Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Mengapa Orang Tidak Takut Korupsi?

abraham sitinjak's picture

Mengapa Orang Tidak Takut Korupsi?


Para pelaku kejahatan korupsi di negara Indonesia ini terus bertambah hari demi hari. Dengan tertangkapnya koruptor yang terdahulu seakan tidak memberikan efek jera kepada pelaku terkemudian. Hampir setiap hari kita mendengar munculnya ’pemain-pemain baru’ yang turut meramaikan ruang sidang pengadilan badut-badut ’kemaruk duit’  itu. Nampaknya rasa takut sudah tidak ada lagi bagi orang-orang yang hati nuraninya memakai cap ”Judas Iskariot” ini. Dengan melihat grafik yang terus menaik tajam tentu memicu sebuah pertanyaan kolektif: “Apa gerangan yang menyebabkan terjadinya budaya tidak takut korupsi ini?”


Bukan sesuatu yang mudah untuk menjawab pertanyaan di atas. Dan, kita juga tahu sudah banyak jawaban yang telah diberikan oleh berbagai kalangan, terutama dari empat sudut pandang yang berbeda: politik, hukum, ekonomi, dan moral. Dalam perspektif politik, kita pernah mendengar pandangan bahwa fenomena tidak takut korupsi muncul sebagai akibat dari struktur politik yang mempunyai kekuasaan yang bersifat absolut. Hal ini setidaknya pernah disampaikan secara jelas oleh Lord Action; "Kekuasaan cenderung disalahgunakan sehingga semakin besar kekuasaan yang digenggam maka semakin besar pula peluang untuk disalahgunakan." Kalau kita menggunakan cara pandang politik dalam melihat korupsi, maka korupsi selalu melekat dalam struktur politik yang ditandai oleh fenomena pemusatan kekuasaan, baik dalam bentuk kuasa oligarki (kekuasaan sekelompok kecil), otoritarian dan bahkan totalitarian (kekuasaan pusat). Dalam struktur politik seperti itu, korupsi menjadi fungsional karena cost of politics untuk memperluas, mempertahankan dan memelihara bangun kekuasaan yang telah dibangun menjadi cukup besar.

Penjelasan lain diberikan oleh perpektif hukum, budaya tidak takut korupsi menjadi semakin merajalela, karena hukum tidak pernah ditegakkan. Ketika hukum tidak ditegakkan maka para pelaku korupsi tidak akan pernah mendapatkan hukuman yang setimpal dari perbuatnya dan kosekuensinya tidak akan terjadi efek jera terhadap para pelaku. Ironisnya, hukum yang tidak tegak juga akan memberikan pendidikan yang buruk bagi sebagain warga lainnya, karena sudah dipastikan mereka akan berpikir bahwa peluang untuk melakukan korupsi sudah terbuka lebar di depan mata, tanpa pernah takut pada ancaman hukuman yang memang tidak pernah diberlakukan.

Berbeda dengan pandangan politik dan hukum, perspektif ekonomi justru menekankan bahwa budaya tidak takut korupsi berakar pada masalah kesejahteraan yang belum merata di berbagai segmen masyarakat. Seorang pejabat publik cenderung untuk melakukan tindakan koruptif ketika sistem insentif (tambahan penghasilan) kesejahteraan yang diberikan oleh negara untuk diri mereka dan keluarganya tidak terpenuhi secara layak. Demikian pula yang dialami oleh masyarakat di akar rumput, ketika tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah, maka korupsi menjadi sangat fungsional sebagai bagian dari redistribusi ekonomi ke bawah. Karena tekanan ekonomi, masyarakat bawah cenderung berprilaku koruptif dengan alasan mereka melakukan itu secara terpaksa untuk memenuhi tuntutan kesejahteraan mereka.

 

Namun di luar perspektif politik, hukum dan ekonomi, ada perspektif lain yang perlu kita renungkan bersama, yakni perspektif moral dan etika. Dalam perspektif moral dan etika secara umum, jawaban atas kemunculan budaya tidak takut korupsi bisa ditemukan dengan menelusuri kembali gejala perubahan nilai yang tengah berlangsung masyarakat kita. Perubahan nilai itu menimbulkan kosekuensi yang mendasar pada perubahan pada perilaku masyarakat sehari-hari. Acuan masyarakat dalam menentukan apa yang disebut baik-buruk sudah mengalami perubahan sejalan dengan hadirnya nilai-nilai baru. Pemahaman tentang gejala perubahan nilai inilah bisa menjadi pijakan dalam memberi penjelasan mengapa terjadi perubahan dalam masyarakat, dari budaya takut untuk melakukan korupsi menjadi tidak takut lagi.

Perubahan nilai seperti apa yang tengah terjadi dalam masyarakat? Perilaku kehidupan masyarakat kita dewasa ini tidak lagi berdasarkan nilai luhur budaya dan prinsip moral yang diajarkan oleh ajaran masing-masing agama, sebaliknya perilaku masyarakat umumnya lebih dikendalikan oleh uang dan kedudukan. Dalam masyarakat yang semakin berorientasi pada materi, uang telah menjadi berhala baru. Seluruh pikiran, perkataan dan tindakan diabdikan untuk mengejar uang sebanyak-banyaknya. Hal di atas menegaskan kembali kecenderungan kontemporer dimana uang (harta) telah sebagai orientasi utama kehidupan masyarakat kita. Bahkan untuk memperoleh harta dan jabatan, seringkali dilakukan dengan mengorbankan orang lain. Dengan demikian, budaya mengejar uang dan kedudukan tidak hanya "merusak" moralitas individu, melainkan sangat menghancurkan peradaban masyarakat.

