Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sekarang Ia Mumu

y-control's picture
Aku melihatnya pertama kali di ruang kuliah. Hanya melihat posturnya dari belakang. Rambut kumal, sebagian beruban, dengan tubuh gemuk pendek. Mata kuliah yang berlangsung saat itu adalah Pendidikan Agama Kristen. Beberapa orang di ruang itu tertawa kecil dan segera menengok kanan kiri saat dosen mengabsen dan memanggil, “Muhammad Muhaimin Syamsudin.” Aku juga ikut penasaran, hanya saja ia mengacungkan tangan dengan sangat cepat. Aku pun tidak berhasil menemukan pemilik nama itu. Nama itu memang sempat kudengar dibacakan saat pertemuan pertama dengan dosen wali. Tapi ia tidak datang waktu itu. Baru ketika siang seusai kelas perkenalan Pelajaran Agama itu, aku mendengar seorang teman membicarakan tentang dia. “Yang ubanan kayak orang tua itu lho, tapi memang sudah tua juga sih dia…”

Aku kemudian benar-benar mengenal Muhaimin. Terutama karena nomor absennya hanya selisih beberapa nomor denganku, otomatis semester pertama itu kami sering satu kelas. Lagipula, karena mahasiswa pria di jurusanku merupakan minoritas, tidak mungkin juga kami tak saling mengenal. Sebagaimana teman-teman yang lain, semula aku juga memanggilnya dengan “Muhaimin”. Nama yang terlalu panjang untuk diucapkan, membuat bibir bawah capek, padahal banyak orang sudah sering mengeluhkan pelafalanku yang kurang jelas atau suara yang kurang keras saat bicara. Di tengah kampus yang kebanyakan mahasiswanya memiliki nama kebarat-baratan seperti Carol, Gary, Nadya, Anne, kekristen-kristenan (Andreas, Magdalena, Yohanes), ketionghoa-tionghoan (Cun Cun, Siang Siang, Djen Sing), kejawa-jawaan (Dwi, Ayu, Bayu), maupun yang berbau Belanda (Djohan, Arie) nama berbau Arab seperti Muhaimin memang menjadi janggal. Ini diperparah karena ketiga kata pada namanya juga seperti itu. Beberapa teman kadang memelesetkan dengan memanggilnya “hei, my man!” dengan gaya seperti rapper di TV. Yang lain lagi memanggil dengan Pak Min, mengingat penampilannya yang memang kebapakan.

Tapi, Muhaimin ternyata sudah memiliki nama panggilan sendiri di lingkungannya. Tetangga, juga pacar yang kemudian menjadi istrinya memanggil dia dengan sebutan “Imin” atau “Emen” dengan beberapa imbuhan seperti “Mas” atau “Cak”. Jadi, setelah mulai sering main ke gang sempit di daerah Wonokromo yang kebanyakan dihuni mahasiswa IAIN Sunan Ampel dan warga NU itu, aku pun ikut memanggilnya “Emen.” Nama itu tentu mengingatkan pada sebuah lagu tahun 90an dengan judul sama. Emen sendiri sangat ingat dengan lagu tentang keluhan seorang kekasih yang ingin bunuh diri karena ditinggal pacarnya. Tapi ia tidak suka kalau ada yang menyanyikan lagu itu untuk mengoloknya. Namun dalam hati, aku curiga kalau dulu ia memang mengambil namanya dari lagu yang dipopulerkan oleh (kalau tidak salah) Mel Shandy itu.

Di Surabaya, Emen adalah seorang perantauan. Bersama beberapa teman satu almamater di IAIN Sunan Ampel, ia tinggal di sebuah rumah kontrakan yang ia namai Jewel atau JWL singkatan Jemur Wonosari Eleven. Mengapa ia bisa sampai kuliah bersamaku di Petra, sebuah kampus swasta berlabel Kristen? Ternyata ia mendapat beasiswa dari dekanku waktu itu, Anita Lie, yang pernah bekerja sama dengan Emen di beberapa proyek. Seringnya kami bersama di kelas juga membuat kami sering bekerja sama dalam membuat tugas, kelompok, dan sebagainya. Emen tidak hanya menonjol karena namanya. Bukan juga sekadar karena penampilannya masih belum bisa lepas dari gaya aktivis PMII atau kader Nahdliyin yang kurang rapi dan tidak suka bersepatu. Juga tidak hanya karena uban yang membuatnya tampak tua, lebih tua dari usianya yang 4 tahun di atasku. Emen juga menonjol karena pengetahuannya yang dibalut pengalaman plus banyak bacaan. Saat bicara, gaya dan sikap tubuhnya santai tapi matanya selalu menatap tajam. Pada awalnya, kebanyakan mahasiswa, termasuk aku, menganggap cara bicara Emen aneh. Bahasa dan istilah yang ia pakai kadang sulit dimengerti. Tapi lama kelamaan, keanehan itu tidak begitu sering kurasakan lagi. Atau mungkin juga karena makin lama bersama membuat kami bisa bicara tentang hal-hal yang tidak serius dengan bahasa yang sama. Bicara tentang makanan, cewek, keluarga, dan tentunya bergosip.

