Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

HILANGNYA SEBUAH PENGHARAPAN

Inge Triastuti's picture

Ibuku bercerita kepadaku. “Mbah Sarju meninggal tadi pagi di rumah singgah. Anak ketiganya yang tukang becak mengabari gereja. Anak pertamanya yang merahasiakan alamat rumahnya selama ini dari Mbah Sarju muncul, karena diberitahu oleh adiknya. Ia tidak mau ibunya tahu alamatnya karena kuatir dimintai uang. Siang tadi ia mengubur ibunya di pemakaman dekat rumahnya agar ia setiap hari dapat menengoknya. Andai saja ia mau menengok ibunya, sebulan sekali saja, waktu ibunya masih hidup, betapa bahagianya hati Mbah Sarju.”

Aku mengenal Mbah Sarju (bukan nama sebenarnya) sewaktu ibuku akan memindahkannya dari rumah anak pertamanya ke rumah singgah. Karena sopir gereja sakit, Ibu meminta aku menjadi sopir mengantarnya dengan beberapa temannya dari Seksi Diakonia gereja ke rumah beliau. Kebetulan hari itu hari libur sehingga aku bisa mengantar.

Sebelumnya Mbah Sarju hidup seorang diri di rumahnya. Ia bekerja sebagai pemijat dan pencuci pakaian. Walaupun miskin, rumah yang ditempatinya adalah miliknya sendiri. Ketiga anaknya membujuknya menjual rumah itu dan membagikan uang hasil penjualannya kepada mereka. Lalu Mbah ditampung di rumah anak pertamanya. Tetapi ia tidak kerasan karena ia tidak diberi kamar sendiri. Ia tidur di lantai ruang tamu beralas tikar sehingga membuat ia kena rematik. Karena itu ia meminta tolong gereja untuk memberinya tumpangan. Kami datang mengunjunginya untuk meminta persetujuan anaknya memindahkannya ke rumah singgah. Anaknya tidak berkeberatan. Malah berterima kasih sekali. Anak kedua yang tinggal di luar kota akan diberitahu olehnya.

Rumah singgah adalah sebuah bangunan yang memanjang dengan 10 bilik yang saling membelakangi dan pintunya menghadap keluar. Rumah singgah ini milik sebuah gereja dan 3 bilik dipinjamkan kepada gerejaku. Satu bilik berukuran 2 meter kali 4 meter. Di dekatnya ada sebuah sumur umum yang dlengkapi dengan kamar mandi dan WC. Rumah singgah ini terletak di sebelah pasar sehingga memudahkan para penghuninya berbelanja kebutuhan sehari-hari dengan uang santunan yang diberikan oleh gereja.

Suatu hari ibuku menyuruh aku mengunjungi Mbah Sarju untuk mengantar uang santunan dan melihat kesehatannya karena sudah 2 Minggu Mbah tidak muncul di gereja. Selain itu, aku diminta membujuknya untuk pindah ke panti werda. Dalam setahun kesehatan Mbah menurun dengan cepat. Ia sering jatuh dan kepalanya luka terbentur karena mendadak tubuhnya limbung. Para pengurus diakonia sudah membujuknya, tetapi Mbah selalu menolak. Kata ibuku, “Siapa tahu Mbah Sarju mau pindah karena bujukanmu.”

Aku mampir ke biliknya pada siang hari. Ia sedang duduk-duduk di luar ketika aku datang. Tubuhnya kurus sekali tidak seperti ketika pertama kali aku mengenalnya. Ia tidak ingat siapa aku sehingga aku harus memperkenalkan diri lagi. Ia tidak lagi bekerja karena tubuhnya sudah lemah.

Ia mempersilakan aku masuk. Ada 2 bangku plastik sehingga kami bisa duduk. Bilik itu berisi tempat tidur kayu dengan kelambu dan sebuah lemari kecil. Di depanku ada kompor kecil minyak tanah dan beberapa panci kecil. Aku membuka tutup panci-panci itu. Satu panci berisi nasi, agak lembek. Satu lagi berisi sayur kol tanpa daging atau udang. Tetapi aku melihat tepi daun kol itu berwarna hitam seperti lembaran kol yang hampir busuk waktu masih mentah. Satu panci lagi berisi air untuk minum.

