami selalu habis, batu Bentol, makin hari makin banyak.

Saat jerigenku berganti lima liter. Orang-orang bertubuh kuat membersihkan jalan di depan rumah. Hampir di setiap rumah, ada tumpukan batu. Batu menjadi berharga--lima ribu rupiah sekubik--orang banyak berlomba membawa batu dari sungai.

Bentol mendapat banyak uang.

Saat jalanan kampung beraspal, ujung jari kakiku sering terantuk batu sehingga luka mengelupas. Setelah tiga tahun bersekolah, akhirnya aku mendapat sepasang sepatu.

Jalanan beraspal itulah yang membuatku punya sepatu.

Diare membuat ayah mengantarkanku ke puskesmas. Tidak ada lagi kubangan di depannya. Mantri pelit itu juga sudah pindah, tetapi alat suntik tidak lagi menarik bagi anak kelas empat SD. Seandainya disuntik, aku tidak akan meminta alat suntiknya. Rumah Bentol juga sudah berubah. Aku sudah bisa melihat pintu depannya. Sirapnya juga tidak lagi berwarna hitam, tetapi kemerahan.

Warna sirap yang masih baru.

Bentol kembali mengumpulkan batu. Kulihat istri dan anak-anaknya juga ikut membawa batu dari sungai. Dulu ia menumpuk batu asal tumpuk, sekarang memagari halaman depannya dengan kayu ulin, pagar yang sekaligus menjadi penahan tumpukan batunya. Ada dinding penahan di kiri dan kanan jalan kecil yang menuju rumahnya.

"Laut itu terbelah, persis seperti dinding yang menahan batu di jalan masuk rumah Bentol," kata guru sekolah mingguku waktu bercerita tentang laut yang terbelah. Cerita tentang Musa yang memimpin bangsanya keluar dari Mesir.

Kehidupan berlanjut, Bentol dan keluarganya sedikit demi sedikit memindahkan batu dari sungai. Saat aku mampu membawa dua jerigen masing-masing dua puluh liter, Bentol bukan hanya menghasilkan tumpukan batu, tetapi bukit batu. Ia tidak lagi memikul batu hanya sehabis buang air besar atau mandi. Ada dua bukit di depan rumahnya. Masing-masing di kiri dan kanan jalan masuk. Kadang aku bertanya, apakah orang tidak takut dinding pagar itu roboh saat mereka memasuki halaman rumah Bentol.

Tidak ada lagi yang menertawai Bentol. Suatu saat akan ada jalan ke kampung tetangga. Suatu saat, kami tidak perlu perahu ke ladang tante. Suatu saat, kami tidak harus naik kapal bila mau ke kota.

Suatu saat, entah kapan, ada jalan beraspal ke sana.

Hanya masalah waktu, Bentol tahu itu.

Lalu, satu lagi bukit muncul di belakang rumahnya.

***

Dua hari kunikmati rasanya benar-benar lepas dari tugas sekolah. Saatnya berpikir tentang perguruan tinggi, tetapi aku ingin lebih dulu menikmati kebebasan ini di kampung. Sudah saatnya bisa tidur larut dan bangun sesiang-siangnya, tanpa perlu berpikir tentang pekerjaan rumah ataupun upacara bendera.

Aku pulang kampung.

Kapal kami mendahului tongkang yang sedang terseok membawa ratusan drum aspal. Seseorang bercerita, itu aspal untuk membangun jalan di sebelah atas kampungku. Jalan menuju bekas tambang emas.

Bentol pasti menjadi orang kaya. Tahun lalu, lorong yang menuju pintu rumahnya benar-benar mirip lukisan tanah kering di laut mati yang terbelah.

"Mah, Bentol bakalan menjadi orang kaya," kataku begitu sampai di rumah. Sudah tidak sabar ingin kuceritakan ratusan drum aspal di atas tongkang.

"Apanya yang kaya?" balas ibu, membuatku kaget. Apalagi ia melanjutkan, "Itu ayahmu sekarang di rumahnya. Ada kebaktian di sana."

Mati, kata pertama yang melintas di kepalaku. Kebaktian bukan hal yang aneh. Setiap minggu ada kebaktian dari rumah ke rumah. Ayah ikut kebaktian di rumah Bentol? Pasti ada yang aneh. Sejak dulu, sejak aku belum sekolah, rumah kami tidak pernah sekelompok kebaktian keluarga dengan rumah Bentol.

"Kok, ayah ikut kebaktian di sana. Bukankah kita masih kelompok empat?" tanyaku. Pembagian kelompok kebaktian selalu berdasarkan jembatan, terlalu banyak sungai kecil, sehingga sesuatu selalu dibagi berdasarkan jembatan yang memotong jalanan kampung. Selama ini tidak ada perubahan, kecuali kalau ada orang mati.

"Batunya Bentol tidak laku. Pemborong memakai batu belah, supaya jalan tahan lama," kata ibu.

Jawaban yang tidak sesuai pertanyaanku.

Tetapi aku sedang memikirkan hal lain. Jalan yang lebih tahan lama? Aku percaya, tiga tahun di STM membuatku mengerti hotmix yang kami plesetkan "aspal goreng". Dulu, buruh jalan menyusun batu sungai di atas jalan, membiarkan stom, alat pelindas batu melewatinya. Kemudian mereka 'merebus' aspalnya di samping jalan. Bila sudah mendidih, mereka mencedok cairan hitam pekat itu, lalu menyirami batu-batu licin yang sudah tersusun rapi.

Sudah kulihat hasilnya, jalanan beraspal kami hanya tersisa batu-batu bertebaran.

