Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Bagaimana Aku Mengenal Keluarga Bapak dan Ibu Budi

anakpatirsa's picture

Sebelum petang beranjak malam, kuayunkan langkah ke arah matahari terbenam. Menyusuri jalanan yang dulu selalu kulewati selama di sekolah dasar. Aku ingin melihat sekolah itu lagi, merindukannya. Ingin melihat apakah bisa mengingat banyak hal ketika berada di sana lagi.

Banyak yang telah berubah di sana, bahkan tidak satupun bangunan yang tidak diganti. Semuanya sama-sama dari kayu, tetapi sekarang tampak lebih kokoh, dan pasti tidak ada lagi atap bocor. Dari kejauhan aku sudah bisa menebak kalau urutan kelas-kelas tetap sama seperti dulu. Kelas satu tetap di paling utara, lalu bangunan yang bercat lebih bersih pasti ruang guru.

Aku langsung melangkah ke arah kelas satu, memang aku ingin melihat kelas ini, terlalu banyak kenangan yang ingin kuingat kembali. Pikiranku melayang ke masa kecil, mengingat keinginan besar untuk segera sekolah waktu masih belum sekolah. Waktu itu, aku dan adikku Dein hanya bisa melihat anak-anak yang sudah besar berangkat ke sekolah ketika kami harus tinggal di rumah sepanjang pagi.

Ibu terlalu sibuk dengan ketiga adik perempuan kami, apalagi waktu itu si kembar masih bayi. Kadang-kadang dalam kebosanan kami berdua bermain di halaman sekitar rumah, selalu memasang telinga supaya setiap kali ibu memanggil, kami bisa menjawab. Ibu selalu melakukannya untuk memastikan kami berdua baik-baik saja.

Suatu pagi ayah membangunkanku, memberi tahu hari itu aku akan kesekolah. Antara sadar dan tidak, aku bangun. Lebih tepatnya diangkat ayah dari tempat tidur. Ibu lalu memasangkan bajuku yang sepertinya paling bagus. Baju yang hanya kadang-kadang boleh dipakai, bukan pakaian seragam, karena baru setelah pembagian raport aku mendapat pakaian seragam.

Masih kuingat kakak tertua menuntun tanganku. Entah mengapa, Dein juga ikut padalah selisih umur kami setahun. Kakak kedua yang menuntun tangannya. Lalu kakak ketiga berjalan paling belakang. Sebuah buku tulis tipis bersampul hitam dan sebatang pensil berada di tangan kami masing-masing. Malam tadi, ayah sama sekali tidak menceritakan kalau kami akan bersekolah, tahu-tahu kami sudah memiliki buku tulis dan pensil yang sudah diraut.

Ketiga kakak perempuan kami mengantar sampai ke kelas yang paling ujung, kelas yang akhirnya kuketahui sebagai kelas satu, tempatku berdiri saat ini. Mereka menunggu di depan pintu -- bukan cuma mereka, semua orang yang memiliki adik yang baru masuk sekolah sepertinya berdesak-desakkan di depan pintu. Aku dan Dein duduk sebangku, bangga akhirnya bisa bersekolah.

"Siapa namamu?" tanya ibu guru, anak-anak yang besar memanggilnya Ibu Ira. Itu karena nama anaknya yang tertua Ira. Disini orang tua dipanggil berdasarkan nama anaknya tertuanya.

Di rumah aku sering digoda karena jawabanku, aku telah membuat semua orang tertawa karena menjawab tanpa melepaskan jempol dari mulut. Aku memang bermasalah dengan masalah menggigit jempol, karena satu-satunya hal yang membuat tanganku bisa diam hanyalah memasukkannya ke mulut.

Tidak bisa kuingat apa yang dipelajar hari itu. Bahkan apa yang kami lakukan sampai pulang tidak bisa kuingat. Aku tidak ingat apakah pulang sendiri atau menunggu ketiga kakakku. Hanya ada satu yang kuingat dengan pasti, adikku memutuskan untuk tidak ikut sekolah besoknya.

Lalu aku mengenal huruf, garis-garis yang membuatku bisa mengenal keluarga bapak dan ibu Budi, Wati, Budi dan Ima. Juga belajar berhitung dengan alat berhitung setinggi ibu guru. Bukan sempoa, aku tidak tahu namanya, alat berhitung ini beberapa bolanya sudah hilang. Ayah juga membelikan alat seperti ini yang dari plastik, ukurannya sebesar buku tulis.

Kelas satu sepertinya memang menyenangkan.

***

Cukup lama aku duduk di teras kelas satu ini, sibuk dengan lamunan, lalu beranjak sambil menghela nafas berat, merindukan suasana kelas satu dulu. Semuanya tampak berbeda, rumpun-rumpun pisang di belakang dan samping kelas sudah tidak ada. Walaupun demikian, aku tetap melihat ruangan-ruangan yang kotor karena lumpur, disini musim hujan berarti kubangan ada di mana-mana.

Dulu waktu kelas dua, terlalu banyak murid sehingga kelas terpaksa dibagi dua. Aku kebagian kelas yang masuk jam sembilan pagi. Ketika melihat aku kesekolah sendirian padalah hari sudah siang, beberapa orang menganggapku terlambat kesekolah dan mengejek, akhirnya aku selalu datang pagi seperti biasa, bermain dengan anak-anak lain yang juga ikut kelas siang.

Suatu hari guru kelas sakit, sehingga kedua kelas digabungkan untuk sementara, Sepertinya ada yang salah, selama ini kami ketinggalan pelajaran, kami semua kebingungan karena tidak bisa mengerjakan 'penjumlah ke bawah'. Kelas siang ternyata telah ketingggalan dari kelas pagi.

