Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

PENGUSAHA TOP FIVE KAMPUNGKU

anakpatirsa's picture

Top Ten orang terkaya di dunia selalu muncul tiap tahun di majalah Forbes. Dari nama seperti Bill Gates, Warren Buffett, Lawrence Ellison, Lakshmi Mittal, Mukesh Ambani, hanya Bill Gates yang kukenal. Itupun hanya ngaku-ngaku. Bill Gates sendiri tak mengenalku, sehingga kalau meloncat-loncat di depan hidungnya, aku hanya mendapat lambaian tangan pengusiran.

Aku bukan siapa-siapa. Kalau kubuat sendiri daftar orang terkaya negeri ini, kau pasti tertawa. Kalau hasil risetku, juga kau masih tertawa. Karena aku bukan siapa-siapa. Orang menyukai kredibilitas seperti menyukai top ten atau top five. Jadi jangan kau bawa nama pribadi untuk urusan top-top-an, biarlah koran atau surat kabar bergengsi yang melakukannya.

Tetapi bila kupilih lima orang kampung sebagai orang terkaya kampungku, apakah kau boleh menertawainya? Tidak! Kau tidak mengenal mereka, tetapi aku bermain atau bertengkar dengan anak-anak mereka. Kau mungkin mendengar tentang Mukesh Ambani, tetapi aku lebih mengenal Haji Salawar, Haji Ibram, Haji Pawati, Haji Oyong, Panatua Tiwon dan Dero.

Jadi biarlah aku bercerita tentang top five orang terkaya kampungku.

***

Oyong, top five pertama, tokonya di ujung hilir pasar. Ia menumpuk barang di musim hujan, lalu menjualnya tiga kali lipat di musim kemarau. Cukup pintar dengan tidak menjual barang yang cepat membusuk. Ia hanya menjual barang yang bukan saja tahan sampai musim kemarau, tetapi juga sangat dibutuhkan ketika sungai mulai dangkal. Seperti gula, paku, minyak goreng, ataupun baling-baling perahu getek.

Tidak ada yang berani membantah kalau hanya seekor bebek yang mampu menyaingi pelitnya Oyong. Bila Paman Gober pintar mengakali Donald, maka Oyong selalu meminta rokok dari anak buahnya. Begitu melihat sebungkus rokok menyembul di kantong mereka, ia langsung mendekat dengan tangan terjulur. Padahal semua orang tahu, ia mempunyai berbal-bal rokok yang akan ia jual di musim kemarau.

Sebelumnya, ia hanya mendapat panggilan Oyong, tanpa embel-embel. Suatu hari, aku ikut orang sekampung berdiri di pinggir sungai. Menunggu haji katanya. Baru jam dua siang, tetapi ratusan orang berdiri memandang ke tengah sungai. Seorang pemuda berjalan hilir mudik dengan ‘orari’ menempel di mulut. Ia berbicara keras-keras dengan rombongan haji yang sedang dalam perjalanan. Di antara kata 'ganti' dan 'ganti' itu, kami bisa menyimpulkan baru sorenya haji datang. Tetapi tidak ada yang beranjak pulang. Jam setengah lima, empat speedboat berkecepatan tinggi melewati kami, berbalik di ujung hulu kampung, lalu melewati kami dan berbalik lagi. Baru setelah beberapa putaran, rombongan hajipun turun di dermaga pasar.

Sejak hari itu, tidak pernah kulihat Haji Oyong keluar tanpa baju longgar berenda dan tutup kepala putihnya.

***

Haji Ibram, top five kedua. Urutan top-top-an ini bukan berdasarkan nilai kekayaan mereka. Aku menentukannya berdasarkan urutan toko mereka dari rumahku.

Jangan kau pandang orang dari bentuk tubuhnya. Haji Ibram bertubuh sangat kecil, tetapi putrinya sangat cantik. Sayang hanya lulus SMP, Haji Ibram lebih suka putri cantiknya menjadi pajangan toko daripada bintang di sekolah. Penyadap karet atau penyedot emas suka memilih paku atau baling-baling getek sambil melirik sebuah kecantikan alami. Bahkan menurut cerita, banyak tukang getek dari kampung lain yang sengaja singgah untuk membeli baling-baling getek, padahal masih punya tiga cadangan.

Ada sebuah lelucon pahit. Sering terjadi kebakaran pasar; beberapa bulan setelah itu, toko Haji Ibram makin besar. Ia selalu membeli tanah samping tokonya karena selalu saja ada yang menjual reruntuhan toko. Menurut cerita, saat kebakaran '94, Haji Ibram mendekati Haji Jali yang terpaku memandangi kobaran api di tokonya.

