Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Damage 2 Control

PlainBread's picture

Kaki kananku melangkah agak ke samping, menghindari jika keberadaanku di sana diketahui. Dan pada saat aku melangkah, aku seperti menginjak sesuatu. Sesuatu yang terasa licin dan basah.

Aku membungkuk memungutnya. Karena bukan saja licin dan basah, tapi juga kenyal.

“Ewwww …!” Teriakku dalam hati.

 

Sepotong telinga!!

 

Rambut Telinga siapakah ini?

Yang pasti sepotong telinga ini adalah telinga manusia. Bukan terbuat dari plastik. Ada darahnya pula. Aku mulai mereka-reka, apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini.

 

Tidak ada cara lain, pikirku cepat, telinga ini harus diselamatkan. Bukan apa-apa, aku sendiri tidak tahu berapa lama bagian dari tubuh bisa disambung kembali. Tapi pikirku, kalau ini terjadi setelah panick button ditekan, berarti kurang dari sepuluh menit yang lalu, itu artinya masih ada kemungkinan besar telinga ini kembali direkatkan ke kepala si empunya.

 

Aku sempat berpikir untuk masuk ke laundry room yang tepat berada di sebelahku, di tengah-tengah bagian kanan lorong itu. Aku coba kunci yang biasa digunakan untuk semua laundry room di semua fasilitas. Ternyata ada yang cocok. Pintu terbuka pelan. Begitu terbuka aku hidupkan lampu yang saklarnya selalu ada di dinding sebelah kiri dalam pintu. Yang aku lihat hanya tumpukan bleach, laundry detergent, dan fire retardant.

Fire retardant? Untuk apa bertumpuk-tumpuk?

Aku tidak mengambil pusing. Aku hanya ingin mengambil wadah seperti mangkok kecil supaya bisa diisi air. Sepotong telinga ini harus direndam air. Ah, sudahlah, tidak mungkin ada mangkok atau tupperware di sini.

 

 

Pintu laundry room kututup lagi. Semua fasilitas memiliki pintu yang terkunci secara otomatis jika tertutup, apalagi fasilitas rumah seperti ini. Bahan kimia yang ada di dalam laundry room ini tidak bisa begitu saja mudah diakses oleh para pasien. Ada beberapa pasien yang tidak segan-segan meminum air sabun bahkan bleach jika lagi datang 'kumatnya'.

 

Harus ada plan B. 

 

Lima kamar terkunci dari luar. Itu berarti aku bisa mengambil asumsi bahwa lima pasien tersebut ada di kamar mereka. Sisanya ada lima lagi. Sedangkan dua pasien lain terlihat di kaca sebelumnya. Berarti tiga lagi ada di mana? Kemungkinan 50-50 mereka ada di kamar, atau ada di ruangan lain yang aku tidak tahu. Kenapa lima puluh-lima puluh? Ketidaktahuanku membuat kalkulasi kasar seperti itu. Sebenarnya kalau mau dihitung secara probabilitas, kemungkinannya akan menjadi kecil jika mereka ada di kamar mengingat situasi yang sedang terjadi sekarang ini.

Aku meraih radio yang ada di sakuku. Membuka semua saluran yang ada di situ. Tampak empat-lima lampu menyala. Berarti sedikitnya sudah ada 4-5 orang yang mendengarkan apa pun yang terdengar di saluran radioku. Aku masukkan lagi radio ke kantong bajuku.

Tidak ada pilihan lain.

 

Aku berjalan mendekati arah mereka. Ke arah dua pasien yang aku sebelumnya lihat melalui kaca di lorong.

 

“Hei!” Pasien pertama terkejut melihatku berjalan ke arahnya.

 

Pelan dan rileks aku terus berjalan.

 

“Q!” Kata pegawai yang lehernya masih ditahan oleh lengan pasien yang kedua. Dia mengenaliku. Wajahnya tampak familiar.

 

“Kamu ngapain di sini?” Tanya pasien kedua. Kelihatan sekali wajahnya tampak tegang.

 

“Aku mencari tupperware.” Jawabku.

 

Lengan kanan si pasien kedua berlumuran darah. Aku bisa melihat darah yang menetes di sisi sebelah kanan pegawai itu. Menetes tepat di atas lengan si pasien kedua.

 

Aku menemukan mangkok plastik kecil di atas kitchen counter. Kelihatannya bersih. Aku segera mencucinya dengan air dan sabun. Sambil aku sesekali melirik kedua pasien yang tampak kebingungan dengan keberadaanku di sana.