Tidak banyak kenangan yang bisa kuingat di kelas tiga. Lalu di kelas empat mengenal yang namanya teman akrab. Mulai ikut-ikutan masuk ke hutan begitu jam istirahat. Juga ikut memberanikan diri masuk ke ruang kelas tanpa melewati pintu, tetapi melewati lubang ventilasi di bawah langit-langit.

Di kelas ini juga, kalau liburan mulai berani ikut ke danau kecil sekitar satu jam naik perahu dari kampung, menemukan memancing ikan di pinggir danau lebih menyenangkan daripada pergi kesekolah.

Di sekolah kami menghabiskan waktu dengan mencatat apa yang didiktekan oleh guru. Tidak banyak buku pelajaran cetakan, hanya yang dipegang oleh guru. Kadang-kadang ada guru yang meminjamkan buku pelajaran yang di bagian belakangnya ada tulisan "Buku ini milik negara, jagalah baik-baik, tahun depan adikmu yang akan memakainya". Betapa menyenangkannya belajar dengan buku seperti itu, banyak gambarnya, tetapi kebanyakan kami hanya mencatat apa yang ada di papan tulis atau apa yang didiktekan oleh guru.

Juga tidak ada perpustakaan, kami mendapat bacaan dengan saling meminjam buku, atau main ke sawah adik ibu di ujung kampung, banyak buku cerita di pondok kecil mereka. Buku-buku ini dibawa oleh sepupu kami yang tinggal di kota.

Ayah kadang-kadang membelikan majalah anak-anak kalau pergi ke kota. Oleh-oleh yang selalu kami nantikan. Secara bergantian kami membacanya.

***

Kami tinggal di sebuah rumah tua dengan loteng tinggi, dibangun pada jaman Belanda. Suatu hari aku memberanikan diri memanjati tangga kecil di ruang tengah. Menemukan banyak sekali barang-barang berdebu di situ. Dalam sebuah koper tua, aku menemukan buku-buku milik kakek, kebanyakan dalam bahasa yang tidak kukenal. Baru aku tahu setelah sekian lama kalau ini buku pelajaran kakek waktu sekolah. Dari antara tumpukan buku ini kutemukan sebuah buku petualangan dalam bahasa Indonesia. Ada bebeapa majalah tua di rumah sehingga sama sekali aku tidak kesulitan dengan masalah ejaannya.

Buku ini merupakan kisah petualangan seseorang di Papua. Ceritanya begitu menarik sehingga tidak pernah bisa kulupakan dan aku berharap suatu saat bisa kesana. Penemuan inilah yang mungkin membuatku sampai sekarang suka ke pasar buku loak.

Sepertinya pikiranku melayang kemana-mana, tanpa kusadari hari sudah gelap. Aku mengayunkan langkah ringan meninggalkan sekolah ini. Sebelum benar-benar pergi, kupandangi sekolah ini sekali lagi. Teringat perkataan seorang teman beberapa tahun yang lalu, "Penting sekali bagi seorang anak bersekolah di sekolah dasar yang bagus, semuanya dimulai dari situ." Aku setuju.

Dari apa yang kualami, sepertinya sekolah dasarku tidak terlalu bagus, Sebuah sekolah dasar di sebuah kampung terpencil. Bahkan aku ingat beberapa kali guru tidak datang karena gajinya tidak datang-datang. Sesuatu yang beberapa tahun kemudian ketahuan penyebabnya setelah beberapa orang di kota ditangkap karena menyimpan gaji-gaji seperti itu di bank terlebih dahulu. Lalu aku juga mendengar ternyata buku-buku bacaan jarang sampai karena beberapa orang membuatnya menjadi koleksi pribadi.

Tetapi walau bagaimanapun aku tetap ingat ketika ayah mengangkatku dari tempat tidur di hari pertama kesekolah ini, tetap ingat ketika ibu memasangkan baju yang paling bagus, tetap ingat ketika kakak menuntun tanganku, diikuti oleh adik laki-lakiku, mungkin karena kehilangan teman bermain di rumah. Dan ingat ketika ketika kakek ikut berdiri di teras melihat keberangkatan kami.

Dan aku tetap berterima kasih kepada guru-guru yang pernah mengajarku di sini.

Dedy Yanuar's picture

Terima kasih guru

mungkin hal yang paling berkesan bagi aku di sekolah dasar adalah pada waktu aku kelas 4. sebab pada saat itulah aku sangat bandel-bandelnya. mungkin ini disebabkan oleh karena adikku baru lahir.

hal terindah di kelas 4 adalah aku dapat naik kelas. sebenarnya aku bingung kenapa bisa naik kelas, padahal kalau sekolah kerjanya cuma main, main, dan main. bayangkan satu tahun sekolah tidak tahu jadwal pelarajan dari senin sampai sabtu. mau ada ulangan, atau nggak, tetap saja main-main. maka dari itu aku benar-benar bingung kenapa aku dapat naik kelas.

sayangnya ketika aku pindah ke tangerang (tempat tinggalku yang sekarang) guru itu sudah pindah rumah. jadi sampai sekarang aku nggak tahu kenapa aku dapat naik kelas waktu itu. sebab tidak dapat nanya hal itu kepada guruku itu.

yang pasti aku berterima kasih kepada guruku, karena telah menaikan kelas waktu itu.

wah kalau cerita lebih lanjut, bisa ngerusak blognya kk anakpartisa nih.

Hidup waktu kecil memang menyenangkan, tetapi hidup bersama Yesus lebih menyenangkan.