Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

SDKG 2 - Anak itu bernama Roi

Purnomo's picture

            Tanggal 27-Maret-2009. Saya harus berhati-hati mengendarai sepeda motor di jalan tepi sungai kecil itu agar tidak terperosok di lobang-lobang yang menghiasinya. Hijau pekat warna air sungai itu dan tampak tidak bergerak. Tetapi bila diperhatikan dengan cermat, permukaannya bergerak perlahan ke arah hulu. Itu tanda gerakan air rob. SD Tabita terletak di tepi sungai ini dan lebih rendah daripada jalan di depannya sehingga sering ketamuan air rob.

            Pengurus beasiswa gereja meminta bantuan saya membayarkan 2 bulan SPP Rp.140.000,- untuk seorang anak bernama Roi. Anak ini tinggal bersama ayahnya karena ibunya telah minggat entah ke mana akibat tak tahan hidup dengan suaminya yang pengangguran. Minggu lalu mendadak ayah Roi meninggal sehingga santunan itu tak ada yang mengambil. Sementara ini Roi dirawat tetangganya.

            Oleh penjaga sekolah saya diberitahu kepsek ada di belakang sedang mengawasi tukang batu membangun kembali tembok pagar sekolah yang roboh. Saya menemui Ibu Kepsek di sana. Saya memperkenalkan nama saya dan memberitahu saya diutus gereja untuk membayar SPP Roi. Begitu mendengar nama gereja saya, langsung tensinya naik.

           “Kebetulan sekali. Tembok belakang sekolah ini roboh gara-gara ditabrak mobil anggota jemaat gereja sampeyan yang tinggal di kampung belakang sekolah ini!” Wuih, galak benar kepsek ini.
            Saya tertawa. “Memang benar di balik tembok ini ada rumah teman saya, Bu. Tetapi dia tidak punya sepeda motor, apalagi mobil. Tembok ini roboh karena setiap hari dikencingi seratus anak.”
           “Kok sampeyan berani-beraninya bilang begitu?”
           “Sekolah dengan 100 anak ini hanya punya 2 kamar toilet. Kalau jam istirahat apa anak-anak bisa menahan pipis antri di depan 2 kamar itu? Selama ini ke mana anak-anak kalau mau kencing? Kalau mereka mengencingi sungai di seberang sekolah, pasti dimarahi penduduk karena akan mempercepat banjir rob. Yang paling aman, ya mengencingi tembok belakang ini.”



           Dia terkekeh. “Tapi bagaimana Bapak tahu WC siswa hanya dua?”
          “Saya diberitahu teman yang kerja di asuransi dan pernah membagikan tas untuk anak-anak di sini. Lalu suatu sore saya ke mari ketika sekolah sudah sepi untuk melihat kondisi WC-nya. Ternyata kalau sedang rob lantainya tergenang air sampai 20 senti. Ya, siapa tahu teman-teman saya bisa membantu meninggikannya.”
          “Sekarang uangnya boleh diberikan kepada saya untuk nombok pembangunan tembok ini,” katanya.
          “Uang yang saya bawa hanya untuk SPP Roi, Bu.”

           Dia mengajak saya duduk di kantornya. Kami duduk di sofa kecil yang entah sudah berapa belas tahun umurnya. Di dinding tertempel white board yang berisi daftar nama guru-gurunya beserta alamat, tanggal lahir dan gelar akademinya serta sebuah white board yang berisi data kelas. Ibu Kepsek dan wakilnya sudah PNS.
           Saya meletakkan kartu SPP Roi di meja beserta uang Rp.140.000,-.
          “Untuk 2 bulan, Bu.”
           Dia mengambil kartu itu dan mencermatinya. “Tujuh puluh ribu? Lho, ini kartu SPP yang lama. Saya sudah memberinya kartu baru karena SPP-nya saya turunkan menjadi Rp.40.000,- Pintar juga bapaknya memalsukan tanda tangan saya dan stempel sekolah ini.“
          “Mengapa diturunkan, Bu?”
          “Ayah Roi ke mari bilang diberi gereja 40 ribu setiap bulan.”
          “Gereja memberinya 50 ribu. Sekarang 70 ribu setelah bapaknya meninggal.”
          “Lima puluh ribu? Lalu yang 10 ribu ke mana?” tanyanya sambil melotot.
          “Ya mana saya tahu? Mungkin buat beli minuman keras.”
          “Saya pernah memanggilnya ke sekolah. Ia datang dalam keadaan mabuk. Saya marahi ia habis-habisan. Bagaimana bisa ia mendidik anaknya kalau pagi hari masih mabuk-mabukan.”