 

“Biarkan kami lari dari sini, atau aku akan mencekiknya sampai mati,” kata si pasien kedua.

 

Sebenarnya mencekik bukan kata yang tepat. Tapi saat itu pasti dia tidak peduli kata apalagi yang harus dipakai. Mencekik ayam saja butuh keberanian dan tenaga yang cukup besar. Apalagi manusia. Engkau harus punya waktu minimal 15 menit untuk mencekiknya sampai mati, itu pun kalau kau tahu caranya. Demikian pikirku. Mungkin dia kebanyakan menonton film action.

 

Telinga si pegawai sudah terendam air.

 

Pasien pertama tampak masih kebingungan.

 

Hey buddy, where's all your peers?” Tanyaku kepadanya. Seakan tidak peduli atas apa yang sedang terjadi di situ.

 

They're all in bed, it's just me and him now.” Jawabnya sambil menunjuk si pasien kedua. Jarinya kelihatan agak bergetar.

 

“Iya, silakan lari, tidak ada yang melarang.” Jawabku singkat sambil menatap ke wajah si pasien kedua.

 

Kedua pasien saling berpandangan. Seperti tidak percaya apa yang baru aku katakan.

 

“Tapi sebelumnya, tolong bukakan pintu. Ada yang mau masuk.”

 

Pasien pertama menurut. Dia memutar kunci di gagang pintu.

 

“Biar aku yang buka.”

 

Pasien pertama tetap menurut.

 

Aku membukakan pintu untuk Q2. Sambil berhadapan muka, aku sengaja mengeja angka-angka kepadanya dengan bibirku tanpa mengucapkan satu suara pun. Nine. One. One. Two. Sengaja aku membelakangi pasien kedua. Sementara pasien pertama yang melihatku komat-kamit tidak bereaksi sama sekali.

Itu adalah kode di mana nomor emergency untuk menghubungi polisi, medics, dan fire department harus ditekan di radio. Sembilan satu satu. Dan angka dua yang terakhir adalah kode di mana hubungan telepon yang tersambung harus dibiarkan begitu saja tanpa ada pembicaraan dari pihak penelepon. Biarkan mereka yang melacak lokasi ini dan mendengar pembicaraan di sini sehingga tahu situasi apa yang sedang terjadi, karena saluran radio dibiarkan terbuka.

 

Q2 segera merogoh sakunya. Dia tahu apa yang dia akan lakukan. Dan aku harus bisa mengalihkan perhatian kedua pasien ini.

 

What's your name?” Tanyaku kepada pasien pertama.

 

“Dan.”

 

Thank you, Dan”

 

Jujur aku berterima kasih kepadanya. Dialah kunci semua kasus di sini. Namun biarpun begitu posisiku tetaplah terus berhadapan dengannya, atau minimal ada di sampingnya. Aku tidak boleh membelakanginya. Aku tidak tahu apa-apa tentang Dan, pasien pertama ini.

 

“Dan kamu?” Tanyaku kepada pasien kedua. Menanyakan namanya.

 

“Apa urusanmu? Kalian semua adalah kaki tangan Iblis!” Jawabnya dengan kasar.

 

Praise the Lord, sahutku dalam hati. Ada kunci untuk melepaskan pegawai wanita ini.

 

“Jangan salah. Aku juga sama seperti kamu, pengikut Tuhan yang setia.” Kataku dengan tenang.

 

“Bohong! Pengikut Tuhan tidak pernah bekerja untuk pemerintahan Iblis.”

 

Aku tersenyum. Percuma berargumen dengannya.

 

Aku mendekatinya. Dan berbisik kepadanya. Tidak peduli kalau sekarang dia sedang menahan pegawai yang baru saja kehilangan telinganya.

 

Buddy, aku ini mata-mata buat Tuhan. Aku sengaja bekerja untuk pemerintah, supaya aku bisa memperkenalkan siapa Tuhan kita.”

 

Dia terdiam. Tidak ada respons. Tapi matanya tidak liar lagi. Bagus. Setidaknya sekarang engkau akan berpikir aku ada di pihakmu atau di pihak lawan.

 

“Sekarang, aku ingin memperlihatkan mujizat bahwa dalam Tuhan aku bisa menyambungkan telinga ini ke kepalanya.”

 

You're fucking kidding me!”dia berseru secara spontan.

 

No swearing before the Lord, buddy.” Aku menjawabnya sambil tersenyum.

