Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Cerita Nostalgia

anakpatirsa's picture

Lelaki Tua dan Tiang Listrik

        Ia bertanya, “Kemana saja selama ini?”

        Aku tidak sedang bermimpi. Dua puluh tahun lalu ia mengejarku dengan sebilah parang, sekarang menyuruhku masuk rumahnya. Dua puluh tahun aku menghindarinya, dan sekarang ia hanya bertanya, Kemana saja selama ini?

        Tiang listrik membuatnya gila.

anakpatirsa's picture

Home: Diaz dan Vero

        Jika penilik sekolah menuduh kakakku korupsi karena menemukan meja sekolah di rumah—meja yang ada tipe-ex Roni Tuti—meja itu akan kuangkat dan kulemparkan ke kepalanya.

anakpatirsa's picture

Tiga yang Hilang

        Tiga hal sudah lenyap dari kota ini.

        Satu, pisang goreng.

        Sudah kukelilingi kota untuk mencarinya. Hanya kutemukan dua, satu di samping gedung pertemuan Tambun Bungai, dekat lapangan Sanaman Mantikei, tempat mangkalnya para bencong. Satunya lagi di jalan Yos Sudarso, dekat kampus, hanya seratus meter dari tempat kosku dulu. Harganya seribu rupiah sepotong. Pisang molen lebih murah, seratus rupiah sebiji, seukuran ujung kelingking.

anakpatirsa's picture

Borneo 1843

Lukisan sebuah kampung dengan pohon pisang di pinggir jalan dan sebuah gereja bertiang tinggi tepat di tengahnya. Bentuk menaranya menandakan gereja, selain judul yang mengatakannya, Suasana Kampung Melayu dan Sebuah Gereja. Di belakangnya, di kejauhan, di antara pepohonan, tampak beberapa rumah panggung. Kampung yang begitu sepi. Kecuali satu dua orang sedang membersihkan pekarangan, seorang anak bermain tanpa mengenakan apa-apa dan seorang ibu menuntun anaknya yang bertelanjang bulat.

anakpatirsa's picture

VERO

Entah sudah berapa lama ia duduk di kursi samping, sama sekali tidak melakukan sesuatu untuk membuatku menoleh ke arahnya. Diam di sana, entah ikut melihat anak berangkat sekolah atau sedang merasa kecewa karena aku mencuekinya. Aku tidak tahu apa yang membuatku menoleh, menemukannya duduk memegang boneka anjing. Tiba-tiba aku merasa sangat senang, persis seperti orang yang menemukan gadis pujaan duduk di sebelahnya.

anakpatirsa's picture

Kisah Seorang Ayah

Listrik seharusnya hidup jam lima sore, tetapi seperempat jam setelah itu baru menyala. Listrik juga seharusnya mati jam enam pagi, tetapi seperempat jam sebelumnya sudah mati. Lalu bila sudah hidup tiga hari berturut-turut, ada pemadaman satu malam. Tidak ada batas waktu kapan pemadaman bergilir ini selesai. Aku merasa, sebulan lagi di sini, dengan keadaan tetap seperti ini, aku pasti berkarat.

anakpatirsa's picture

Kisah Seorang Ayah[4]: Tak Terbalas

Kamar ayah sudah kosong dan bersih. Waktu kami pergi, ada yang membakar semua barang yang berhubungan dengan kematiannya: kasur, meja jenazah, sisa-sisa bahan bunga rampai. Tidak ada barang lain di kamar selain sebuah meja kecil dan lima bungkus pengharum ruangan untuk menutupi bau formalin.

anakpatirsa's picture

Kisah Seorang Ayah[3]: Pemakaman

Saat terbangun, aku kembali sibuk dengan pikiran sendiri, tentang penguburan ayah nanti. Apakah ibu, kakak dan adik-adikku akan menangis. Aku sering melihat, kalau ada kematian, paling tidak tiga kali kerabat menangis. Saat melihat jenazah untuk pertama kali, saat penutupan peti mati, dan saat penimbunannya.