Ia berbisik, "Tanah ikam jual buat unda ja. Unda kalau mau belinya pasti mahal."

***

Haji Salawar, top five ketiga. Tidak banyak yang tahu nama aslinya. Suka duduk bersarung dengan kaki terkangkang di teras tokonya. Siapapun yang melirik sarung itu tahu, tidak ada penutup apa-apa di baliknya. Jadi bisa kau tebak sendiri arti nama Haji Salawar. Kami belum tahu istilah ekshibisionis--kelainan seksual berupa kecenderungan memamerkan sesuatu yang tidak boleh dipamerkan--hanya mengira Haji Salawar lupa memakai salawar-nya. Nama lainnya, Haji kunci. Karena ia begitu takut kemalingan sehingga memasang dua belas gembok raksasa di pintu tokonya.

Semua orang tahu Haji Salawar atau Haji Kunci, tetapi orangnya sendiri tidak pernah tahu nama ini. Orang hanya memanggilnya Haji Sanaman yang berarti besi. Cocok karena tokonya hanya menjual barang-barang besi, atau istilahnya toko besi.

Beberapa bulan sekali, ia pergi ke kota untuk membeli barang-barang tokonya. Selalu kembali dengan membawa seorang wanita, beberapa masih begitu muda. Ia ke kota bukan hanya mengambil barang, tetapi sekaligus mengembalikan istri kontrakannya dan mengontrak yang baru. Tidak ada yang mengusik kebiasaan Haji Salawar atau Haji Sanaman, atau Haji Kunci ini. Kalau saja ini terjadi satu dua bulan lalu, mungkin kami memberinya nama baru, Haji Pedofelia.

Suatu malam, terjadi lagi kebakaran pasar. Api merambat dari ujung hulu pasar, agak jauh dari tokonya. Ia mengejek pedagang sekitarnya yang berlarian menyelamatkan isi toko masing-masing. Berkata dengan logat asli daerahnya, "Kada bakalan, kada bakalan sampai sini apinya."

Setengah jam kemudian, saat api melahap tokonya, ia hanya bisa berkata, "Takdir... Takdir..."

Sejak malam itu juga, ia mendapat nama baru, Haji Takdir.

***

Haji Pawati, top five keempat. Putri nomor duanya sekelas denganku di SMP. Teman sekelas yang lain melihatku lebih banyak memandang bangku Susi daripada papan tulis, sehingga menggoda dengan "cinta monyet". Membuatku tidak pernah berani berbicara atau bertegur sapa dengan Susi sampai lulus SMP.

Haji Pawati bukan orang yang penuh sensasi. Satu dari sekian manusia pendiam di kampung. Hanya sekali ia membuat sensasi--jika boleh dianggap sebagai sensasi--saat memasang papan neon bertuliskan Xerox di depan tokonya. Semua orang terkagum-kagum melihat papan itu bercahaya di malam hari. Cahaya yang membuat tulisan Xerox di bawah kata Fotocopy itu begitu jelas. Karena tidak ada huruf 'x' dalam kosa kata kami, maka kami membaca Xerox itu sebagai 'kerok'.

***

Panatua Tiwon, top five kelima, diakon gereja. Ia-lah yang mendirikan bioskop pertama di kampung. Kedua sepupuku yang dari kota ngakak saat memandang pasar dari atas perahu. Tulisan "Theater Nusantara" itu begitu jelas dari tengah sungai.

"Hebat sekali kampung kalian ini," kata Ungai, sepupuku sambil berusaha berhenti tertawa.

Aku hanya diam, ingin kutenggelamkan perahu kakek itu supaya mereka juga tenggelam.

Erik, anak keempat Panatua Tiwon juga sekelas denganku di SMP. Ia satu-satunya teman yang tidak pernah menggodaku mengenai cinta monyet itu. Guru Ketrampilan Jasa menyuruh kami menghafal posisi tombol mesin tik. Tidak ada mesin tik sehingga kami belajar mengetik sepuluh jari dengan menghafal gambar tombol-tombol dan istilah seperti gandaran, engkol, Pica dan Elite. Aku malas menulisnya sehingga minta tolong Erik mengkopinya. Besoknya, Erik menolak uang seratus rupiah itu, tetapi aku memaksanya. Sorenya, aku menemukan uangnya ada tasku.

Panatua Tiwon juga tidak banyak membuat sensasi aneh. Kakek bercerita, setiap kebaktian keluarga, Panatua Tiwon selalu membanggakan anak tertuanya yang kuliah atau yang akan ia kuliahkan di Jawa. Membuat kami mengerti mengapa ia memutuskan menghabiskan hartanya untuk membuat kuburannya saja. Anak-anak yang ia banggakan itu mengecewakannya dengan memutuskan pulang saja dan ikut duduk menjaga tokonya.

