Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kisah Seorang Ibu

anakpatirsa's picture

Semuanya masih hampir tetap sama, pohon jeruk bali itu tetap tegak di tempatnya semula, hanya batangnya makin membesar dan dahannya makin bercabang. Jambu biji di samping teras juga masih tegak di samping parit, hanya sekarang tidak ada yang berani naik ke atap untuk mengambil buahnya lagi. Bukan hanya karena dahannya sedikit merusak atap sirap, tetapi penampilannya juga sudah tidak meyakinkan lagi. Hanya menunggu saatnya mati mengering. Menyisakan sebuah kenangan, kenangan seekor kucing manja yang hanya berani naik ke atasnya tanpa berani turun sendiri.

Rumah tua itu juga tidak berubah, hanya tampak makin tua dan sedikit miring. Rumah inilah yang menjadi tujuan pemuda sederhana yang baru saja turun di dermaga kecil di ujung kampung. Lima tahun lalu ia pergi dan sekarang kembali untuk merasakan betapa sempitnya jalanan kampung dibandingkan jalanan licin mulus kota besar.

Sesosok perempuan tua tampak memetik daun singkong dekat pohon jeruk bali, Komar kaget ibunya tampak sudah beruban dan jauh lebih tua daripada yang ia bayangkan. Tidak tahu siapa yang melihat duluan, yang pasti sang ibu memandang kaget ke arahnya. Komar mendekat dan merangkul perempuan yang melahirkannya itu. Betapa ingin menangis lepas di pelukannya, tetapi serasa ada yang menghalangi. Ibunya juga tampak berusaha menahan perasaan, tetapi anaknya bisa melihat sepasang mata tua itu berkaca-kaca.

"Ayo masuk kerumah, temui ayahmu." ajak sang ibu.

Tangga beranak tujuh itu juga masih berdiri di tempat semula. Dari anak tangga paling atas, ia bisa langsung melihat sampai ke dinding pemisah dapur. Seorang nenek kurus kecil tampak tiduran di sofa. Bukan hanya rambutnya yang putih pucat, kulitnyapun putih kepucatan. Si anak hanya bisa menduga, kalau bukan sanak keluarga yang datang berkunjung, nenek ini pasti tukang urut yang dipanggil untuk mengurut ayahnya.

Betapa kagetnya karena nenek ini mengeluarkan sebuah gumaman yang begitu khas, "Hau ... hau...." Kata-kata yang biasa keluar dari mulut ayahnya bila mengalami atau melihat sesuatu yang tidak disangka. Terenyuh menyadari nenek kurus tua ini ayahnya. Pantas tadi malam adik-adiknya mengingatkan supaya jangan kaget melihat keadaan ayah mereka. Ternyata bukan hanya sekedar tua, tubuhnya pun menyusut, seolah sudah berumur lebih dari seabad.

"Ini Komar bukan Dehen." kata ibunya, mengira sang suami menganggap anak yang datang adalah anaknya yang hampir setiap bulan datang menjenguk.

Kakek tua itu mengerti maksud istrinya, mengeluarkan album foto yang ada di bawah meja; foto yang selalu dilihatnya setiap hari. Menunjuk seorang anak kecil yang sedang memandang ke arah lain dalam sebuah foto keluarga. Wanita tua itu hanya bisa berusaha menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

"Tidak menyangka,... tidak menyangka." kata sang kakek berkali-kali. Maksudnya tidak menyangka bisa bertemu dengan anaknya yang ini. Seolah tahu dirinya pernah sakit keras bahkan hampir meninggal karena stroke.

Komar, si anak tidak pernah melupakan rasa bahagia dan haru itu. Seandainya Tuhan mengambil ayahnya setelah itu, ia merelakannya dengan sukacita. Dua tahun lalu ia menangis minta biarlah bisa melihat ayahnya dalam keadaan hidup. Permintaan egois yang dipicu rasa bersalah. Tidak akan ia ampuni dirinya sendiri bila ayahnya meninggal saat ia masih kuliah. Ia telah mengecewakan mereka, meremehkan kesempatan kuliah dan memutuskan keluar. Bukan murni kesalahannya sendiri. Ada krisis ekonomi, tetapi jika tetap bertekad kuliah, sebenarnya bisa. Akhirnya ketahuan, tetapi mendapat kesempatan kedua pada saat menyadari perlunya mengenyam apa yang namanya bangku kuliah.