Mbah Sarju bercerita biaya hidupnya tidak banyak. Ia membeli beras seperempat kilo untuk makan 3 atau 4 hari. Otakku segera berhitung. Normalnya 1 orang dalam sehari butuh nasi yang berasal dari beras 2 ons. Mbah ini makannya sedikit karena sudah lupa makan atau karena lauknya hanya sayur saja? Sayur, katanya, ia tidak beli. Pedagang sayur sering memberinya. Nah, tentu itu lembaran kol yang paling luar yang biasanya dibuang karena hampir membusuk atau rusak. Daging ia tidak suka lagi padahal ia tidak ompong.

Lalu aku mulai membujuknya untuk pindah ke panti werda Kristen. Di sana ia tidak perlu repot memasak lagi. Di sana banyak teman-teman seusianya yang asyik untuk diajak berbincang-bincang. Di sana dua kali dalam seminggu ada dokter yang memeriksa kesehatannya. Bahkan ia tidak perlu mencuci sendiri pakaiannya. Tetapi ia tidak mau. Mengapa?

“Mbah kuatir kalau nanti anak-anak dan cucu-cucu datang menjenguk, kecele. Kasihan kalau sudah jauh-jauh datang tidak bertemu.”

Ibuku sudah bercerita kepadaku bahwa sejak Mbah ada di rumah singgah, tidak ada anak atau cucunya yang datang menjenguk. Mbah sering pergi ke kampung tempat anak pertamanya tinggal yang berjarak sekitar 3 km dari rumah singgah. Tetapi anaknya sudah pindah dan tetangga tidak tahu alamatnya yang baru. Anak ketiganya yang tukang becak biasanya mangkal di kampung itu. Ia masih bujangan dan tidak punya tempat tinggal tetap sehingga jarang bisa ia temukan. Ketika bertemu dengan anak ketiganya, ia bertanya alamat abangnya karena kata orang kampung ia dulu ikut mengantar kepindahan abangnya. Tetapi jawaban yang selalu diterima adalah, “Di pinggir kota. Tapi aku lupa alamatnya. Kalau disuruh ke sana pasti aku kesasar.”

“Kapan anak-anak dan cucu-cucu Mbah akan datang ke mari?”
“Nanti waktu Lebaran,” jawabnya.
“Aduh Mbah. Lebaran baru saja lewat 1 bulan. Lebaran berikutnya masih lama. Karena itu Mbah pindah ke panti werda dulu. Nanti dekat-dekat Lebaran, Mbah pindah lagi ke mari.”
“Nanti kalau mereka datang sebelum Lebaran, bagaimana?”
“Begini Mbah. Kita titipkan catatan alamat panti werda itu ke tetangga di sini.”
“O, tidak ada gunanya. Mereka jahat. Ada yang tidak jahat, tetapi pikun.”
“Kalau mereka tidak ketemu Mbah di sini, mereka pasti ke gereja tanya alamat Mbah.”
“Mereka bukan orang gereja. Mana berani datang ke gereja. Sudahlah, Mbah di sini saja.”

Beberapa bulan kemudian ketika kotaku dilanda banjir berhari-hari, pengurus diakonia gereja panik. Air masuk ke rumah singgah setinggi 20 centi. Mbah Sarju menghilang. Kata tetangganya ia pergi ke rumah anak keduanya yang tinggal di sebuah kota berjarak hampir 500 kilometer. Sebelumnya ia tidak pernah pergi ke sana. Ia hanya berbekal catatan alamat saja. Uang santunan bulanannya saja tidak cukup untuk ongkos transportnya. Bagaimana Mbah Sarju bisa sampai ke sana? Jika ada apa-apa di jalan, siapakah yang bisa memberitahu gereja? Ia tidak punya KTP karena tidak pernah mau mengurusnya. “Tuhan pasti menjaganya,” kata ibuku. “Tuhan pasti jatuh kasihan melihat kerinduannya yang tidak tertahankan.”

