Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Setahun Luka Bakar Dimas Belum Sembuh

Purnawan Kristanto's picture

Tahun lalu, seperti biasa warga kampung itu mengadakan tirakatan pada malam 17 Agustus. Mereka menyalakan api unggun. Warga desa, segala usia, berkumpul mengelilingi kobaran api yang membakar tumpukan kayu. Dimas Nugroho, anak kelas 5 SD, turut hadir untuk menikmati kehangatan persaudaraan di antara warga desa.

Setiap kali nyala api meredup, mereka melemparkan sekantong plastik bensin untuk membangkitkannya lagi. Acara demi acara berlalu. Warga mulai beranjak pulang. Tiba-tiba warga dikejutkan oleh teriakan Dimas. Tubuhnya terbakar karena tersambar oleh api unggun. Warga segera memberikan pertolongan dan membawanya ke rumah sakit.

Mengapa Dimas bisa sampai terbakar? Ada dua versi cerita. Versi pertama: Dimas sedang melompati api unggun ketika secara bersamaan ada orang yang melemparkan sekantong bensin untuk menambah nyala api. Versi kedua, ada orang yang iseng mengguyur badan Dimas dengan bensin. Karena posisinya dekat dengan api unggun, maka tubuhnya terjilat api dan terbakar.

Dimas mengalami luka bakar pada tubuh sebelah kirinya, masing-masing pada wajah, dada, punggung, dan seluruh lengan kirinya. Dia harus menjalani perawatan selama berhari-hari di rumah sakit. Karena orangtua Dimas tergolong orang miskin, maka mereka menggunakan fasilitas Jamkesmas. Namun karena luka bakarnya cukup serius, maka perawatannya membutuhkan biaya yang besar. Ketika biaya rumah sakit menumbus angka 7 jutaan, maka fasilitas Jamkesmas itu tidak dapat digunakan lagi. Orangtua Dimas harus mengeluarkan ongkos sendiri. Padahal pekerjaan sehari-hari ayah Dimas adalah buruh bangunan.

Dengan berat hati, mereka pun membawa pulang Dimas. Padahal luka-luka di tubuhnya belum kering. Selanjutnya perawatan yang dilakukan sebatas mengganti perban. Itu pun hanya dilakukan oleh mantri desa.

Kondisi ini berlangsung selama 11 bulan. Bayangkan, selama hampir satu tahun Dimas harus menanggung sakit karena luka-luka di tubuhnya!

Hingga suatu ketika, saya mendengar kisah Dimas ini dari seorang kyai, pengasuh pondok pesantren. Kebetulan Dimas menjadi santri di pondok pesantren ini.  Saya lalu meneruskan kisah Dimas ini kepada seseorang yang berhati dermawan. Ternyata hatinya tergerak mendengar kisah itu.

Tanpa membuang waktu, saya mengantar dermawan ini ke rumah Dimas. Kondisinya memang sangat mengenaskan. Luka-luka di sekujur tubuhnya masih basah. Beberapa bagian masih memerah dan mengeluarkan darah. Tubuhnya kurus. Rambutnya panjang. Dimas hanya tertunduk. Dia tidak mau menatap orang-orang yang mengunjunginya. Kecelakaan yang menimpanya itu telah mengikiskan kepercayaan dirinya. Selama sakit, dia hanya mengurung diri di kamar. Dia enggan menemui teman-teman sebayanya.

Kami lalu berkoordinasi dengan pihak rumah sakit. Anehnya, ketika akan diajak ke rumah sakit, Dimas menolak. Dia hanya mau ke rumah sakit setelah Lebaran, yaitu sekitar 3 minggu lagi. Ini yang membuat kami heran. Kami menduga ada motif lain di balik penolakan Dimas ini. Saya menduga ini adalah taktik Dimas untuk mengulur waktu. Setelah mengobrol dengan ibunya, diketahui bahwa Dimas masih trauma dengan rasa sakit ketika perbannya diganti di rumah sakit. Saat dirawat di rumah sakit pemerintah, Dimas merasakan sakit yang luarbiasa saat perbannya diganti. Hal itu yang membuatnya trauma pada rumah sakit.

Kami lalu mengajak seorang dokter untuk membujuk Dimas. Dokter merayu Dimas dengan mengatakan bahwa kali ini rumah sakitnya beda.  Dimas akan dirawat di RS swasta, bukan rumah sakit negeri seperti sebelumnya. Lalu dokter itu akan meminta para perawat agar pelan-pelan ketika membuka perbannya. Lama-lama Dimas pun luluh dan bersedia dibawa ke rumah sakit.