 

Dengan perlahan aku raih lengan pegawai tersebut. Pasien pertama secara spontan melepaskan lengannya dari leher si pegawai.

 

“Q, aku mau pingsan.” Katanya lirih.

“Aku tahu.”
 

"Telingaku digigit." Dia menjawab pertanyaan terbesarku dalam lima menit terakhir.

Aku menganggukkan kepala.

"Jangan kuatir. Kalau kamu pingsan, kami semua akan mengurusmu. You'll be fine.

Aku memberikan assurance kepadanya. Wajahnya sudah pucat sekali. Bukan karena kulitnya yang putih. Tapi karena dia pasti kehilangan banyak darah.

Dia hanya tersenyum, sambil terus memegang lenganku.

Aku dudukkan dia di salah satu kursi yang ada di situ.

 

Mungkin dan semoga saja terjadi setelah dia menekan panic button. Berarti sekitar 5-7 menit dari kejadian. Wajar dia mau pingsan. Dia kehilangan banyak darah.

 

Aku tuntun dia duduk di dekat meja makan. Q2 berada di belakang pasien pertama. Situasi sudah berubah drastis. Tidak ada lagi ketegangan. Bagus, ucapku dalam hati.

 

“Dan, tolong ambil mangkok plastik itu.” Pintaku kepada pasien pertama.

 

Dengan pasti dia bergegas melangkah ke arah dapur, mengambil satu-satunya mangkok kecil yang ada di situ. Mangkok yang berisi air. Dan telinga. Ketika dia melangkah melewati pintu depan, tampak dokter dan perawat melangkah masuk melalui pintu itu. Pintu memang sengaja dibiarkan terbuka.

Mereka tampaknya tahu apa yang terjadi dari saluran radio yang aku buka. Aku masih berpikir, apakah polisi akan datang? Mereka pasti datang kalau Q2 membiarkan saluran radionya terbuka setelah menghubungi sembilan satu satu.

 

“Berikan mangkok itu ke mereka.” Perintahku lagi kepada Dan.

 

Lagi-lagi dia menurut.

 

“Tunggu! Tunggu! Kau bilang engkau ingin mengadakan mujizat. Mana?”

 

Pasien kedua cukup pintar. Dia rupanya masih menunggu apa yang aku baru janjikan.

 

Melihat dokter dan perawat ada di situ, mungkin otaknya terus berputar keras.

 

“Engkau berbohong!" Teriaknya sambil berjalan ke arahku dengan cepat.

Aku diam saja. Aku tahu Q2 ada di belakangnya.

Begitu dia melompat ke arahku, yang aku lakukan hanyalah melangkah mundur. Dia jatuh terjerembab karena diterjang dari belakang oleh Q2.

 

“Aku tidak berbohong” Sahutku.

 

“Telinganya akan tersambung lagi. Itulah mujizat yang akan terjadi.”

 

“Kau berbohong! Kau bilang akan mengadakan mujizat! Kau bilang engkau akan membiarkan kami pergi! Semuanya itu tidak akan pernah terjadi!” Pasien kedua berteriak-teriak, mengulangi kata-katanya.

Kini kedua lengannya terkunci oleh kedua lengan Q2. Yang bisa dilakukannya hanyalah terus berteriak dan bersumpah serapah. Dengan susah payah dia berhasil didudukkan di salah satu kursi di sekitar meja makan yang ada di situ.

 

Dan, pasien pertama, sepertinya agak lambat menangkap semua kejadian yang berlangsung cepat.

 

“Apakah engkau berbohong?” Dan bertanya kepadaku.

Aku menggelengkan kepala.

“Dan, kenapa engkau tidak duduk saja. Lebih baik untukmu duduk daripada berdiri. Dari tadi engkau sudah berdiri.”\

Dia mengambil kursi yang ada di sebelah pasien kedua.

 

“Dan, jangan dengarkan bualannya! Dia berbohong! Dia berbohong ke kita!”

Dan menggeser kursinya, agak jauh dari pasien pertama.

Dengan ragu dia perlahan duduk di kursi tersebut.

 

“Mana yang aku harus percayai, engkau atau dia?” Dia bertanya ke arah pasien kedua dengan mulut terbuka. Kedua telapak tangannya menengadah ke atas, perlambang bahwa dia tidak tahu sama sekali apa yang harus dia perbuat.

 

“Percaya aku, Dan! Percaya aku, Dan!” Dia berteriak-teriak meyakinkan Dan.

