Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pada Sebuah Titik

clara_anita's picture

Pada Sebuah Titik

Suatu Sabtu siang, saya mendapat kunjungan tak terduga dari seorang sahabat kental di kantor saya. Saya cukup terkejut. Pasalnya, kami sudah kehilangan kontak selama setahun terakhir.

Arita, sahabat saya itu, memiliki beberapa kesamaan pandangan dengan saya. Kami sama-sama pengagum aliran feminisme, dan juga sama-sama menentang penonjolan aspek-aspek penampilan fisik menurut standard cantik komersil, layaknya boneka Barbie. Kami pun sama-sama menikmati kesendirian dan status single kami.

Kami berdua memang layaknya sepasang saudara kembar. Selain kesamaan pandangan, kami juga memiliki nama yang hanya berselisih satu huruf, ber-SMA dan bermahasiswa di tempat yang sama, terlibat dalam organisasi kemahasiswaan yang relatif sama (dalam hal ini saya lebih gila organisasi dibanding dia), berpenampilan sama cuek, memilih profesi yang sama setelah selesai studi, namun tak pernah berusaha menjadi sama satu dengan lain.

Ternyata Kamis siang itu adalah sebuah titik dimana persamaan-persamaan itu sampai di sebuah persimpangan. Kami ternyata tak lagi meniti jalan yang benar-benar sama.

Arita dengan mantapnya menyerahkan sebuah amplop berisi undangan warna biru, yang adalah warna kesukaannya, sembari berujar bangga bahwa ia akan menikah pekan depan. Saya yakin pada suatu titik memang kita pasti akan meniti jalan yang berbeda. Tapi saya sungguh tak menduga ternyata titik tersebut adalah pernikahannya. Pasalnya, sebagai sesama jomblo bahagia, kami pernah saling curhat bahwa kami tak ingin cepat-cepat menikah sebelum mimpi-mimpi kami terwujud. Sebagai tambahan, secara empiris, Arita berada di urutan terakhir nominasi pengantin yang akan segera menikah dalam daftar buatan saya.

Tuhan memang penuh kejutan,
... dan sekali lagi perkiraan saya dipatahkan...

Sepeninggal Arita, saya terhanyut dalam sebuah permenungan . . .

Mulanya, saya berangkat dari kata-kata Arita, "Nit, kamu pasti nggak percaya kalau dia lamar aku pad first date, and I said yes!"

Semudah itukah Rita jatuh cinta? Bagi saya itu tak masuk akal karena saya benar-benar paham bahwa kami berdua sama-sama sulit jatuh cinta.

Lalu saya tanyakan padanya, apa ia asudah siap untuk menikah. Katanya ia mencintai calon suaminya, dan ia menambahkan bahwa ia sangat yakin bahwa ia akan sangat menikmati peran barunya sebagai istri.

Sejenak saya kembali membayangkan wajah Rita siang itu. Ia memang telah banyak berubah, meski secara penampilan ia masih relatif tetap. Sekarang senyumnya lebih lembut. Suaranya lebih mendayu, padahal dulunya ia amat ceplas-ceplos. Emosinya jauh lebih terkendali; tak naik turun bak roller coster lagi.

Cahaya matanya pun, meski masih tetap berkilau, memancarkan cahaya yang berbeda. Kalau dulu cahaya itu menyorotkan kerinduan akan petualangan pencarian jati diri, kini cahaya itu memancarkan kemantapan untuk memulai sebuah perjalanan baru.

Sedasyat itukah daya pengubah cinta? Ataukah sebesar itukah kesediaan Arita untuk berubah demi sebuah cinta?

Yang jelas saya bahagia, Rita sudah menemukan seseorang yang mencintai dan menjaganya. Seseorang yang mampu menjelma menjadi mimpinya. Saya hanya mampu berkata, nikmatilah petualangan barumu sobat!

Dan saya kembali pada diri saya. . .
Saat ini saya masih bergelut mengejar mimpi.
Berlari terus, meski kadang saya tak tahu harus menuju ke arah mana.
Meski saya lebih menikmati menggeluti perjuangan meraih mimpi itu, terkadang pun iseng-iseng saya bertanya-tanya, apakah Tuhan sudah menyediakan seseorang untuk berbagi kasih? Apakah pada suatu titik saya tak lagi menempuh jalan ini sendirian?

Pertanyaan itu sampai sekarang belum IA jawab. Mungkin karena saya hanya iseng menanyakannya, dan tak pernah berusaha mencari siapa sosok itu.

Saat saya menulis jurnal ini, undangan biru itu terbentang di hadapan saya. Arita dan calon suaminya mengutip sepenggal doa Muhammad (kami memang berbeda keyakinan),
... semoga Allah menghimpun yang terserak . . .

Saya tersenyum kecil,

Siapa sangka Arita akan menemukan pasangan hidupnya meskipun sebelumnya mereka terpisah dan tak saling mengenal?

Mungkin hal ini juga akan berlaku sama buat saya,

TUHAN menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya . . .
dan pada suatu titik mungkin saya akan ditemani dan menemani seseorang untuk menempuhi jalan hidup.

Jadi malam ini saya akan bernyanyi . . .

somewhere out there
beneath the great blue sky
someone's thinking of me
and loving me tonight

somewhere out there
if Lord can see us through
Then we'll be together
in a place somewhere out there

GBU

dennis santoso a.k.a nis's picture

;

yakin nih titik? bukan koma?

Smile