Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

RUMAH (yang belum sempat bikin) PINTAR

Evylia Hardy's picture

Rumah kosong di ujung gang itu tampak merana. Tengok saja pagarnya, entah apa warna aslinya. Yang jelas, karat-karat yang bermunculan membentuk pola polkadot yang tak karuan. Kait pagarnya sudah lama tak berfungsi, siapa saja bisa membukanya hanya dengan sedikit mendorongnya.

Bila sore tiba, ada saja anak-anak kecil yang menguakkan pintu pagar itu sekedar untuk mengejar-ngejar seekor kucing atau sebuah layangan putus. Bau kotoran kucing yang menguar dari sela-sela rumput liar membuat mereka tak pernah betah berlama-lama di situ. Aksi dorong-mendorong pun tak terelakkan sementara mereka beradu cepat keluar. Malang bagi yang terjerembab di rerumputan, hampir pasti ia akan pulang berhias 'ranjau'. Dan pintu pagar itu akan dibiarkan terus menganga sampai ada yang cukup peduli untuk menutupnya.

Pernah suatu ketika emperan sempit rumah itu dibersihkan. Banyak yang menduga rumah itu akan segera berpenghuni. Nyatanya 'penghuni'nya adalah seorang penjual 'nasi kucing' yang memanfaatkan rumah itu untuk menggelar dagangannya di kala hari menjelang petang.

Minggu pertama, laris manis bungkus-bungkus nasi minimalis itu diserbu. Porsi nasi, sayur dan lauk yang serba mini mengakibatkan harga jualnya terjangkau oleh warga setempat. Sebagian memanfaatkan tempat itu untuk sekedar minum teh sambil 'kumpul-kumpul'.

Minggu kedua, fungsi untuk tempat berkumpul jauh lebih dominan dibanding sebagai tempat berjualan. Beberapa pembeli yang benar-benar bertujuan menyantap nasinya di situ menjadi tak nyaman karena tak kebagian tempat.

Minggu ketiga, hanya sesekali terlihat ada yang mampir di warung ini. Para pengobrol sudah menemukan tempat baru lagi, sedangkan para pembeli sudah terlanjur malas datang ke situ.

Minggu berikutnya lebih mengenaskan lagi, setiap orang yang lewat akan disuguhi pemandangan berbungkus-bungkus nasi mungil berjejer rapi menanti pembeli. Belum genap dua bulan, sang pedagang mengemasi gerobaknya dan, lagi-lagi, rumah itu merana ditinggalkan sendiri.

* * *

Ada ayunan baru di ujung gang. Kabar itu tersebar cepat melebihi berita virus flu burung yang lagi heboh-hebohnya saat itu. Ibu-ibu muda yang menggendong para balita beradu cepat dengan bocah-bocah yang lebih besar guna menjajal sebuah ayunan besi bercat warna-warni. Pemandangan yang menggelikan sekaligus mengharukan.

Hari-hari berikutnya, ayunan itu tak pernah sepi peminat. Rumah kosong itu ikut gembira, sebab ayunan itu ditaruh di pekarangan sempitnya. Terlebih lagi, sekujur ruangannya mulai dibedaki, meski sebelum itu kulitnya harus digosok-gosok sampai perih dan mengelupas. Betapapun sengsaranya, kepasrahan yang diperlihatkannya setara dengan kesediaan seorang dara yang merelakan wajahnya dipermak habis-habisan sebelum menghadiri sebuah pesta.

Polesan terakhir telah disapukan. Rumah itu menatap sekelilingnya dengan berseri-seri. Ia tak memerlukan cermin untuk berkaca. Kecantikannya jelas terpantul dari tatapan takjub orang-orang yang biasanya enggan meliriknya.
Seolah ingin menyempurnakan penampilan sang idola baru, sang perias menyematkan sebuah bros berbentuk empat persegi di pekarangan kecilnya. RUMAH PINTAR. Demikian bunyi huruf-huruf yang terukir di bros baru itu.