Dalam perspektif etisteologis Kristiani, fenomena materialisme (cinta uang) dan dekadensi moral anak-anak manusia di kolong langit ini bukan cerita baru. Alkitab berulang kali mencatat kejahatan manusia terkait dengan uang dan harta. Carut-marutnya penegakan hukum dan maraknya tindak korupsi di negeri kita mengingatkan situasi serupa yang pernah terjadi di kalangan bangsa Israel tatkala Mikha menjadi nabi Tuhan di kerajaan Yehuda. Melihat kebejatan moral orang-orang Yehuda, Mikha dengan frustrasi dan kecewa berseru:

”Orang saleh sudah hilang dari negeri, dan tiada lagi orang jujur di antara manusia. Mereka semuanya mengincar darah, yang seorang mencoba menangkap yang lain dengan jaring. Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat disuap; pembesar memberi putusan sekehendaknya, dan hukum, mereka putar-balikkan!” (Mikha 7:2-3)

            Situasi Mikha hidup berada di zaman di mana moral merosot tajam. Negeri itu sudah rusak, yang kaya bertambah kaya dengan mempedayakan si miskin. Para hakim akan memenangkan perkara mereka yang dapat membayar paling tinggi, dan bahkan para nabi dan imam menempatkan uang di atas Allah. Rakyatnya mengabaikan perintah-perintah Allah dan ilah-ilah ada di mana-mana, tetapi mereka masih berpendapat bahwa Allah akan melindungi mereka. Sebagai dampak dari semangat materialisme ini terciptalah kondisi "homo momini lupus," manusia menjadi mangsa bagi sesamanya. Leviathan (nafsu serakah) manusia semakin buas. “Roh Judas Iskariot” yang pernah membarter Yesus, gurunya dengan 7 keping uang perak, bergentayangan menghinggapi setiap orang. Hubungan antara pribadi manusia menjadi rusak. Kasih tidak lagi memiliki tempat yang pantas.

 

Lalu Apa Penyebab Hilangnya Rasa Takut Seseorang Terhadap Kejahatan Korupsi?

Alkitab mencatat, ”Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (1Ti 6:10). Sebenarnya ayat ini sudah menjelaskan secara transparan  penyebab kejahatan seseorang, khususnya korupsi. Dengan modal ”cinta uang” maka apapun dilakukan tanpa ada rasa takut lagi terhadap hukum dan Tuhan. Bahkan orang seperti ini berani menyimpang dari imannya hanya demi uang.  Cinta memang memiliki kekuatan, tak terkecuali kekuatan untuk melakukan kejahatan, KORUPSI!

 

Merasa Cukup: Resep Anti Korupsi

Tuhan tidak pernah melarang anak-anaknya untuk memperoleh harta dan menjadi kaya di bumi, namun dalam memperolehnya harus dilandasi oleh cara yang wajar dan benar. Dengan demikian, ajaran Kristen tidak hanya berbicara tentang apa yang bisa diperoleh dalam kehidupan, melainkan juga secara tegas tentang bagaimana memperolehnya.

Korupsi adalah cara memperoleh harta yang tidak benar, karena dengan korupsi, seseorang telah memposisikan dirinya menjadi pencuri. Sama seperti pencuri, seorang koruptor mendapatkan uang (harta) dengan cara mengambilnya dari orang lain dengan cara yang tidak benar. Padahal, sudah jelas dalam uang yang telah diambilnya itu terkandung harapan hidup banyak orang. Dalam uang yang dikorupsi itu melekat nasib orang-orang miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang layak. Dalam uang yang diambil tersimpan harapan anak-anak yatim piatu yang menunggu santunan. Jadi, sesungguhnya korupsi telah merampas hak-hak yang seharusnya dinikmati oleh saudara-saudara kita yang berada dalam jurang kemiskinan.

Lalu bagaimana supaya kita terhindar dari jerat korupsi? Jawabnya sangat sederhana! Cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu! Jika Tuhan mengatakan “cukupkanlah dirimu,” maka itu artinya benar-benar cukup, tidak akan kekurangan. Tuhan janji akan pelihara kita (Matius 6:25-32). Walaupun kelihatannya tidak cukup, kalau kita hidup oleh iman dan mampu mengelola dengan bijak maka pasti akan cukup, sebab hal itu sudah dikatakan oleh-Nya, “cukupkanlah”, pasti cukup. Demikian juga dengan gaji kita (Lukas 3:14), pasti cukup!

 

 

 

__________________

abraham sitinjak

Purnomo's picture

Uang Judas Iskariot juga kena korupsi.

“Roh Judas Iskariot” yang pernah membarter Yesus, gurunya dengan 7 keping uang perak,

Ternyata uang kejahatan Judas pun kena korupsi. Hayo tebak, siapa yang mengorupnya?

Salam.