           Setelah membereskan pembayaran Rp.80.000 untuk SPP 2 bulan, saya berpamitan. Waktu berjalan ke tempat parkir saya melintasi 2 kelas yang sedang menyanyikan lagu Sekolah Minggu.


            Tanggal 13-April-2009 saya datang lagi ke SD ini untuk menyetorkan SPP Roi bulan April.
           “Di sini berapa anak yang menunggak SPP sampai 1 tahun, Bu?” saya bertanya.
           “Kalau tak salah ingat ada delapan anak.”
           “Tidak dikeluarkan saja?”

           “Ya jangan kejam begitu. Kalau punya uang tidak mau bayar, baru saya pecat. Tetapi kalau orangtuanya kena pehaka, untuk makan sehari-hari saja sudah susah, apa ya tega? Saya tidak mau percaya begitu saja alasan penunggakan SPP. Saya datangi sendiri rumahnya. Dua anak sudah menunggak hampir 2 tahun. Bapaknya dulu sopir bis sekolah panti asuhan Kristen Hidup Baru. Ia dipecat karena panti melakukan penghematan biaya.”

           “Anak-anak panti yang SD dulu bersekolah di sini. Sekarang tidak. Setiap mereka datang saya tanyai apa sudah sarapan. Kasihan, mereka sering tidak sarapan. Saya belikan nasi bungkus buat mereka. Kalau hari Sabtu mereka puasa seharian.”
           “Karena panti mengadakan acara doa puasa?”
           “Karena panti tidak punya uang!”

            Saya berusaha menyembunyikan keterkejutan saya. Beberapa bulan yang lalu saya merekomendasikan panti ini kepada ketua Komisi Anak sebuah gereja ketika 3 anak asuhnya mendadak yatim piatu karena saya menilai panti inilah yang paling baik. Kalau keuangan panti itu berantakan, mengapa orang-orang Kristen di kota ini tidak mengulurkan tangan? Apa ada sesuatu yang membuat para donatur menyembunyikan dompetnya? Jangan-jangan karena panti ini sekarang sudah menempati gedungnya yang baru dan megah orang-orang berpikir panti ini sudah kaya dan tidak memerlukan uang mereka lagi.

           “Ibu ini Kepsek yang murah hati. Mau-maunya mengurangi gaji untuk memberi sarapan kepada murid-muridnya,” kata saya sementara otak saya menjalankan program kalkulator. Kepsek ini PNS dan hampir pensiun sehingga saya bisa memperkirakan jumlah yang diterimanya setiap bulan. Setiap pagi dia memberi makan 15 anak @ seribu rupiah. Lima belas ribu rupiah dikalikan 26 hari sama dengan 390 ribu rupiah sama dengan 15% dari gajinya. Wow!

            Dia menghela nafas. “Berkat Tuhan cukup bagi saya. Suami saya bekerja. Anak saya satu, perempuan, sudah hampir selesai kuliah. Di gereja, saya juga berusaha membantu anak-anak jemaat yang kesulitan melunasi SPP-nya.”
           “Ibu bergereja di mana?”
            Dia menyebut nama gerejanya.
           “Di gereja Ibu jadi penatua?”
           “Ya, dan ditugaskan untuk mengurusi dana beasiswa gereja. Ada 16 anak yang kami santuni.”

           “Maaf, Bu. Kalau boleh tahu, berapa gaji para guru yang namanya ditulis di white board itu?”
           “Mereka semua S1. Mau tahu gaji bulanannya? Lima ratus ribu rupiah.”
           “Lima ratus ribu???!!”
           “Sampeyan ini kok seperti pengurus yayasan saya. Mereka juga kaget waktu dalam rapat saya beritahu gaji guru-guru saya. Kok lima ratus ribu, tanya mereka.”
           “Seharusnya berapa, Bu?”
           “Seharusnya 250 ribu, seperti di SD-SD lain milik yayasan ini.”

