Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Melukis SBY pada Wajah Obama

PlainBread's picture
Sharon Duran kembali sms saya, katanya alat pemantau tsunami rusak sebenarnya bukan salah Indonesia. Tapi salah mereka. Sementara smsnya yang pertama juga belum saya jawab.
 
Sementara kawan saya yang juga orang Indonesia bercerita kalau 2 hari sebelum kejadian Merapi, dia bermimpi buruk. Di mimpinya dia melihat bola api jatuh dari langit, sementara dia berteriak keras seakan tidak mampu mengelak dari api tersebut. Katanya dia sampai mendadak terbangun dan menyadari tubuhnya berkeringat akibat mimpi tersebut.
 
Saya tanya apakah itu pertanda mengenai bencana di Indonesia? Dia hanya terdiam. Saya tahu dia mengalami dilema. Sejauh yang saya amati, dia orang paling skeptis yang pernah saya kenal. Bahkan walaupun mengaku kristen, dia bilang dia tidak percaya dengan mujizat dan nubuatan. Dia sendiri mengaku mungkin dia akan berakhir sebagai atheis.
 
"Bagaimana?" Saya bertanya.
 
Dia hanya diam.
 
Seperti diam yang saya berikan kepada Duran.
 
 
Dia malah mengganti topik pembicaraan. Dia bilang ibunya sedang berada di kawasan Mentawai, beberapa jam setelah beliau berbicara di telepon dengan ketua PMI.  Dia bilang ketidakadilan sudah merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Korban banjir di Papua seakan tertutup oleh berita Gunung Merapi. Bukan saja perekonomian dan populasi terpusat di pulau Jawa, namun liputan media pun juga turut tidak adil karena sudah memberikan porsi yang sangat kurang mengenai liputan bencana yang ada di tempat-tempat lain.
 
Saya hanya tersenyum mendengarnya. Pandai juga dia membelokkan isi pembicaraan. Belum lagi sewaktu dia bertanya bagaimana dengan ibu saya. Apakah juga ikut serta sebagaimana dahulu sewaktu bencana Tsunami di Aceh.
 
Saya jawab dengan setengah meledek,"Orang sudah pensiun jangan dipaksa untuk kerja terus menerus." Gantian dia yang tersenyum. Dia tahu ibu saya tidak sedang berada di sana.
 
 
Minggu lalu saya pikir -dan mungkin setengah berharap- kalau prediksi kemenangan partai Republik di Amerika tidaklah sebesar yang dibicarakan di media elektronik dan cetak. Saya sudah mencapai titik jenuh mendengarkan para self-claim pengamat dan analis yang terlalu banyak berbicara dan menulis.  Tapi pemikiran saya ternyata salah. Mereka mampu meraih sedikitnya 60 puluh kursi di House of Representatives. Partai Demokrat sekarang menjadi partai minoritas, hanya dalam waktu dua tahun.
 
Walaupun begitu, saya termasuk orang yang cukup rajin untuk membaca hasil politik dan perekonomian secara berkala. Tentu ada perubahan yang cukup bagus sejak Presiden Dubya (George W Bush) lengser dari kursinya. Namun entah mengapa, rakyat sepertinya tidak sabar dalam melihat pemerintah bekerja menanggulangi krisis yang sebenarnya bukan saja terjadi dari sejak tahun 2008, tapi sejak dari tahun 2003.
 
Teman saya  yang saya ceritakan di atas malah berpendapat lain. Kalau ada yang patut disalahkan mengenai kekalahan partai Demokrat dalam midterm election, yaitu partai Demokrat sendiri. Mereka tidak mampu bersaing dengan para pengamat dan analis yang setiap menit selalu berbicara dan menulis di media tempat mereka bernaung. Gaung teori dan asumsi mereka jauh lebih keras daripada promosi keberhasil pemerintahan Obama dalam dua tahun terakhir.
 
 
Mungkin ada benarnya. Kalau pasar bebas merupakan agama dari kapitalisme, televisi dan koran merupakan tempat beribadah dari sang politik. Bukankah dogmanya juga begitu; keep repeating the same thing over and over again, and eventually people will believe it. Itulah enaknya agama, pengajaran bukanlah pengajaran melainkan penyebaran doktrin. Begitu juga politik.
 
Jadi jangan salahkan saya jika saya tidak sering membaca Kompas atau Detik. Karena saya lihat isi liputan mereka  semakin banyak yang jauh dari standar jurnalisme yang baik dan benar.  Bahkan dia pernah berkata bahwa Kompas atau Detik sebenarnya bisa dibilang sebagai tabloid.
 