* * *

Jangan-jangan ini halusinasi, batin rumah kosong itu. Segalanya berubah begitu cepat. Ruangan kecilnya kini dijejali perabotan baru. Biarpun tak sebagus milik tetangga, tetap saja ia ternganga-nganga. Sulit diingatnya kapan terakhir kali ia dipercaya menyimpan benda-benda semacam ini.
Sebuah lemari tanpa pintu setinggi satu setengah meter menjadi benda favoritnya. Lemari yang memiliki banyak sekat itu menyimpan benda-benda ajaib yang disebut orang, buku.

Sejak saat itu si rumah mendapat banyak teman baru. Bacah-bocah berseragam putih-merah rajin menyambanginya seusai sekolah. Tak ada yang lebih mengasyikkan selain menonton perdebatan bocah-bocah polos tentang buku mana yang paling bagus menurut mereka.

Sepasang lelaki dan perempuan ditempatkan di rumah itu. Pukul delapan atau setengah sembilan pagi mereka datang. Sang perempuan menyapu lantai ala kadarnya, merapikan buku-buku, lalu duduk menanti kunjungan anak-anak sepulang sekolah. Sementara sang lelaki sibuk mendata warga miskin yang perlu dijatah 'raskin' tiap bulannya. Aaah, terjawablah pertanyaan si rumah mengapa ruang sampingnya dipenuhi karung-karung beras yang membuat tikus-tikus keenakan beranak-pinak di sana.

Tak apa, pikir rumah itu riang. Yang penting, sebentar lagi makin banyak teman yang datang ke sini. Ia mendengar selentingan usul menyelenggarakan 'Paud', juga ajakan seorang mantan guru untuk mengadakan bimbingan belajar di situ.

Tak berapa lama, muncul dua muka baru di rumah itu. Tambahan sepasang lelaki dan perempuan. Waw, sorak rumah itu, sebentar lagi tercapailah angan-angan untuk menjadi RUMAH PINTAR sejati. Terbayang bocah-bocah yang akan memenuhi ruangannya ... betapa mereka akan menjadi semakin cerdas karena jasanya.

Hari-hari bergulir lagi. Rumah itu makin semarak ... oleh obrolan empat penunggunya. Sampai capai rumah itu menanti, tak kunjung tiba tindak lanjutnya. Sementara itu, kunjungan anak-anak tak seramai dulu. Bila semua buku telah dilahap, dengan apa lagi mereka akan dibikin pintar?

* * *

Waktu berlalu. Sebuah motor melintas di depan rumah itu dan berhenti tiba-tiba. Pengendaranya, yang ternyata seorang perempuan, sigap membuka kaca helmnya dan tergesa menghampiri pintu pagar. Matanya nanar menyapu seisi ruangan dengan ganjilnya. Ketika tak didapati apa yang dicari, ia bergegas menghampiri lelaki yang tengah sibuk memberi aba-aba untuk mengatur karung-karung beras.

"Ooo, rumah pintarnya sudah ditutup," sahut si lelaki menjawab pertanyaan yang diajukan.

"Kenapa, Pak?" kejar perempuan itu tanpa mampu menyembunyikan gurat kecewa di wajahnya.

"Pengelolanya korupsi," jelas lelaki itu sambil mengamati si penanya dengan tatapan penuh selidik.

"Situ siapa?" ia balas bertanya.

"Saya warga sekitar sini." Perempuan itu melempar senyum tipis seraya berpamitan. Sebelum menutup kaca helmnya, sekali lagi perempuan itu menyapukan pandangannya ke sekeliling rumah. Sayang sekali. Pupus sudah harapannya untuk berbagi ilmu di rumah itu.

* * *

Gumpalan awan pekat beriring-iringan datang mendekat. Sebuah rumah di ujung gang melempar pandang, tak kuasa menahan iri. Alangkah nikmatnya berkawan akrab, pikirnya getir. Kini yang tersisa padanya hanyalah bertumpuk-tumpuk karung beras, lengkap dengan rombongan tikus yang berisik menggerogoti. Para penunggu rumah lenyap entah ke mana. Tinggal seorang lelaki yang fasih sekali mengomando para tukang becak. Angkat karung ini, taruh di situ. Geser yang ini, ambil yang itu. Hah, membosankan sekali.