            Saya melongo. Tadi saya kaget bukan karena menilai angka 500 ribu itu terlalu tinggi, tetapi karena terlalu rendah. Saya tidak mau bertanya mengapanya. Itu urusan internal mereka. Bisa saja yayasan menganggap para gurunya yang masih berstatus guru-tidak-tetap sama dengan guru wiyata bakti yang honornya berkisar antara 250 sampai 300 ribu rupiah. Bisa saja para guru juga sudah puas dengan gaji rendah itu karena berharap bisa cepat menjadi CPNS melalui sekolah ini.
            Saya berpamitan. Ibu Kepsek mengantar saya sampai ke tempat parkir.
           “Saya permisi, Bu. Titip salam buat pendeta Ibu, Bapak Tirta. Juga teman penatua Ibu, Bapak Rahman yang istrinya – Ibu Esti – jadi penyanyi orkes campursari gereja Ibu.”
           “Kenal mereka di mana?” tanyanya heran.
           “Ibu masih ingat gereja Ibu pernah bekerjasama dengan gereja saya menyelenggarakan seminar gratis untuk masyarakat sekitarnya dengan topik ‘Mewaspadai anak yang ingin bunuh diri’ yang dilanjutkan dengan kegiatan fogging dan lomba untuk anak-anak? Mungkin saja sebelum ini kita pernah bersama-sama duduk di ruang konsistori gereja Ibu untuk mempersiapkan acara-acara itu.”
           “O, pantas saja kita bisa cepat akrab,” komentarnya diiringi derai tawanya.




            Dia tidak tahu bahwa saya bisa cepat mengakrabinya karena lama sebelumnya saya sudah mengumpulkan banyak informasi mengenai sekolah ini dan kepseknya. Dari pengurus sebuah rumah singgah yang menitipkan anak-anaknya ujian di sini. Dari skripsi seorang mahasiswa teologi yang bercerita tentang sekolah ini dan dedikasi para gurunya. Dari teman yang bekerja di perusahaan asuransi yang memberi tas sekolah kepada seluruh murid dan kemudian mendatangi beberapa rumah siswa untuk menyelidiki apakah sumbangan itu tidak dikorup oleh kepsek dan guru-gurunya.

            Dia tidak tahu selama bercakap-cakap mata saya sering menjelajahi data-data yang terpajang di dinding kantor dan otak saya terus berhitung. Ada tiga masalah di sini. Pertama, anak-anak perlu diringankan SPP-nya karena mereka berasal dari perkampungan marjinal di sekitar sekolah ini. Kedua, kesejahteraan gurunya perlu ditingkatkan. Ketiga, keuangan sekolah tidak cukup untuk merawat bangunannya. Sekolah ini bisa ambruk digerogoti air rob bila tidak ditinggikan. Sementara yayasan kurang memperhatikannya, di sini ada seorang yang mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan. Ia bisa membangun kembali pagar tembok yang roboh karena mengancam pengurus yayasan bila tidak diberi uang untuk membangunnya ia mau pensiun dini.

            Dia tidak tahu saya sedang mencari sebuah SD untuk mewujudkan impian membuat SD Kristen Gratis pertama di kota Semarang. Kalau tidak bisa gratis, setidaknya bebas espepe. Membuat SD Kristen Gratis tidak harus membangun sebuah sekolah, bukan?

            Tetapi untuk membuat strateginya saya perlu waktu karena harus saya kerjakan sendiri. Tidak ada yayasan Kristen yang berminat. Majelis gereja saya juga tidak. Anggota jemaat? Hehehe, mereka bersedia memberikan tenaganya untuk melakukan pekerjaan pelayanan gereja sehari penuh. Mereka mau memberikan waktunya duduk untuk rapat dari sore sampai lewat tengah malam. Tetapi untuk memberi uangnya?

             Sayup saya mendengar tanya dari atas, "Berapa banyak roti yang ada padamu? Cobalah periksa!"

             Tanpa memeriksanya kita sudah tahu ada banyak roti dalam rumah kita. Tetapi itu ‘kan persediaan untuk makan esok hari, bulan depan, tahun depan, windu depan. Kalau diberikan bagaimana kita bisa hidup tentram dengan tabungan yang sedikit? Memang repot menuruti perkataan Tuhan Yesus.

            Ah, sudahlah. Daripada memeriksa dompet orang, aku akan memeriksa dompetku sendiri.

                                                        (22.05.2009)

Catatan:
** semua nama telah disamarkan.
** SDKG – sd kristen gratis

Anak El-Shadday's picture

hmhm.. sabar

seringkali bapak dan ibu saya bilang: koen iku sabar sik po'o..

dari sini saya jadi makin ngerti, setiap perbuatan baik yang didasari niat baik, harus dilakukan dengan cara yang baik pula agar hasilnya baik. ga boleh pake emosi.

pak pur, tulisan anda benar-benar membangun saya.

 

nb: kok bisa ya?? sambil ngobrol dengan bu kepsek, mata njenengan kok "jelalatan" mengumpulkan data-data sekolahan itu, pake kacamata item ya??? hehehe..

 

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

__________________

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

Purnomo's picture

AES, duduk juga ada “tik-tak”nya.