 
"Kasihan Obama, rambut putihnya semakin banyak dan badannya semakin kurus."
 
Itulah sms yang dikirimkan salah satu teman saya yang lain ketika dia melihat Obama berpiadato di televisi beberapa minggu yang lalu. Tentu. Sebagai orang kedua paling berkuasa di planet Bumi, wajar jika kondisi fisiknya mengalami penurunan drastis. Jadi kalau ada pemimpin nasional yang kondisi fisiknya tidak mengalami perubahan, justru harus dipertanyakan. Bukan. Bukan karena pemimpin tersebut tidak bekerja keras, tapi takutnya ada penyakit kronis yang diam-diam sudah bercokol di dalam tubuhnya, sehingga tidak heran jika beberapa tahun setelah usai menjabat, banyak pemimpin yang meninggal dunia.
 
 
Betapa garangnya media di Amerika dalam menyerang Presiden Obama sebenarnya bisa dimengerti. Hal tersebut juga terjadi kepada mantan presiden Bush. Media bukan lagi berpijak pada asas jurnalisme, namun pada sensasionalisme. Apa yang bisa memicu emosi seseorang, layak untuk diliput apalagi jika menyangkut seorang pemimpin. Jadi kalau beliau dikatakan sebagai komunis, atheis, fasis, marxis, muslim, walaupun kesemuanya tidak benar, namun hal sama yang terus menerus diteriakkan juga akhirnya bisa dipercaya sebagian orang. Seperti topik hangat yang sekarang sedang dibicarakan, bahwa kunjungan Presiden Obama ke India, Indonesia, dan beberapa negara lain menghabiskan uang rakyat sebesar lebih dari $200 juta per hari. Saya hanya tersenyum mendengarnya. Iya, mendengar, karena saya terkadang mengganti channel TV tapi tidak menyimak wajah orang-orang yang ada di dalamnya, hanya sekilas mendengar.
 
 
Media bukan lagi pihak yang dizolimi secara umum. Saya bisa mengerti bahwa selama sepuluh tahun terakhir pasca reformasi, tentu media masih bisa menikmati kebebasan pers di sela-sela adanya wartawan atau penulis berita yang menghadapi tekanan dari pihak yang berkuasa. Bahkan ada juga yang sampai hari ini meninggal dunia karena hal tersebut.
 
Namun itu tidak membuat bahwa media -sebagaimana pemerintah- juga bisa berlaku sewenang-wenang dalam memberikan informasi.  Jika informasi yang diberikan adalah informasi yang memuaskan telinga masyarakat, itu namanya bukan media melainkan agama. Tapi tentu tidak bisa dihindari juga, karena media merupakan korporasi. Dan korporasi memiliki kepentingan-kepentingan tertentu.
 
Seperti Fox News yang banyak orang tahu memiliki romantisme yang intim dengan partai Republik, dan induk mereka yaitu News Corp yang beberapa waktu lalu memberikan donasi $1 juta kepada Asosiasi Gubernur Partai Republik. Tidak malu-malu. Terang-terangan di lakukan di siang hari bolong. Dan pada saat yang sama, lewat media yang sama mereka terus mengkampanyekan 'berita' (baca: propaganda) betapa buruknya Presiden Obama. Mulai dari keberpihakan beliau kepada teroris sampai betapa arogannya beliau menggunakan uang rakyat untuk hal-hal yang tidak perlu.
 
 
 Sama-sama berasal dari partai Demokrat. Sama-sama menjadi target empuk bagi media dalam meliput berita yang sering kali memprovokasi pembaca dan pemirsa untuk marah. Namun biarpun begitu, agenda mereka tetaplah berbeda.Wajar karena datang dari dua negara berbeda. Media pendukung dan media lawan pun juga berbeda. Ini yang membuat saya tertawa ketika dahulu saya membaca berita di salah satu media nasional bahwa kampanye SBY dibantu oleh FOX group  dari Amerika. Tentu suatu hal yang tidak masuk akal. Kecuali jika partai SBY jelas merupakan perpanjangan dari partai Republik (bukan Demokrat). Tapi biar pun begitu tetap saja ada banyak orang yang percaya.  Istilah kerennya; demonizing. Lukiskan lawan anda sebagai pihak yang buruk, pihak yang jahat, niscaya orang akan percaya kepada anda. The oldest trick in the book.
 