"Aku mau buat makanan untuk ayahmu dulu." kata ibunya sambil bangkit berdiri, "Kalau bosan mendengar cerita ayahmu, boleh meninggalkannya. Tidak apa-apa."

Seperempat jam berlalu, Komar baru mengerti mengapa ibunya berkata seperti itu. Ada yang tidak beres. Orang yang pernah dipuji kepintarannya itu sekarang tidak lebih dari anak penderita gangguan perkembangan otak. Ayah yang dulu hanya perlu sekali membaca buku berat untuk mengetahui isinya, sekarang berhitung sampai tiga pun tidak mampu. Seperti yang diceritakan adik-adiknya tadi malam.

"Ayah, coba berhitung dari satu sampai sepuluh."

"Satu..., dua..., malas aku." Jawabnya. Anak-anaknya cukup terhibur karena sifat jelek itu tidak hilang bersama stroke. Rasa gengsi mengakui bila tidak mampu melakukan atau menguasai sesuatu itu tidak hilang sama sekali.

Jam tiga sore sang ayah makan. Istrinya menuntunnya dari ruang tamu. Ayah ini berjalan layaknya robot, dengan tangan kanan yang sudah mati terjulur ke depan. Bak seorang perawat yang terlatih, istrinya menyiapkan kursi dan meja plastik putih di kamar tidur. Mendudukkan lalu menyuapinya. Sebelumnya, tampak tangan putih pucat kecil itu terlipat ketika istrinya mengucapkan sebuah doa sederhana, "Tuhan berkatilah makanan ini, amin."

Menyuapi penderita stroke ternyata tidak mudah. Sang ayah langsung menyemburkan begitu saja isi mulutnya jika ada yang terasa tidak enak. Makanan bertumpahan di meja dan lantai, sehingga begitu acara makan selesai, Komar melihat ibunya membimbing sang ayah duduk dekat jendela. Supaya bisa membersihkan kembali bekas makanan yang berjatuhan, baru setelah semuanya rapi membimbing suaminya ke tempat tidur.

Komar menyaksikan semua ini dari ruang tengah. Lalu ia masuk ke kamar ayahnya dan duduk di kursi dekat jendela yang barusan diduduki sang ayah. Ibunya sudah entah sibuk apalagi di dapur. Ayahnya menatap dengan tatapan yang tidak ia pahami. Sepertinya tatapan seorang yang bersyukur melihat anaknya pulang. Komar sama sekali tidak pernah bermimpi akan melihat ayah yang tidak berdaya ketika pulang. Dulu, waktu SMA, ia selalu melihat ayahnya menenteng parang di pinggang, bergegas pulang dari kebun jika anaknya pulang kampung. Sekarang ia berbaring tak berdaya.

Komar menyapu pandangannya ke sekeliling kamar. Bekas kamar kakek, si kembar mewarisinya, menyulapnya menjadi kamar remaja, sehingga Ronan Keating, Nick Carter, Britney Spears dan Christina Aguilera bergelatungan di dinding. Waktu ayah keluar rumah sakit, kedua gadis itu mengecat putih semua dindingnya. Tetapi sore itu juga mereka pergi ke pasar membeli cat baru. Ibu tidak mau kamar ini mengingatkannya pada rumah sakit. Mengusulkan mengganti catnya dengan warna kesukaan ayah, biru tua.

Ibu juga ikut pindah ke kamar ini, Komar bisa melihat kasur ibunya tergulung di sudut, pasti supaya tidak membuat sumpek. Sebuah buffet yang atasnya penuh obat-obatan tampak agak tersembunyi di dekat pintu. Jelas bukan kamar suami istri, lebih tepat disebut kamar orang sakit dan penjaganya.