***

Masih ada satu top five lagi, padahal di atas sudah ada lima. Suka-sukakulah, ini ceritaku.

Dero, top five extra. Rumahnya dekat gereja, tepat di ujung pasar. Setelah kebakaran '96, ia memisahkan diri dari lingkungan pasar. Membangun rumah sekaligus toko agak jauh sedikit, di muara sungai kecil dekat ujung pasar. Sebuah jembatan ulin pribadi menjadi penghubung tokonya dengan kompleks pasar dan sebuah dermaga pribadi menyatu dengan teras tokonya.

Tempatnya strategis untuk menjadi pangkalan minyak, sehingga ia menjadi juragan minyak. Satu-satunya pemasok minyak sampai ke hulu sungai. Sebuah tongkang minyak selalu bersandar di dermaga pribadinya. Bukan hanya itu, sebuah pesawat berpelampung selalu tertambat di lantingnya. Entah bekerja sama dengan siapa, pesawat ini merupakan alat angkut eksekutif kampung. Para top five yang lain pasti mencarter pesawat ini kalau mau ke kota.

Anak-anaknya Dero lalu merasa menjadi anak orang paling kaya di kampung. Anak-anaknya Haji Ibram, Haji Oyong, Haji Pawati hanya memiliki speedboat atau mesin fotocopy. Ayah mereka, Dero, memiliki sebuah pesawat.

***

Itulah top five orang terkaya kampungku. Waktu aku pulang dua tahun lalu, posisi ini tidak banyak berubah, kecuali kisah Dero menjadi mirip sebuah kisah sinetron.

Haji Ibram menjadi tuan tanah, ia tidak hanya membeli toko tetangganya. Tetapi membeli hampir semua tanah yang dijual. Termasuk tanah yang terletak di luar kampung.

Panatua Tiwon, menanti kematian dengan berkonsentrasi pada rumah masa depannya. Karena membeli seng di tokonya untuk atap WC yang sudah bocor, ia malah menyebarkan gosip. Mengatakan kepada semua orang yang berbelanja di tokonya bahwa aku pulang khusus untuk memugar rumah. Padahal aku hanya membeli dua lembar seng.

Haji Oyong, usahanya bertambah. Ia mendirikan sebuah travel. Saat kembali ke kota, aku memakai jasa travelnya ini. Sambil tersenyum pada diriku yang kebetulan duduk di kursi depan, ia mengacungkan tangan minta rokok sama sang sopir.

Haji Salawar, lama sekali tidak ada kabar beritanya. Suatu hari, seorang yang  tidak kami kenal datang, ahli warisnya. Haji Kunci ini ternyata sudah meninggal. Menurut gosip, Haji Sanamanlah yang pertama kali meninggal karena AIDS di kampung kami. Memang takdirnya, kata orang.

Haji Pawati tetap tidak banyak membuat sensasi. Benar-benar sosok pendiam, membuatku kaget ketika ia menyapa dan menanyakan keadaan ayah. Serta bertanya kemana saja aku ini sampai tidak kelihatan bertahun-tahun. Aku sedang menjawabnya ketika Susi keluar sambil menggendong anaknya. Bisa kulihat ia menahan senyum. Masih mengenalku, tentunya. Karena kami sekelas di kelas dua STM. Ia pasti ingat, aku hanya sekali berbicara dengannya waktu itu, saat pulpenku ketinggalan. Padahal kami sekolah di kota, dan tidak ada yang pernah tahu tentang cinta monyet itu.

Dero, menyisakan sebuah cerita tragis. Ia sudah pindah dari kampung. Tinggal di kota, di sebuah rumah reyot sewaan dan istrinya masuk penjara karena masalah narkoba. Kehidupannya berubah total setelah rumah dan toko terpencilnya terbakar. Anak bungsunya lupa mematikan lilin, lalu tidak ada yang bisa memadamkan api yang menjalar ke tongkang minyak di bawah. Dero kecewa karena orang memotong jembatan pribadinya, sehingga hanya tokonya saja yang terbakar. Ia tidak terlalu mendapat simpati, karena dua tahun sebelumnya, saat kebakaran pertama setelah ia memisahkan diri, ada pesta di rumahnya. Pesta dengan memotong dua ekor sapi untuk mensyukuri tokonya yang tidak tersentuh api.

jesusfreaks's picture

MITTAL GW KENAL

MITTAL itu BLASTERAN INDIA + MADURA

hahaha....

 

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS- 

__________________

Jesus Freaks,

"Live X4J, Die As A Martyr"

-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-