Tindakan pertama yang dilakukan terhadap Dimas adalah transfusi darah karena tubuhnya kekurangan gizi. Setelah itu, Dimas menjalani operasi pada sikunya agar bisa digerakkan. Sebelumnya, siku Dimas sudah kaku. Tidak dapat diluruskan atau ditekuk. Dimas menjalani perawatan selama 14 hari di rumah sakit.  Beberapa komponen biaya ternyata dapat ditagihkan lagi ke Jamkesmas. Untuk biaya-biaya yang tidak dapat ditanggung Jamkesmas, ditanggung oleh donatur.

Sampai dengan tulisan ini dibuat, sudah dua minggu Dimas keluar dari rumah sakit. Pada kontrol yang pertama, luka-luka di dada sudah berkurang banyak. Punggungnya sudah kering. Saat perbannya dibuka. Dimas masih merintih-rintih kesakitan. "Loro...loro..." (Sakit..sakit katanya dalam bahasa Jawa). Bapak dan ibunya tidak tega melihatnya. Padahal dokter dan perawat butuh bantuan untuk menahan tangan Dimas. Akibatnya saya 'ketiban sampur' memegangi tangan Dimas. Saya harus memegang telapak tangan Dimas, sementara dokter dan perawat membebat lengannya dengan perban. Luka-lukanya masih basah. Darah menetes ke tempat tidur. Setiap kali merasakan sakit, tangan Dimas menggenggam tangan saya dengan erat.

Pada kontrol ketiga, kondisi Dimas mengalami kemajuan yang luarbiasa. Luka di dada hanya tersisa 3 titik. Di ketiak masih belum kering namun kulit mulai tumbuh menutupi luka-luka. Luka di ujung tangan kiri juga sudah mengering.  Dimas sudah bisa mengenakan baju. Hal sederhana ini tidak bisa dilakukannya selama 11 bulan karena bajunya pasti akan menempel ke luka-luka.

Berikut ini adalah foto Dimas saat menjalani kontrol yang ketiga. Saya sengaja mengubah formatnya menjadi hitam putih untuk mengurangi kengerian Anda. Foto ini sudah jauh lebih "lunak" dibandingkan foto-foto Dimas sebelum menjalani perawatan.

 

 photo d6905eca-163e-497e-976a-0a072ca1e5d5.jpg

Setelah kontrol ketiga, Dimas mulai menjalani fisioterapi untuk memulihkan otot-otot di lengan kirinya. Semoga Dimas segera pulih dan bisa sekolah kembali. Selama ini Dimas terpaksa berhenti sekolah.

***

Ketika merefleksikan kembali kisah Dimas ini, saya merasa salut pada ketegaran bocah ini. Dia mampu menanggung nyeri dan perih luka-luka itu selama hampir setahun. Saya lalu membandingkan ketika saya mengalami luka bakar di jari. Rasanya, sakit sekali walaupun lukanya tidak lebih luas dari sekeping logam 100 perak. Dimas ini mengalami luka seluas 20 persen dari tubuhnya!

Di sisi lain, ada perasaan gusar kepada kaum birokrat.  Mengapa Dimas dibiarkan keluar dari rumah sakit meski pengobatannya belum sembuh, hanya gara-gara pagu untuk jamkesmas sudah terlampaui?

"Sebenarnya untuk kasus-kasus tertentu, pagu jamkesmas ini bisa dikecualikan," kata dokter Bambang yang menemani kami. "Perangkat desa dapat mengeluarkan surat keterangan bahwa pasien ini tidak mampu sehingga pengobatan dapat dituntaskan. Namun persoalannya, apakah ada perangkat desa yang mau peduli dengan kondisi ini? Atau mungkin saja mereka tidak tahu bahwa dapat menempuh prosedur ini."

Rasa gusar ini semakin memuncak saat melihat tertangkapnya seorang kepala SKK Migas karena menerima suap 7 milyar! Jika pagu untuk jamkesmas adalah 7 jutaan, maka uang 7 milyar itu dapat digunakan untuk mengobati 1 juta orang sakit secara gratis!

 

Hampir setahun lalu Dimas alami luka bakar di wajah, dada, punggung, dan lengan kiri. Karena ketiadaan biaya, luka-lukanya tidak sembuh selama 11 bulan kemudian. Tuhan menggerakkan seorang dermawan untuk mengobatkan Dimas. Puji Tuhan, hari ini Dimas sudah mulai pulih

Dimas sudah mau keluar rumah, namun masih enggan melakukan kontak mata. Kepercayaan diri masih dalam taraf pemulihan

__________________

------------

Communicating good news in good ways