Ayahnya tampak sedang mengantuk, namun berusaha tetap terjaga. Beberapa kali Komar melihat mata itu terpejam dan terbuka lagi. Ia akhirnya bangkit lalu mencium ayahnya, meninggalkannya sendirian supaya bisa beristirahat. "Kita masih punya waktu dua bulan untuk bersama." katanya dalam hati sambil menutup pintu sedikit.

Ia melangkah ke dapur, melewati ruang tengah yang sama ukurannya dengan ruang tamu. Ibunya tidak ada di tempat yang tidak pantas disebut dapur karena dinding papannya sudah berlepasan. Ironis mengingat rumah dan dapur ini berperan besar dalam pembentukan sebuah provinsi. Lima puluhan tahun lalu beberapa orang berkumpul di sini, sepakat meminta pemerintah memberi mereka provinsi sendiri. Merasa tidak adil bila sebuah pulau yang sangat besar bernaung di bawah hanya satu propinsi.

Sebenarnya cukup wajar dapur ini hancur, dapur yang sudah ada lima puluh tahun sebelum rumah induk berdiri seratus tahun lalu. Hancur bukan hanya karena ibu terlalu sibuk mengurus ayah, melainkan karena semua uang hanya habis untuk membiayai kuliah anak-anak mereka. Ada delapan orang yang harus mereka biayai sekolahnya. Bahkan salah satunya baru kembali kuliah ketika kedua adik bungsunya yang kembar masuk kuliah.

Komar mendengar ibunya memanggil ayam-ayam yang sedang ribut di bawah, sepertinya dapur ini telah menjadi tempat ayam tidur di malam hari. Mendengar suara ibunya, ia ingat selama ini orang menganggap ayahnya yang pintar. Tetapi ia dan saudara-saudaranya tahu, nenek tua yang tidak takut flu burung ini lebih pintar lagi. Hanya budaya yang membatasinya, ia hanyalah ibu rumah tangga biasa yang bertugas menjaga anak-anaknya. Jika ayahnya jago bahasa dan kimia, ibunya bisa membuat gagang cangkul seperti seorang pematung membuat karya seni. Sebuah cara sederhana untuk menggambarkan ibu yang bisa melakukan banyak hal. Bila ayah suka membongkar sesuatu tanpa bisa memasangnya kembali, ibu mampu membongkar dan memperbaiki mesin jahit warisan kakek tanpa kehilangan satu bautpun.

Sekilas Komar melihat sebuah lesung dipakai oleh seekor ayam untuk mengerami telurnya. Jadi teringat bagaimana ibunya mengajak mereka menumbuk kembali beras yang dibeli ayah sebelum berangkat ketempatnya mengajar. Kemarau begitu panjang sehingga ia tidak bisa pulang. Berkarung-karung beras rusak sehingga mereka harus menumbuknya lagi untuk memisahkan beras yang masih bagus dengan yang rusak.

Pikiran Komar lalu melayang ke bibinya yang sudah meninggal. Suatu hari mengeluhkan anak-anaknya yang kesulitan di sekolah. Ia berkata kepada Komar, "Dulu aku meminta ibu kalian menasihati ayah kalian supaya jangan boros susu, pikirkan rumah juga. Ibumu hanya berkata, 'Aku ingin segera punya rumah sendiri, tetapi tidak sanggup melihat anak-anakku merengek minta susu.' Sekarang ayah dan ibu kalian tidak perlu cemas setiap akhir tahun pelajaran, karena kalian sudah mendapat susu yang cukup."

Ia ibu yang tidak bisa dibohongi. Mengajarkan bagaimana rasanya dikejar terus menerus karena mencuri uang receh di lemari. Tidak peduli mengaku atau tidak, ia tahu siapa yang mencuri uang, dan mengejarnya terus. Suatu kali Komar iseng memotong bunga sedap malam yang mau mekar, berniat mengerjai kakak-kakaknya yang bangun tengah malam untuk menonton bunga itu mekar.