Dua minggu kemudian Mbah Sarju muncul kembali di rumah singgah. Aku menyempatkan diri menjenguknya karena aku jatuh hati kepadanya. Ia menceritakan perjalanannya. Pertama-tama ia berjalan kaki ke setasiun kereta api. Ia menunjukkan catatannya dan seseorang membantunya naik ke sebuah kereta. Tidak bayar, karena kondektur kasihan kepadanya. Semalaman ia ada di kereta itu. Ia jatuh dua kali sampai kepalanya berdarah-darah. Subuh ia sampai di setasiun terakhir. Ia bertanya-tanya kepada supir-supir angkot bagaimana caranya ia bisa sampai ke rumah anaknya itu yang masih berjarak 20 kilometer. Ia berjalan kaki tanpa tahu arah. Sore hari ada seseorang yang kasihan kepadanya dan mengantarnya ke alamat itu.

Sementara ia bercerita, aku menyimak wajahnya. Tidak ada kesukaan menyelimutinya. Hanya kesenduan. Ia tidak mau bercerita bagaimana keadaan anaknya dan cucu-cucunya. “Pasti Mbah Sarju pulang dibekali uang banyak,” kataku ketika ia sudah kehabisan bahan cerita.

“Anak saya hanya buruh pabrik. Orang tidak punya. Rumahnya kecil. Bagaimana ia memberi saya bekal? Malah saya yang memberi uang jajan kepada cucu-cucu saya.”
“Uang dari mana yang Mbah bawa?”
“Ya, uang bulanan dari gereja, Nik.”

Astaga! Uang santunan itu tidak seberapa. Jadi selama ini ia hidup sangat berhemat karena menyisihkan uang untuk menyambut kedatangan cucu-cucunya yang ia rindukan. “Apa Mbah tidak senang sama cucu-cucu Mbah? Masak baru 2 minggu sudah pulang.”
“Rumahnya kecil, Nik. Kalau Mbah di sana, Mbah takut membuat repot.”
“Waktu pulang Mbah diantar sampai ke sini?”
“Anak Mbah menyuruh tukang ojek mengantar sampai setasiun dan menunjukkan kereta yang harus Mbah naiki. Anak Mbah ‘kan harus kerja. Kasihan kalau ia dipecat gara-gara bolos kerja.”

Aku tidak berani bertanya lebih lanjut. Matanya menerawang jauh dan kosong. Ia telah mencari, menemukan, dan kehilangan kembali. Sebelum ia pergi, aku melihat ia masih bersemangat karena sebuah pengharapan. Tetapi sekarang ia tidak lagi mempunyai pengharapan itu.

“Mbah sudah bertemu dengan cucu-cucu. Yuk, sekarang Mbah pindah ke panti werda.”
Dia menggelengkan kepala. “Mbah masih belum bertemu cucu-cucu dari anak pertama. Biar Mbah di sini menunggu mereka datang.”

Aku berpamitan. Ia mengangguk lemah. Ketika aku menyalaminya, aku melihat ada air di pipinya. Di luar aku bertemu dengan 2 orang dari Bala Keselamatan. Gereja mereka dekat dengan rumah singgah ini. Aku meminta mereka sering mampir ke bilik Mbah Sarju dan menghiburnya.

“I’in, kalau Ibu sudah jompo nanti, sebaiknya Ibu ke panti werda mana?” Aku terlonjak.
“Apa, Bu? Ibu tanya apa?”
“Ya ampun ‘ni anak, ngelamun aja. Ibu kira asyik nonton tivi. Tadi Ibu tanya, kalau sudah jompo Ibu sebaiknya tinggal di panti werda mana?”
“Suluh Kasih (bukan nama sebenarnya) aja, Bu.”

Ibu terkejut. Aku juga. Aku menyesal asal omong. Pasti Ibu mengira aku setuju ia di panti werda. Ibu duduk di sampingku, di sofa panjang, menghadap tivi. Ia menghela nafas panjang.

“Pilihan yang tepat,” katanya pelan. “Panti itu milik pribadi. Pemiliknya baik, telaten dan tidak mengutamakan uang. Karena itu panti ini tidak pernah kosong. Orang harus booking jauh-jauh hari. Besok kamu mau ke sana mendaftarkan Ibu?”

Aku tertawa. Aku peluk-peluk dia. “Ya enggak lah, Bu.”
“Gimana sih kamu ini? Memangnya kamu senang nanti Ibu ditaruh di emperan?”

