Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tidak sia-sia aku menceburkan diri

Evylia Hardy's picture

Empat anak termuda berusia satu setengah tahun. Yang lainnya berkisar antara dua sampai dua setengah tahun. Bisa dibayangkan ketika mereka pertama kali berpisah dengan para ibu atau pengasuh. Wuah. Konser, begitu komentar seorang rekan guru. Satu-satunya guru full time yang mengajar di sekolah baru itu, di samping aku yang juga ikut turun mengajar.

Minggu pertama benar-benar menuntut kerja keras, stamina dan kesabaran ekstra. Bagian yang berhubungan dengan anak-anak, tak masalah bagi kami para pengajar. Seberat apa pun, kami sepenuhnya menerima dan memahami, memang begitulah anak-anak. Bagian yang berhubungan dengan hierarki kerja, aduh, astaganaga, ampun berkali-kali ampun ... itu komentarku dan rekan guru.

Balik ke anak-anak saja.

Tubuh-tubuh mungil, pipi-pipi tembam, cara bicara yang masih cadel ... oh, menggemaskan sekali. Tingkah polah yang murni bagai surat terbuka ... rasa gembira, takut, ingin tahu, semua terbaca jelas dari sorot mata bening mereka yang menatap lekat.

Beberapa anak memiliki keberanian yang mencengangkan. Ada yang langsung mau melambaikan tangan kepada ayah-ibunya dan antusias bergabung dengan kerumunan manusia baru. Umurnya baru dua tahun. Ada pula yang menangis begitu ditinggal, namun dua hari kemudian sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Usia mereka satu setengah tahun. Sisanya seperti anak-anak kecil pada umumnya, sulit berpisah dengan orang tua atau pengasuh mereka. Ada yang perlu tiga minggu untuk menyesuaikan diri. Ada pula yang sampai sebulan masih menangis.

Menenangkan hati mereka merupakan suatu perjuangan. Mendidik mereka pun suatu perjuangan pula. Bilingual dan metode BCCT bukan hal yang mudah untuk diterapkan di bulan pertama sekolah, apalagi untuk anak-anak sekecil itu. Teori dan praktiknya jauh panggang dari api. Apalagi tak ada guru pendamping di minggu pertama dan kedua. Dua guru yang ada mengajar di dua kelas yang berbeda. Masing-masing dibantu satu pendamping anak yang hanya bisa membantu menenangkan satu anak yang menangis. Alhasil, guru dan anak-anak sama-sama kelelahan dan kehabisan suara. Tiga setengah jam bukan durasi yang masuk akal untuk ukuran Paud. Apalagi harus diikuti penuh sejak hari pertama.

Mengapa bisa begitu. Yah. Banyak kebijakan yang memang kupertanyakan. Dan ketika aku angkat bicara, ketegangan demi ketegangan terjadi. Walau dua minggu setelah sekolah dibuka Direktur sekolah menerima pemikiran-pemikiranku dan meminta beberapa hal diubah berdasarkan pertimbangan logis yang kukemukakan, tetap saja cakar-cakar tajam dari jabatan struktural di atasku mencengkeram dan meremas apa yang berada di dalam genggamannya.

Hampir setiap hari ada saja kejadian dari 'dapur' sekolah yang mencengangkan dan memaksa kami mengurut dada. Pernah aku bertanya pada diri sendiri, benarkah keputusan yang kuambil ketika aku mengiyakan saat diajak bergabung di sana. Ah. Paling tidak 'kelancangan' bicaraku membuahkan pemangkasan durasi Paud menjadi dua setengah jam. Rancangan jam kerja bagi rekan guru dari pk. 07.00-17.30 diubah menjadi pk. 07.00-14.00. Pengadaan mainan anak lebih diperhatikan (setengah minggu pertama, minggu kedua dan ketiga aku dan rekan guru membawa mainan dari rumah untuk digunakan di sekolah. Bila kehabisan, uang pribadi mengalir keluar karena permainan adalah kunci metode BCCT. Masih ditambah membuat permainan self-made di luar jam kerja. Tidur di atas jam 12 malam sudah menjadi langganan). Melihat beberapa perubahan yang terjadi, rasanya tidak sia-sia aku menceburkan diri di sana, demikian aku menghibur diri.

Wajah-wajah lucu anak-anak. Ekspresi rekan guru yang tertekan (bulan depan ia mengundurkan diri). Beberapa hari lagi tak akan kutemui. Aku memang harus pergi. Demi tugas baru suami.
 

__________________

eha