"Komar mengapa kamu potong bunga sedap malam ini?" Komar masih ingat nada teriakan itu.

"Bukan aku!" jawabnya tegas serta pura-pura kaget.

"Jangan membantah, dari nadamu aku tahu kamu yang memotongnya."

Lamunan Komar buyar karena ada anak kecil yang berteriak minta bola bilyar. Sedih karena tempat bilyar itu masih buka. Dulu seseorang menyewa kios kecil di depan rumah sebagai tempat bilyar. Ayah akhirnya membeli dan menjalankan usaha itu. Usaha yang hampir membunuhnya. Uang yang selama ini dicari dengan cucuran keringat, sekarang datang dengan sendirinya. Hanya tinggal duduk menunggu pemain yang menang taruhan membayar coin, seribu rupiah sekali game.

Uang mengalir dengan mudah, sebelumnya harus bekerja keras di kebun untuk biaya hidup sehari-hari karena gaji otomatis di transfer ke anak-anaknya. Komar tidak bisa menyalahkan ayahnya jika pola makan berubah. Setiap hari ada makanan berlemak serta kadar gula mulai tidak terkontrol. Stroke pertama tidak terlalu berbahaya, hanya membuat orang tahu ayah mengidap diabetes. Tetapi stroke kedua begitu fatal. Ibu tidak ada di rumah. Istri yang selama tiga puluh tahun tidak pernah kemana-mana akhirnya pergi ke kota karena putri ketiga mau melahirkan. Selama ini ia lebih memilih tinggal di kampung, bahkan ketika anak-anaknya menikah, ia merasa tidak sanggup meninggalkan babi dan ayam-ayamnya serta seekor kucing manja. Tetapi sekarang mertua perempuan putrinya memaksa.

Ayah yang ternyata mengidap diabetes memang selalu diawasi, tetapi sekarang tidak ada yang mengontrol makanannya. Lalu ada dua orang yang tidak punya pekerjaan membujuk ayah memberi mereka pekerjaan. Mengecat rumah yang sudah bertahun-tahun tidak dibersihkan. Ayah setuju, hasil bilyar begitu lancar untuk membayar dua pengangguran yang menjadi tukang dadakan. Ayah akhirnya sibuk menyiapkan segala bahan yang dibutuhkan untuk proyek kejutan itu. Ia sebenarnya bermaksud baik, membuat kejutan untuk ibu, rumah tua yang dicat biru tua.

Malam itu ia tidak berhati-hati dengan alat setrum aki yang dipasangnya. Selama ini ia memang menerima jasa penyetruman aki dengan bayaran 1500 rupiah. Entah mengapa, tengah malam akinya jatuh, menimbulkan suara keras di lantai papan. Tidak ada kerusakan, tetapi ayah yang kecapekan tiba-tiba kaget. Jarak satu hari perjalanan ke kota membuatnya mengalami kerusakan otak sebelum mendapat pertolongan dokter.

"Menyesal sekali aku mau diatur oleh besanku untuk datang ke kota," Kata ibu Komar, "Memang benar disana aku merasa sangat enak. Betapa enaknya tidak perlu memberi makan ayam dan babi, tidak perlu memikirkan apapun, hanya tinggal tiduran. Sangat senang bisa beristirahat di sana, tetapi seandainya aku tidak pergi, ayah kalian tidak akan seperti ini."

Ia ternyata tidak bisa mengampuni dirinya sendiri karena telah membiarkan suaminya sendirian. Tetapi kata adik-adik, ia juga tidak bisa mengampuni suaminya yang telah merusak kepercayaan itu. Kalau suaminya mulai bertingkah rewel dengan makanan, atau melakukan hal yang hanya dilakukan oleh anak tiga tahun. Kadang ia berkata, "Makanya sudah dibilang dulu jangan makan sembarangan, jangan memaksa diri bekerja, sekarang bukan hanya kamu yang menderita, aku juga."