anakpatirsa's picture

Kisah Seorang Ayah[2]: Hari yang Panjang

Tengah malam, tepat dua belas jam sudah, ayah menghembuskan nafas terakhir. Hanya ibu, Dein, Mantuh dan seorang kerabat jauh yang menemaninya. Dua belas jam lalu, Dein melihat gelagat buruk, ia langsung berkata, “Ayah tunggu dulu, aku panggil orang.” Lalu mengambil motor, lima menit kemudian kembali bersama seorang paman. Begitu melihat keadaan ayah, ia langsung berkata, “Sandarkan punggung ayah kalian.” Dein menyandarkan punggung ayah, paman lalu memimpin Doa Bapa kami. Hanya doa inilah yang ia tahu. Begitu Amin, ayah menghembuskan nafas terakhir. Hanya Mantuh yang berteriak, Ayah... ayah…

anakpatirsa's picture

Kisah Seorang Ayah[1]: Berita Duka

Aku benar-benar sangat marah. Sudah 09.10, tetapi penumpang diam, pengeras suara juga bungkam. Hanya aku yang mendatangi petugas—sebagai bukti jarang melakukan perjalanan—menanyakan alasan keterlambatan, “Karena pesawatnya terlambat dari daerah.” Bisa kutangkap artinya, “Bukan salah kami, daerah yang salah.” Bila di daerah, mereka mungkin berkata, “Bukan salah kami, pesawat dari Jakarta yang terlambat datang.”

anakpatirsa's picture

DEAR DIARY

Waktu membereskan kamar, mataku melirik buku harian tahun 1996. Teringat kampung halaman, aku duduk di lantai, membacanya sekilas. Ada cerita yang kuingat lagi, cerita tentang adik yang juga teman berantem. Aku sedikit malu dengan tulisan "Dear Diary" yang menjadi pembuka. Panggilan "Ry" juga benar-benar memerahkan muka. Tetapi tidak apa-apa, semua orang pernah menjadi remaja.

anakpatirsa's picture

PERTANDINGAN TERAKHIR

"Cepat... cepat...!"

Telingaku bisa mendengar teriakan itu. Mereka mungkin sedang memberi semangat, atau bisa juga menganggapku terlalu lamban menggiring bola di depan kesembilan belas pasang kaki yang sedang mengejar. Bisa kurasakan beberapa kaki itu menghantam betis. Kutahan, nanti biar ibu yang mengurusnya. Ia sudah tahu cara mengurangi bengkak di betis--merendamnya dengan air hangat. Tetapi aku harus menyerah, ada anak bertubuh besar berlari mendahului, lalu berbalik menghadap aku. Kaki kanannya menendang bola dari arah depan, meleset lalu menghantam kakiku.

anakpatirsa's picture

Kenangan "Manis"

Nangka belanda tumbuh hanya dua meter dari jendela ruang tamu. Begitu bangun tidur, kami bisa langsung melihatnya. Pohon yang tidak mengenal musim sehingga benda lonjong hijau selalu bergantung di dahannya. Kami harus mengambil dan menyimpannya di keranjang rotan sebelum benar-benar matang. Kalau tidak, tupai mendahului kami.  Bila simpanan itu sudah lunak, siapapun boleh membelah dan meletakkannya di meja makan. Siapapun boleh mencicipinya, asal jangan membuang sembarangan bijinya. Bumi begitu bersahabat, biji apapun yang menyentuhnya pasti tumbuh.

anakpatirsa's picture

Sedikit Demi Sedikit, Akhirnya...