Bila saya berdiri di pintu masuk kantor Kepsek itu, dinding di mana white board itu terpasang ada di sebelah kiri saya, sedangkan bangku sofa ada di sisi kanan saya yang membentuk huruf U dengan sisi terbuka menghadap dinding data itu. Kepsek duduk menghadap jendela. Bila saya duduk membelakangi jendela maka saya akan berposisi frontal dengan beliau. Etika bertamu memang menganjurkan tamu duduk membelakangi jendela atau pintu. Tetapi itu tidak saya lakukan karena:

 

Satu, saya tidak bisa mengawasi sepeda motor saya.

Kedua, dengan posisi frontal mata dua pihak tidak bisa istirahat karena harus terus saling menatap.

 

Karena itu saya mengambil tempat duduk membelakangi dinding kanan sehingga pandangan lurus saya “menabrak” dinding kiri tempat data terpajang dan wajah samping kiri Kepsek menghadap mata saya. Bila Kepsek mau menatap saya, dia harus menengok ke kiri. Sedangkan saya tidak perlu menengok untuk mengamati ungkapan emosi di wajahnya.

 

Posisi duduk saya seperti itu bisa Anda tiru pada waktu pertama kalinya bertamu di rumah seorang gadis. Jangan lupa, tujuan pertamanya untuk mengawasi kendaraan kita. ‘Kan menyedihkan bila pedekate pertama kehilangan sepeda motor.

 

Posisi duduk berdampingan, lebih dianjurkan dalam acara saling curhat. Dengan posisi ini salah satu pihak, atau kedua belah pihak, bisa menangis tanpa malu dilihat oleh orang di sampingnya. Lagipula, lebih mudah memegang tangannya atau menepuk-nepuk pundaknya.

 

Tetapi bila Anda menghadap boss, posisi duduk frontal tidak bisa dihindarkan.

 

Salam.

 

Evylia Hardy's picture

ilmunya itu lho, Pak

Senyum-senyum sendiri membaca tiktak Pak Pur benar-benar tak terhindarkan. He he, penuh perhitungan dalam arti yang sebenar-benarnya. Apakah ini ilmu sales tingkat tinggi, Pak?

Eha

__________________

eha

bygrace's picture

Kata-kata yang menusuk

Pak Pur, mungkin Anda menuliskan kata-kata ini seperti sambil lalu :

.... Tanpa memeriksanya kita sudah tahu ada banyak roti dalam rumah kita. Tetapi itu ‘kan persediaan untuk makan esok hari, bulan depan, tahun depan, windu depan. Kalau diberikan bagaimana kita bisa hidup tentram dengan tabungan yang sedikit? Memang repot menuruti perkataan Tuhan Yesus.

Tapi, ketika selesai membacanya saya tak bisa melupakannya. Entah mengapa, sesuatu di dalam diri saya terasa tertusuk. Terimakasih telah mengingatkan apa yang sebenarnya masih bisa saya lakukan, bahkan dalam keterbatasan sekalipun.

Purnomo's picture

Grace is the simple word with many beautiful meaning.

Saya selalu menghindari menulis impromptu karena belum ahli, walaupun sekedar untuk sebuah komen atau menjawab sebuah komen. Saya tidak menulis kalimat di atas sambil lalu, seperti juga yang saya yakini ketika Anda memilih nickname “bygrace”.

 

          Grace, kasih karunia, sebuah kata yang sederhana tetapi mengandung makna yang dalam bagi kita orang Kristen. Dari kata ini bermunculan kata-kata lain yang menjelaskan kedalaman kata ‘grace’.

 

          Say grace, adalah doa makan yang mensyukuri makanan kita sehari-hari sebagai berkat dari Tuhan. Graceful, kata yang kita pergunakan bila merasa berterima kasih atas kebaikan seseorang. Gracious untuk keramahan dan kedermawanan. Gratuity adalah tips yang kita letakkan di meja bila pelayanan seorang pelayan rumah makan memuaskan kita.

 

         Grace notes adalah nada-nada yang ditambahkan kepada sebuah lagu, walaupun tidak esensial bagi melodinya, nada-nada ini menambah keindahan lagu. Grace notes bersifat gratuitous – bonus gratis. Tetapi tanpa nada-nada ini lagu itu berkurang keindahannya dan bisa membuat orang enggan untuk mendengarnya. Dan komentar Anda adalah bagai ‘grace notes’ bagi artikel saya.

 

Karena itu bukanlah sebuah basa basi bila saya mengucapkan terima kasih atas komentar ‘bygrace’ di atas.

 

Salam.