Betapa rumah itu merindukan celoteh bocah-bocah yang ribut berebut buku. Atau lantunan 'ngak-ngik-ngok' dari ayunan yang kelebihan beban. Ah, ke manakah perginya semua itu?

"Piin! Kii! Ayo belajar, jangan kelayapan terus!" teriak seorang ibu dari dalam gang. Suara itu segera disusul teriakan ibu-ibu lain yang memanggil anak-anak mereka untuk pulang. Serombongan bocah berlarian sambil bersenda-gurau melintasi rumah itu. Tak satu bocah pun meliriknya. Pekarangannya melompong, tak ada lagi ayunan di sana.

Semestinya, gumam rumah itu dalam hati, sore-sore begini bocah-bocah itu berkumpul di sini. Duduk berdempetan, beralas tikar, mengejar mimpi untuk menjadi lebih pintar. Bukan menekuni PS di gang tetangga, dan baru ingat pulang kalau sudah kehabisan duit.

Rumah itu merenungi pagarnya yang baru tadi pagi dicat lagi. Uh, untuk apa polesan ini. Namun ia mencoba bangkit lagi, siapa tahu setelah ini buku-buku itu akan kembali. Juga si ayunan besi. Seiring jatuhnya malam, rumah itu jatuh terlelap dalam mimpi-mimpi indahnya.

 

(Tepat pada tanggal 1 Mei 2009, RUMAH PINTAR itu resmi dibubarkan. Selanjutnya ia dikenal sebagai 'gudang kecil penyimpan raskin')

 

__________________

eha

iik j's picture

@eha, Rumah pintarku dulu..

Baca cerita Eha, ingat aku dulu ...

Aku duluuuuuuuu banget jaman SD-SMA bikin rumah pintar juga lho di rumahku yang di dusun sana... di pantura. Apalagi dibanding temen2 laen di desaku (selain terkenal aneh dan nakal), aku juga terkenal punya banyak buku (kiriman dari sodara2 di kota besar) dari majalah Si Kuncung, Bobo, Cemerlang, serial 5 Sekawan... komik2 Deni Manusia Ikan, trus buku komik2 laen yang bukunya besar2 itu lho, trus buku2 pengetahuan terbitan Gramedia, sampe Intisari komplit  3 lemari gede.

Dengan pemikiran sederhana aku buat perpustakaan.. aku undang teman2 ku untuk ngumpul sambil baca-baca

Asikk juga sih... seneng ngelihat teman2 pada asik baca.. dan nggak ngelayap wae..

Waktu itu sih, belum ada saingan PS dll, paling saingannya main layangan dan naik kebo di sawah... ha ha ha ha...

Sayangnya, aku waktu itu masih 'moody' banget buat ngelolanya, jadi ... lama2 bubar deh.

Sampe sekarang buku2 itu masih ada, kadang2 keponakan2 yang masih SD itu yang sekarang aku latih baca kalo pas pulkam...

He he he.. aku pengen mereka lebih pintar dari aku... nantinya

cie... cita-cita mulia nie ye...

 

 

 

 

 

passion for Christ, compassion for the lost

Evylia Hardy's picture

moody?

Tiga lemari gede? Kautinggal merantau lalu macam manakah nasib harta karunmu tu? Jangan-jangan wis dirayapi ik .

Kalo iik bikin perpus lalu bubar ... ya maklum aja, wong namanya juga  spontanitas anak sekolah (ternyata bakat EO dah keliatan dari kecil nih). Kalo kasus di atas kan Rumah Pintar-nya dikelola kelurahan, ada kucuran dananya, ada petugas resminya ... nah itu uang rakyat kan terbuang percuma kalau selama setahun cuma jalan di tempat. Malah akhirnya gulung koming tikar sekalian.

Coba kalau dari kemarin2 iik yang ngelola ... pasti jadi ... adudududuh ik! Jangan dicubit ... ampooon ik! Iya, iya, pasti jadi seeeep! He he ....

eha

__________________

eha