Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kisah Seorang Ayah[2]: Hari yang Panjang

anakpatirsa's picture

Tengah malam, tepat dua belas jam sudah, ayah menghembuskan nafas terakhir. Hanya ibu, Dein, Mantuh dan seorang kerabat jauh yang menemaninya. Dua belas jam lalu, Dein melihat gelagat buruk, ia langsung berkata, “Ayah tunggu dulu, aku panggil orang.” Lalu mengambil motor, lima menit kemudian kembali bersama seorang paman. Begitu melihat keadaan ayah, ia langsung berkata, “Sandarkan punggung ayah kalian.” Dein menyandarkan punggung ayah, paman lalu memimpin Doa Bapa kami. Hanya doa inilah yang ia tahu. Begitu Amin, ayah menghembuskan nafas terakhir. Hanya Mantuh yang berteriak, Ayah... ayah…

Pelayat, bila boleh kusebut pelayat memenuhi ruang tamu, berjudi. Rumah duka menjadi surga para penjudi. Orang mati membunuh hukum negara. Adat yang mengharuskan orang mati harus ditunggui semalam suntuk membuat judi legal. Bila tidak, tidak ada yang mau berjaga semalam suntuk. Judi dan minuman keraslah yang membuat mata melek.

Sepuluh menit lalu aku barusan terbangun, langsung sadar hanya setengah meter dari kaki meja pembaringan ayah. Seharusnya aku tidak boleh tertidur, terutama di kamar jenazah. Aku tidak peduli, setan bulik tidak akan menculik mayat ayah. Kulihat Dein juga tertidur dekat jendela, sedangkan Mantuh di sampingku. Kupandangi muka adik bungsuku, wajah cantiknya tampak lelah. Bisa kumaklumi, saat ayah menghembuskan nafas terakhir, ia yang memegang kakinya. Ia yang menangis karena baru pertama kali menyaksikan manusia menantikan detik-detik terakhirnya. Dein yang menyandarkan punggung ayah harus berkata, “Tidak apa-apa, Tuh. Orang memang begitu kalau meninggal.”

Kuhidupkan laptop Mantuh, bangga bisa menunggui jenazah di depan komputer. Hampir semua penjudi menoleh kaget, tidak berharap sound default Windows startup keluar dari kamar jenazah. Aku tidak peduli, aku mulai mengetik buku acara pemakaman ayah.

“Hei, kapan datang?” seseorang menepuk punggungku.

Sejak tadi hanya suara ketukan keyboard dan tarikan nafas Dein yang mengisi kamar. Tepukan itu mengagetkanku. Kulihat jam ponsel. Setengah tiga subuh. Tiga jam sebelum matahari terbit.

“Tadi sore,” jawabku.

Ia duduk di sampingku. Aku mengenalnya, orang yang dua tahun lalu anaknya hampir kami kuburkan. Setelah basa-basi tanpa menyinggung insiden pemindahan padi, ia mulai bercerita. Tadi pagi, setelah melihat keadaan ayah, mereka memutuskan untuk memberi penguat lantai dan tangga rumah. Hanya masalah waktu sebelum ayah menghembuskan nafas terakhir. Rumah berumur lebih dari seratus tahun ini tidak akan kuat bila para pelayat mulai berdatangan. Pekerjaan ini baru selesai, dan semua tetangga sudah pulang ketika ia mendengar kabar ayah sudah menghembuskan nafas terakhir.

Kami masih bercakap-cakap saat mendengar sedikit keributan di teras. Kelompok penjudi terakhir berkumpul di situ. Ada yang merasa bersalah meninggalkan orang mati sendirian. Akhirnya tercapai kesepakatan, yang menang harus tinggal sampai pagi dan yang kalah boleh pulang.

Banyak yang harus kukerjakan pagi ini. Menyiapkan buku liturgi, mengawasi pembuatan peti mati, serta menyiapkan ini dan itu. Jam setengah enam, hujan turun dengan derasnya. Begitu deras sehingga setelah sarapan, aku memutuskan untuk merebahkan kepala barang sebentar.

Hanya sebentar, kataku pada diri sendiri.

Aku terbangun jam sepuluh, karena mendengar suara keras chainsaw, gergaji rantai. Suara yang hanya terdengar bila ada yang menebang pohon besar. Heran, sama sekali tidak terdengar suara ketam listrik atau ketukan palu. Gergaji rantai untuk membuat peti mati? Tidak masuk akal. Rasa penasaranlah yang membuatku bangkit. Ternyata rumah sudah penuh, puluhan orang berkumpul di di samping teras, membuat peti mati. Bunyi ketam tadi tidak kedengaran karena kalah oleh suara gergaji rantai yang dipakai untuk menebang kelapa sawit di depan rumah. Bagian dalam batangnya bisa dimasak menjadi sayur.

“Pintar kita ya,” kata Nyai, melihatku keluar kamar, “orang lain bekerja kita tidur saja.”

Bisa kulihat ia juga baru bangun tidur.

“Anak bapaknya,” jawabku. Meniru kalimat ibu bila jengkel terhadap kami.

Tidak pernah kami berkumpul tanpa ada pertengkaran antara Nyai dan Deni. Penyebabnya seringkali sepele, seperti kali ini. Hanya ada satu kamar mandi untuk lebih dari sepuluh anggota keluarga yang berdatangan dari perantauan. Aku sediri mendengar kesepakatan keduanya, mandi barengan. Mereka berdua sudah sama-sama melepas pakaian ketika Deni berkata, “Nyi, aku berak dulu ya.”

Nyai, waktu lahir tubuhnya masih tertutup selaput. Menurut kepercayaan merupakan tanda orang yang kalau dewasa menjadi keras. Itulah sebab namanya Nyai, pahlawan wanita kami yang bukan hanya tidak kenal takut tetapi juga keras. Mantuh, ia lahir duluan tanpa menangis. Nyai juga lahir tanpa menangis, tetapi begitu selaput yang membungkusi tubuhnya dibuka, ia menangis sekeras-kerasnya. Mantuh yang awalnya diam tiba-tiba ikut menangis keras. Itulah mengapa namanya Mantuh, gadis imut lembut yang penurut.

Kali ini Nyai kembali menunjukkan arti namanya. Ia berteriak marah, memasang kembali bajunya, lalu keluar kamar mandi.

Kami hanya bisa tertawa. Seperti biasa, hanya satu orang yang prihatin, Mantuh. Ia ikut menyalahkan Deni, membuatnya harus mendengar kalimat, “Tuh, kamu jangan suka ikut campur.”

Itu bukan satu-satunya insiden kecil. Sebelum makan siang, kipas sudah tidak ada tombolnya. Mesin jahit selalu berputar sehingga aku harus mengikat roda bawahnya. Dio pun mendapat julukan baru dari para pelayat, bajang baliwus, rusa lepas kurungan.

Hari yang sangat panjang sehingga malamnya aku begitu capek. Setelah menyelesaikan pembuatan buku acara, aku langsung membaringkan diri di ruang tamu. Tidak lagi ada penjudi. Ada dua alasan, tadi pagi ada orang bunuh diri, rumahnya hanya lima puluh meter dari rumah. Alasan lain, para sepupu kami sudah berkumpul. Dein meminta hari ini tidak usah ada judi. “Biarlah malam ini menjadi acara keluarga,” katanya. Semua puas. Orang yang datang berjudi bisa pindah tempat, orang yang merasa masih kerabat bisa ikut reuni keluarga. Berjejel tidur di lantai ruang tamu.

Bersambung