Aku pernah membicarakannya dengan paman, suami tante yang selalu menemani ibu mengantar si kembar dan Deni ke posyandu. Pelajaran Jalan Raya I membuatku sedikit sombong. Berkata, "Hanya orang bodoh yang membuat jalan beraspal dari batu kali yang licin."

"Kamu ini mulai banyak omong. Ingat waktu kamu masih kecil, orang menertawai Bentol. Setelah batunya habis, orang bilang apa? Jangan hanya karena STM, kamu ikut-ikutan juga. Sekolah saja dulu yang benar."

Setelah itu aku tidak pernah mengajak orang membicarakan mana yang lebih baik, batu kali atau batu belah.

"Bentol sekarang bagaimana?" tanyaku yang barusan menepis wajah paman dari benak.

"Pemborong mau membeli batunya. Tetapi harus ia pecah dulu supaya bisa menjadi pelapis atas. Mereka tidak bisa membeli semuanya, hanya bisa membeli beberapa puluh kubik."

Aku kagum, ibu mengetahui cara membuat jalan yang benar: Dengan batu yang sudah dipecah-pecahkan.

Ia melanjutkan, "Sekarang anak-anaknya mulai memecah batunya."

"Si Bentolnya bagaimana?" tanyaku mengejar.

"Sudahlah, kamu lihat saja besok," katanya menutup pembicaraan tentang Bentol.

Bisa kurasakan, ibu tidak mau berbicara mengenai Bentol.

Malam itu, ayah juga tidak banyak bercerita tentang kebaktian di rumahnya.

Pagi-pagi, seekor tekukur membangunkanku. Setelah itu aku tidak bisa tidur lagi. Bersyukur itu bukan suara pelatuk yang sedang membuat sarang.

Bila sekolah, rasanya sangat berat mengangkat tubuh dari tempat tidur. Saat liburan, tempat tidur rasanya tidak menyenangkan di pagi hari. Akhirnya kucari sepeda BMX yang dulu kupakai. Sama sekali tidak ada yang menyentuhnya selama setahun. Terpaksa kuhabiskan beberapa jam memperbaiki dan meminyakinya.

Saatnya melihat jalan yang sebentar lagi beraspal.

Buruh jalan sudah meratakannya dengan bolduzer. Tumpukan batu sebesar kepala manusia ada sepanjang pinggir jalan. Tampak para buruh memecahkannya dengar martir yang ukurannya mampu membunuh sapi. Batu-batu ini pasti mereka ambil dari bukit batu seratus kilometer di arah atas kampung. Jarak yang cukup jauh, namun dengan truk-truk yang tadi kulihat di ujung jalan, jarak bukan lagi masalah.

Kukayuh sepeda mengikuti bekas rantai bolduzer. Kebiasaan waktu kecil, mengikuti jejak seperti ini sampai menemukan besi sebesar kios itu. Kulihat seseorang di kejauhan. Ia sedang melangkah searah dengan tujuanku. Dari tubuhnya yang agak miring ke kanan, dan dari pikulan blek itu, aku bisa menebak pria ini.

Itu Bentol.

Aku mau bertanya padanya, akhirnya mendapat kesempatan itu. Dari cara jalannya, bisa kuduga kedua blek itu ada isinya, tetapi pasti tidak penuh.

Lima meter di belakangnya, niat bertanya kuurungkan.

Ia berjalan sambil meracau. Makin dekat, kulihat isi salah satu bleknya.

Ada enam biji batu sungai.

Sekarang aku tahu mengapa ibu atau ayah, bahkan adik-adikku tidak mau berbicara tentang Bentol.

Aku melewatinya, sejak kecil aku takut dengannya. Orang-orang selalu menakutiku tentang ditangkap si Bentol gila. Seumur hidup aku tidak pernah berbicara dengannya. Bila melewati rumahnya, dan ia sedang menyeberang jalan dengan pikulan, aku mengerem sepeda, supaya ia lewat. Lalu melewatinya bila ia sudah di seberang jalan, tidak ada kata-kata. Bentol juga tidak pernah berbicara bila berpapasan dengan siapapun.

Dan ternyata sekarang, aku masih takut.

Waktu pulang, aku juga tidak berbicara tentang Bentol. Hanya beberapa minggu kemudian, aku mendengar sebuah peribahasa baru, "Sedikit demi sedikit, akhirnya jadi gila."

***

sahabat's picture

Hey anakpatirsa anda hebat!

Hey anakpatirsa anda memang hebat!

Baru kali ini saya bener2 membaca cerpen anda. Anda rupa-rupanya sangat hebat sekali menulis cerpen. Saya dapat menghayati cerpen anda tanpa gangguan dan begitu mengasyikkan!

 

Damai Sejahtera bagimu dan seisi keluargamu.

sahabat.

"Allah sangat mengasihi orang di dunia ini sehingga Dia memberikan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada Anak itu tidak binasa tetapi beroleh hidup sejati dan kekal" Yohanes 3:16

__________________

"Aku yakin dengan sepenuhnya bahawa Berita Baik itu kuasa Allah yang menyelamatkan semua orang yang percaya kepada Yesus, mula-mula orang Yahudi, dan juga orang bukan Yahudi" - Roma 1: 16

anakpatirsa's picture

Terima kasih, Kawan. Di

Terima kasih, Kawan.

Di SABDA Space inilah, saya mulai belajar menerima sebuah pujian tulus. Dan berkata, "Terima kasih Tuhan atas berkat-Mu, terima kasih atas talenta-Mu. Biarlah itu menjadi sepuluh talenta."