 
 
Tempo hari salah satu pemimpin agama liberal, Ulil Abshar-Abdalla, berbicara lewat akun twitternya, bahwa condongnya media ke arah atau ke partai-partai politik tertentu adalah suatu hal yang menjadi realita (dan orang bisa menangkapnya sebagai suatu kewajaran). Mungkin bisa dimaklumi karena beliau adalah lulusan dari Amerika, di mana korporasi media berskala nasional tanpa malu-malu punya bias besar terhadap pihak-pihak tertentu. Ada yang condong ke kiri, ada yang condong ke kanan. Namun jika terjadi seperti itu, apakah artinya jurnalisme itu sendiri? Di manakah peran dan fungsi RRI, TVRI, atau bahkan NPR atau Aljazeera? Tentu saja saya tidak mendapatkan jawabannya, karena saya tidak bertanya.
 
Persepsi pun bisa dibentuk lewat siapa yang memegang media. Kalau media massanya pro pemerintah, kedatangan SBY ke daerah bencana bisa diberitakan sebagai hal yang patut diacungi jempol. Sementara jika media massanya anti SBY, kedatangan SBY ke daerah bencana bisa dilukiskan sebagai pemimpin yang lambat dalam menangani krisis. Gelas setengah penuh atau setengah kosong, bisa diceritakan dengan lihai oleh pihak yang berperan dalam bertutur. Dan pihak tersebut adalah media.
 
 
 
 
 
 
Tulisan tidak penting ini adalah intisari percakapan saya dan teman saya, di mana kami berdua merisaukan gejala-gejala yang ada dalam dunia media di Indonesia, yang mengarah persis seperti dunia media korporasi di Amerika. Isinya bukan lagi berita dan jurnalistik, namun opini dan sensasionalisme. Siapa pun yang menjadi presiden di kedua negara ini, pastilah sudah menghitung 'biaya' yang harus dihadapi dalam 'berperang'  atau merangkul media.
Miyabi's picture

@PB: Media is the message.

Dulu uang adalah alat tukar untuk jual beli, sekarang uang itu sendiri yang ditimbun dan diperjualbelikan.
 
Dulu media adalah wadah pembawa pesan. Namun sekarang media itu sendiri yang jadi pesannya dan mem-pesan-kan dirinya sendiri.
 
Dulu media adalah alat propaganda penguasa. Sekarang media mempropagandakan dirinya sendiri dan berkuasa.
 
Saya kira ini memang paradoks yang terus-menerus harus dihadapi manusia. Yaitu apapun yang dibuat manusia untuk jadi alat bantunya, dikemudian hari justru menjadi tuan bagi manusia itu.
__________________

".... ...."

PlainBread's picture

Antithesis vs Thesis

Dulu jaman Orba katanya media adalah antithesis. Sekarang sudah berganti, menjadi thesis. Media menjadi 4th branch of power, seperti layaknya di negara2 berdemokrasi dan sekuler. Antithesis menjadi thesis, akhirnya perlu anti thesis yang baru.

Saya gak tau apakah Indonesia ada grup2 media watch, grup2 yang mengkoreksi pemberitaan media. Kelemahan pemerintah di mana2 (bukan saja di Indo) adalah lambat tanggap. Bahkan pemerintahan Obama dirasakan seperti itu. Berbeda jauh ketika beliau masih di luar pemerintahan, kampanyenya dinilai banyak orang sebagai kampanye capres paling efektif dan melibatkan paling banyak orang (grassroots) dalam sejarah politik dunia.

Media watch groups perlu dibesarkan, untuk mengawal asas jurnalisme, bahkan kalo bisa suaranya juga tidak kalah keras dengan media itu sendiri. Kalo tidak begitu, maka korporasi bisa mengatur jalannya demokrasi. Seperti yang terjadi di Amerika. George Soros vs Rupert Murdoch.

KEN's picture

Anda bilang tidak penting?

Blog ini harus dikampanyekan!
PlainBread's picture

Jangan dikarbit

Katanya buah yang matang pohon lebih enak daripada buah yang matang dikarbit.
 
Saya yakin ada banyak orang yang sudah memikirkan hal yang saya tulis di blog di atas. Biarkan rakyat menikmati euforia kebebasan pers, nanti juga jenuh dan akhirnya mempertanyakan keabsahan media itu sendiri. Walaupun saya tau tetap akan ada orang2 yang menerima informasi dari media seperti dari kitab suci, ditelan mentah2 tanpa dipertanyakan. Akhirnya seperti perahu yang diombang ambingkan gelombang.