Semua memang sudah terlambat, tetapi Komar bersyukur atas ibunya yang tadi berkata, "Apapun yang terjadi sekarang, aku bersyukur karena akhirnya kalian semua bisa menyelesaikan kuliah kalian dengan baik. Itu yang membuat kami senang dan puas."

Memang tidak semuanya bisa sempurna dan ideal, Mereka memang merasa sedih karena kebanyakan biaya kuliah itu terpaksa diambil dari kemenangan judi beberapa orang. Tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa sepakat untuk tidak seorangpun di antara mereka melanjutkan usaha itu serta berusaha untuk bisa menjadi orang yang berguna.

Anak El-Shadday's picture

suka banget ama blognya anak patirsa

aku seneng banget kalo pas mbaca tulisannya anak patirsa, ada bau-bau surga hehehehe.... serasa ikut terbang... jadi pengen bs nuis kayak gitu but the one who endure to the end, he shall be saved.....
__________________

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

anakpatirsa's picture

Practice make perfect

Hallo Anak El-Shadday, Trims. Mari kita sama-sama berlatih di Pasar Klewer, karena "Practice make perfect." Ngomong-ngomong kemarin ikut lihat "Miss Indonesia gak?"
Samuel T's picture

Kurang "Point Of View"

Dalam sastra, impressionisme = penjelmaan pikiran, perasaan dan bentuk-bentuk dengan secara sindiran (sugestie), dan bukan dengan penjelasan yang sepenuh-penuhnya. Ada banyak bentuk kesusastraan itu, yakni impressionisme, realisme, naturalisme, romatik, dsb. Aliran impressionisme ini barang langka, suka menggurui, tetapi menyembunyikannya dengan apik dalam plot cerita. Anak Patirsa, Anda ingin tahu jenis aliran Anda, Inilah dia menurut Mochtar Lubis: Sebuah cerita pendek seumpama yang ditulis secara impressionistis ini tidak dengan langsung menerangkan sepenuhnya isi dan maksud cerita, tetapi dari totalitas cerita orang dapat mengambil kesimpulan apa yang dimaksud oleh pengarang. Karangan itu seolah-olah tidak selesai ... tetapi totalitas karangan itu memberikan gambaran yang penuh. Anak Patirsa harus memperdalam pemahamannya tetang "Point of View" kalau mau membuat sejarah baru. Kelemahan cerita "Kisah Seorang Ibu" ada disitu, tidak ada konsistensi. Bagian pertama menggunakan "Third Person omniscient" (disebut "godlike 'all knowing' narrator") tapi setelah tokoh utama masuk ke dalam rumah, "Point of View"-nya shifting ke "Third Person Limited", (orang ketiga juga, tapi hanya mewakili pikiran narator saja, contoh shiftingnya: ayahnya, ayah, sang ayah, dll). Banyak pengarang besar memanfaatkan teknik shifting untuk tujuan khusus, tapi Anak Patirsa melakukannya tanpa sengaja, tiba-tiba saja shifting tanpa transisi sehingga jalan cerita terganggu. Anak Patirsa, saya tidak bertujuan menggurui Anda, saya tidak akan bisa menulis sebagus Anda walaupun saya telah belajar sastra selama bertahun-tahun. Sayang sekali kalau calon penulis impressionis seperti Anda tidak memperdalam teori sastra. Coba Anda bayangkan dengan tetap melanggar teori "Point of View" kesusasteraan, Anda tetap membawa pembaca masuk ke dalam cerita, apalagi jika Anda tidak melanggarnya.
hai hai's picture

@ Samuel T, Pandangan Yang Tajam

Samuel T, pandangan yang tajam dan analisa yang jitu. Senang anda bergabung di pasar klewer. 

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

anakpatirsa's picture

Terima Kasih

Terima kasih atas kritiknya. Anda membuat saya menyadari menulis cerita ternyata tidak sesederhana yang saya bayangkan sebelumnya. Masalah "Point of View"-nya, jujur saya belum bisa memahaminya.