Aku mengambil kursi yang agak jauh, dan menariknya ke sebelah Dan.

 

“Silakan engkau mau percaya yang mana, Dan,” aku secara tidak langsung menyanggah pasien kedua.

“Percaya aku, Dan!” Teriaknya berulang-ulang.

 

“Kau bisa percaya aku, Dan.” Jawabku tenang.

Aku tahu ucapan berulang-ulang dari kedua pihak yang berlawanan akan menyebabkan kebingungan di situasi seperti ini.

 

Dan mulai bersuara. Bergetar.

“Aku tidak tahu harus percaya yang mana!” Teriaknya.

Dia menangis. Sambil menutup mukanya.

 

Sudah hampir dua menit sepertinya. Tidak ada sirene mobil polisi atau mobil pemadam kebakaran yang terdengar.

 

Dan masih bergetar. Bukan lagi suaranya, namun juga bahunya. Bahkan seluruh tubuhnya.

 

Beberapa orang berpakaian seragam pemadam kebakaran ternyata sudah ada di depan pintu.

 

“Apa situasinya?” Tanya salah seorangg dari mereka, sepertinya kapten pemadam kebakaran.

 

Aku memberikan kode emergency kepadanya.

Dia mengangguk.

 

“Satu korban, dua tersangka pelaku.” Aku menjawab singkat. Walaupun tidak ada yang bertanya.

 

Beberapa tampak membawa kereta untuk mengangkut pegawai tersebut. Dia sudah tidak lagi duduk, tapi sudah tertidur di lantai ditemani oleh dokter dan perawat yang sebelumnya datang. Tampaknya dia sudah pingsan.

 

Usianya masih agak muda, sepertinya. Dan cantik. Aneh, dari tadi aku melihatnya. Tapi baru kali ini aku menyadarinya kalau dia seorang gadis muda yang cantik.

 

 

Tiga orang berpakaian seragam polisi tiba-tiba juga muncul di depan pintu depan.

 

“Dua pelaku, mereka pasien di rumah ini.” Jawabku singkat. Lagi.

Salah satu dari mereka menggelengkan kepala.

Aku mengangkat alis secara spontan. Ada apa?

 

“Kami datang ke sini bukan karena apa yang baru saja terjadi.” Jelas seorang polisi yang lain.

 

“Jadi?” Tanya Q2. Lengannya tetap mengunci kedua lengan pasien kedua.

 

“Kalian harus dievakuasi. Kebakaran di atas bukit sudah hampir mencapai rumah ini. Hanya rumah ini yang belum mengungsi.”

Desahan nafas terdengar jelas. Itu nafasku.

 

Malam ini benar akan menjadi malam yang panjang.

paulwekwek's picture

dari judul aja gw udah bingung..

heheh awal baca tadi gw pikir PB salah nulis judul kok angka 2 nya di tengah. Namun daripada bingung mungkin karena emang yang pake seragam itu memang lagi ngontrol Damage 2(Kebakaran)..hahaha

__________________

Bless all of Us..

teograce's picture

yang mana

ini kisah nyata pb?

ato kisah nyata yang dimodif?

ato murni khayalan? hehehe... 

__________________

-Faith is trusting God, though you see impossibility-

ronggowarsito's picture

tupperware

Setelah baca tulisan sekuel ini saya baru paham, kenapa isteri saya loyal sama produk tupperware sampai dia bela-belain jadi member. Rupanya itu gunanya, buat jaga-jaga.

__________________

salam hangat,
rong2

PlainBread's picture

Knock me out, Knock me down

@pww: Biasa kan skrip holywood, jadi kalo bagian keduanya dibikin gaya, kaya 2 fast and 2 furious :) yang bagian satu pake judul ori, yang bagian 2 berubah jadi damage 2 control hehehe.

@teo: Masa mesti ditanya lagi sih? Selama ini aku pikir kita punya hubungan dekat (hahaha, apa coba?)

@tupperware: Betul ronggo, siap2 saja. Tupperware itu multi fungsi, dan darah itu merah, jenderal.

 

dReamZ's picture

wew seru plain ^^

masi ada sambungannya jg ga? *penasaran*

PlainBread's picture

@Dreamz sebenarnya ada

sebenarnya ada sambungannya, tapi keadaannya begitu chaos karena ngelibatin banyak orang yang terlibat dalam pengungsian. Mau nyambungin juga yg ada jadi berantakan. Akhirnya berakhir dengan ini, evakuasi ke kota terdekat (ngerusak frame website :D):