Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sekilas dari Keabadian (27)

John Adisubrata's picture

Kesaksian Ian McCormack

Oleh: John Adisubrata

LANGIT DAN BUMI YANG BARU

“Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi.” (Wahyu 21:1)

Di sana saya melihat sebuah lubang yang amat besar, yang di sebelah luarnya memperlihatkan suatu pemandangan dahsyat sebuah planet dan langit yang baru. Keindahan panorama yang saya saksikan sukar sekali untuk dilukiskan menggunakan kata-kata bahasa manusia.

Planet baru itu dipenuhi oleh padang-padang yang berwarna amat hijau, di mana rumput-rumput dan tanaman-tanamannya tumbuh dengan segar dan tampak luar biasa sekali, memancarkan sinar-sinar kehidupan yang amat menakjubkan. Seperti cahaya-cahaya gemerlapan yang mengelilingi ‘tubuh’ saya, berkas-berkas sinar yang dipancarkan oleh mereka juga mempunyai persamaan dengan kedahsyatan sinar-sinar kemuliaan yang mengelilingi diri-Nya.

Jauh di belakang padang tersebut saya melihat sebuah sungai yang amat lebar, yang berair jernih sekali. Air yang mengalir di situ memantulkan cahaya-cahaya terang yang berkilau-kilauan. Pohon-pohon yang tinggi, kokoh dan segar tumbuh di tepi-tepinya. Di sebelah kiri sungai tersebut terdapat taman-taman yang dipenuhi oleh tanaman-tanaman yang teratur rapi, dihiasi oleh keindahan warna bunga-bunga yang beraneka-ragam. Sedangkan di sebelah kanannya saya menyaksikan pegunungan-pegunungan yang menjulang tinggi ke langit biru, di mana udaranya tampak cerah, bersih dan murni sekali. 

Segala sesuatu yang saya saksikan di planet baru itu benar-benar memancarkan berkas-berkas cahaya kehidupan sejati yang abadi! (1)

Saya termenung penuh ketakjuban: “Mengapa tidak sedari dulu aku hidup di tempat yang seindah ini? Mengapa aku dilahirkan di dunia yang penuh dengan kekacauan, yang keadaannya menjadi semakin memburuk saja, … yang tidak sesempurna planet ini?”

Kendatipun hati saya masih bertanya-tanya, saya merasa yakin sekali, bahwa saya akan hidup di sana untuk selama-lamanya. Karena saya tahu, planet baru yang amat mengesankan itu sudah diciptakan untuk menjadi tempat tinggal yang sempurna bagi saya. Itulah sebabnya Ia memperlihatkannya kepada saya.

Perlahan-lahan saya bangkit berdiri. Sambil melangkah maju menuju ke mulut lubang besar tersebut, saya menggumam sendiri: “Sekarang aku akan memasuki tempat itu untuk menjelajahinya.”

Tetapi baru saja saya maju selangkah, tiba-tiba dengan cekatan sekali Ia bergerak menggeserkan diri-Nya ke samping kiri lagi untuk menghalang-halangi saya memasuki mulut lubang besar tersebut. Seakan-akan Ia ingin menyatakan, bahwa saat itu belum waktunya bagi saya untuk menjejakkan kaki-kaki saya di sana!

Ketika saya masih terpukau menyaksikan hal-hal yang terjadi dalam waktu yang begitu cepat, saya mendengar Ia berkata: “Ian, sekarang setelah engkau melihatnya, ... apakah engkau masih ingin memasuki tempat itu? Atau, ... apakah engkau ingin pulang kembali?”

“Ingin memasuki tempat itu, atau … pulang kembali?” Saya berpikir penuh keheranan: Apakah Ia benar-benar serius? Pulang ke mana dan untuk apa? Pulang kembali ke dunia? Dunia yang akhir-akhir ini dilanda oleh begitu banyak persoalan, pertikaian, kebencian, peperangan, penderitaan, kesedihan, bencana-bencana alam dan lain sebagainya. Dunia yang keadaannya menjadi semakin memburuk saja, yang aku yakin sekali, oleh karena tingkah laku para penghuninya, suatu saat … pasti akan hancur binasa!”

Sebelum Ia mendahului berkata-kata untuk memutuskannya bagi saya, secepatnya saya menjawab: “Tidak Tuhan, … aku tidak mau pulang kembali. Aku ingin masuk ke dalam planet baru itu.”

Beberapa saat lamanya saya menantikan tanggapan-Nya, atau paling sedikit melihat Dia mau bergerak pergi dari depan mulut lubang besar tersebut, agar saya bisa segera melangkah masuk ke dalamnya.

Tetapi Ia berdiam diri saja, … tidak mengatakan sesuatu apapun! Kelihatannya Ia juga tidak bersedia untuk meninggalkan tempat di mana Ia sedang berdiri. 

Kehilangan kesabaran tetapi masih berani berusaha untuk mempengaruhi pendirian-Nya, saya berkata: “Tuhan, aku tidak mempunyai tanggungan apa-apa di dunia. Aku masih bujangan, … belum terikat oleh komitmen-komitmen keluarga! Tidak ada seorangpun yang sedang menantikan kedatanganku kembali dari tempat ini.”

Mendadak saya menjadi sadar, bahwa Ia adalah Allah yang maha kuasa dan maha tahu! Tentu saya tidak perlu menguraikannya, karena Ia sudah mengetahui segala-galanya! (2)

Menyadari hal itu saya menjadi curiga: “Jangan-jangan di luar pengetahuanku sendiri, gara-gara perbuatan zinahku, ... aku telah mempunyai seorang anak. Mungkin Ia menghendaki, agar aku kembali ke dunia untuk mempertanggung-jawabkannya. Apakah mungkin saat ini, … entah di mana, … anak itu sedang membutuhkan pertolongan ayahnya?”

Saya mempunyai keyakinan yang besar, jika kemungkinan itu yang menyebabkan saya harus pulang kembali ke dunia, karena Ia maha tahu, tentu Ia akan memberitahukannya kepada saya. (3)

Tetapi Ia tetap berdiam diri, … tetap menolak untuk memberikan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang sedang bergejolak memenuhi benak pikiran saya. Ia juga menolak untuk bergeming dari hadapan saya, dari tempat di mana Ia berdiri.

Saya berusaha terus untuk mereka-reka pikiran-Nya: “Jangan-jangan aku harus memberikan suatu alasan yang lebih tepat untuk bisa mempengaruhi pendirian-Nya!”

Meskipun saya merasa yakin sekali Ia sudah mengetahuinya, memberanikan diri saya berkata lagi: “Tuhan, aku tidak mempunyai hutang kepada siapapun juga, ... baik kepada orang-orang yang kukenal, maupun kepada bank-bank di dunia.”

Ia tetap membisu seribu bahasa, ... tetap tidak mau menanggapi pernyataan-pernyataan saya tersebut, dan … tetap berdiri menutupi mulut lubang besar tersebut. (4)

(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini)  

SEKILAS DARI KEABADIAN (28)

Kesaksian Ian McCormack

ADAKAH YANG MENGASIHI AKU?