“Gini lo, Bu. I’in pernah omong-omong sama pemiliknya. Tanah kosong miliknya masih luas. Ia senang kalau ada calon penghuni yang mau membangun sendiri kamarnya. Untuk itu selama 5 tahun penghuninya akan dibebaskan dari biaya sewa kamar. Nanti I’in bangun kamar baru yang luas, 4 x 5 meter.”

“Waktu SMA dulu Ibu memang juara pingpong. Kamu mau pasang meja pingpong di kamar itu?”

“Ibu ‘kan hobi nonton sinetron. Lima meter itu jarak yang aman untuk melihat home theater besar dan memasang peralatan sound-system berkeliling. Home theater ini dihubungkan dengan komputer yang selalu on-line dengan internet. Jadi kalau Mbak Ika atau Mbak Dwi menelepon, Ibu bisa melihat di layar mereka itu sedang cengengesan atau serius. Kalau Ibu kangen jalan-jalan di Blok M atau di Pasar Rumput, I’in ke sana dan lewat kamera hape Ibu bisa melihat apa yang I’in lihat. Tambah asyik lagi, di dinding kiri Ibu akan melihat pemandangan yang bisa merubah-rubah suasana kamar itu. Ibu ingin kamar itu seolah-olah ada di tengah sawah, maka lewat program komputer dan LCD pemandangan itu akan ditayangkan di dinding kiri. Atau Ibu ingin seolah-olah kamar itu ada di sebuah kapal, maka Ibu tinggal klik saja, dan di dinding itu akan ditayangkan pemandangan lautan. Ada ombak bergulung-gulung. Ada perahu-perahu nelayan melintas. Ada ikan lumba-lumba berenang beriringan. Sambil berbaring di tempat tidur yang bisa disetel posisinya pakai rimot seperti yang di rumah sakit, hanya yang ini beda ukurannya, 2 meter kali 2 meter . . . . .”

“Buat apa tempat tidurnya selebar itu?” Ibu mendadak memotong paparanku.
“Kalau ukurannya 1 kali 2 meter, lalu I’in tidur di mana?”
“Ngapain kamu ikut-ikutan masuk panti werda?”

“Bu, untuk membuat kamar seperti itu biayanya paling sedikit 300 juta rupiah. Uang dari mana kalau tidak dari menjual rumah ini. Memangnya Ibu senang I’in tinggal di rumah kos?”

“Iya, ya. Kalau begitu bagusan kita tetap tinggal di sini saja. Untuk punya home theater ‘kan tidak perlu harus di panti werda.”

“Setuju,” jawabku senang.

“Kalau ada home theater di rumah Ibu tidak usah repot kesana kemari cari-cari kacamata kalau mau nonton Cahaya. Tapi itu mahal. Yang murah tak mengapa. Besok kamu beli saja tivi plasma ya.”

“Yeee, uang dari mana, Bu? Boro-boro tivi plasma, kredit mobil bekas aja belum lunas. Kalau masalahnya di kacamata, besok I’in beli selusin kacamata plastik. Kita taruh satu-satu di atas tivi, di dapur, di kamar tidur, di tas Ibu, satu dicentelin di bawah jam dinding, satu dititipkan di rumah koster gereja, satu di . . . . “

Aku tidak bisa terus berkicau karena tiba-tiba Ibu merengkuhku dengan tangan kanannya dan tangan kirinya meremas-remas rambutku. “Gemes aku, gemes aku,” katanya sambil terkekeh-kekeh. Aku bukan anak kecil lagi. Tetapi aku masih juga senang dipeluk-peluk seperti ini.

Aku tidak akan membiarkan ia ke panti werda. Kalau ia kangen kepada teman-temannya, biar waktu berangkat kerja sekalian ia kuantar ke panti werda dan kujemput pulang pada sore harinya. Aku tidak mau kehilangan pelukannya yang menyesakkan nafas itu. ***

dennis santoso a.k.a nis's picture

missing a home

enak yah punya keluarga yang bisa diajak ngomong tanpa perlu mikir apakah si keluarga ini punya maksud tersembunyi atau tidak.

kamu orang yang beruntung, i envy you 'in. most people i know, situasinya beda2 tipis dengan situasi mbah sarju. kalo pun tetep berkumpul bersama, rumah lebih mirip arena politik yang bahkan lebih parah daripada politik kantor.