Saraf, kata yang tidak boleh kuucapkan, tetapi puskesmas ini membuatku selalu mendengarnya.  Lihat orang saraf itu, selalu keluar dari mulut seseorang. Bila kuperhatikan dagu yang mendongak itu, selalu mengarah ke pria yang sedang menyeberangi jalan dengan pikulannya. Selalu ada tanggapan, Si Bentol memang saraf.

anakpatirsa's picture

Kisah Dua Buku

Pantun Jenaka

Disini kosong di sana kosong
Tak ada batang tembakau
Bukan saya berkata bohong
Ada katak memikul kerbau

Jual bayam pembeli tali
Tali hilang di atas atap
Sejak ayam menjadi polisi
Banyak elang yang tertangkap

Pohon limau ditepi rawa
Tempat orang mengadu banteng
Nenek menangis sambil tertawa
Melihat kakek main kelereng

Aku tidak pernah bisa melupakan pantun ini. Nenek menangis sambil tertawa//melihat kakek main kelereng, membuatku melihat kakek bermain kelereng. Elang dan ayam ada di belakang rumah, bahkan pernah kulihat elang menyambar anak ayam. Juga sudah kulihat induk ayam melindungi anak-anaknya dengan sayap, sehingga tidak bisa kulupakan bait-bait itu.

anakpatirsa's picture

Akibat Tidak Mendengarkan

Selama liburan, aku membaca satu dari sedikit buku tentang kebudayaan suku kami. Buku berjudul "Menyelami Kekayaan Leluhur" ini merupakan kumpulan dokumentasi tertulis mengenai kebudayaan kami. Gubernur pertama propinsi ini yang menyusunnya. Aku tertarik pada bagian yang menceritakan tentang reaksi masyarakat jika ada anggotanya yang meninggal. Terlalu banyak kematian selama dua minggu disini, sehingga tidak bisa kulewati begitu saja topik kematian dalam masyarakat pedalaman.

anakpatirsa's picture

Si Lawung

Tidak bisa kuhindari lagi. Sudah dua hari main kucing-kucingan, tetapi akhirnya panggilan namaku itu terdengar juga. Seruan "Hei, sini!" itu tergiang di telinga. Tidak ada gunanya pura-pura tuli. Jadi, aku menoleh jengkel. Ulangan sudah selesai, seharusnya aku bisa menikmati minggu tenang menunggu pembagian rapor. Panggilan itu merupakan awal pupusnya ketenangan. Tidak bakalan bisa kunikmati suasana santai menunggu libur. Tidak bisa kutonton siswi SMKK menjagai stand mereka. Padahal ini kesempatan langka. Di STM, hanya ada sepuluh siswi, membuat mereka bertingkah seperti lebah ratu.

anakpatirsa's picture

Sepeda

Jika aku tidak melakukan sesuatu, selimutku bakalan tersingkir dari daftar blogger di halaman utama. Si Dede Wijaya hanya perlu mencari satu topik Top Ten lagi untuk membuatku tersingkir.

Aku harus melakukan sesuatu. Tidak ada cara paling cepat mempertahankan posisi selain mencari arsip lama, blog lokal kantor. Akupun menemukan blog pertamaku.

anakpatirsa's picture

Kisah Seekor Kucing (2)

"Atik lagi sakit. Jgn kaget nanti klau ia mati," hanya itu bunyi SMS yang kuterima.

Atik, kami harus mengakuinya sebagai bagian dari rumah kami. Tingkahnya bukan saja membuat kami tertawa, tetapi juga membuat kami harus menahan 'kejengkelan'.  Ia begitu 'imut' sehingga ibu berkata, "Tik! Ditawari satu milyarpun, aku tidak akan menjual kamu."

anakpatirsa's picture

LOTENG

Loteng bisa berkisah tentang seribu satu cerita. Orang zaman dulu menyimpan barang tak terpakai itu di sana agar kisahnya tidak hilang; orang zaman sekarang menyimpan barang bekasnya di bilik kecil bernama gudang sehingga tidak perlu repot-repot saat tukang loak langganannya datang. Apa yang tersimpan di loteng, akan tetap di sana, kenangan yang sayang dibuang. Tidak ada yang tahu nilainya kecuali sang empunya.