Awakmu gak onok acara? Nyore tah?” kata Emen sambil tersenyum. Nyore adalah salah satu dari banyak istilah ciptaannya. Nyore sendiri artinya duduk-duduk di warteg sekitar jam maghrib, memesan kopi tubruk sambil makan gorengan, merokok, dan mengobrol. Aku dan Emen memang makin akrab setelah sama-sama ada dalam satu komunitas atau sebut saja lingkaran teman. Komunitas itu disebut dan dinamai Komunitas Bawah Tangga atau Kelompok Studi Selasar (Kesasar) berdasar nama daerah yang sering dijadikan tempat nongkrong di kampus. Kegiatannya macam-macam, mulai dari ngobrol dan bergosip tadi, main, makan, ngopi, minum, berbagi rokok, pinjam meminjam buku, kaset atau film, menonton pertunjukan musik, teater, atau bokep, belajar bersama, sampai tampil mengadakan diskusi, menerbitkan jurnal sastra berkala, lokakarya cetak sablon, membuat serta menyebarkan selebaran berisi opini atas peristiwa terkini, mengadakan acara bersama komunitas atau perkumpulan lain dari dalam dan luar Surabaya, dan banyak lagi.

Keberadaan Emen bisa dikatakan sebagai salah satu yang cukup memengaruhi komunitas itu. Sebagaimana di kampungnya, Emen juga termasuk salah satu yang dituakan di antara kami. Terlebih waktu itu, NU selalu dibicarakan menyusul terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Sebagai mantan santri, sangat menarik mendengarkan ceritanya tentang seluk beluk kehidupan warga NU. Sebaliknya, ia juga tertarik dengan cerita tentang kehidupan komunitas yang lebih kosmopolit seperti komunitas musik, film, dan majalah indie, anak punk, dll. di mana beberapa dari kami terlibat di dalamnya. Salah satu cerita yang juga sering ia ceritakan adalah tentang folklore atau mitos-mitos kepercayaan kaum tradisionalis. Setelah bercerita panjang lebar dan didengarkan dengan serius, ia mengakhiri dengan ucapan “ngono iku jare wong-wong tuo (begitulah konon kata orang-orang tua).” Akhir seperti itu biasanya akan disambut tawa setengah protes. Sudah didengarkan ternyata sumbernya tidak kredibel. Namun, kami semua toh suka mendengarkan cerita macam itu.

Menyewa kos sekitar 150 meter dari kampus membuat kamarku sering dijadikan tempat transit teman-teman. Emen adalah yang paling sering tidur siang di kosku. Di lain hari, ia kadang juga meminjam sepeda motor. Sekali waktu untuk keperluan mengantar istrinya yang hamil. Di lain waktu, untuk pergi ke kota-kota di sekitar Surabaya seperti Lamongan, Gresik, Sidoarjo, dsb. “Urusan umat” katanya, umat adalah istilahnya untuk warga NU atau untuk para mahasiswa IAIN tetangganya. Sekitar tahun 2003-2004, kesibukan Emen sebagai wartawan sebuah majalah Nahdatul Ulama makin meningkat, membuatnya sering bepergian, terlebih saat menjelang Pemilu. Sementara itu, aku juga beberapa kali meminjam komputernya sekaligus berkonsultasi untuk mengerjakan skripsi karena waktu itu aku belum berkomputer. Ketika mendapat rezeki, ia juga sering mentraktir terutama “bebek kali” yaitu warung bebek goreng bumbu Surabaya di pinggir selokan besar jalan Jemur Wonosari. Setelah anaknya lahir, ia selalu mengundang aku dan beberapa teman dekat untuk datang ke rumahnya guna menghadiri acara slametan sederhana yang diselenggarakan cukup sering karena mengikuti tata cara Jawa sekaligus Islam. Ia bilang yang menyelenggarakan itu sebenarnya tetangganya, sepasang bapak ibu tua yang sudah mengganggap Emen dan istri seperti anak sendiri. Karena aku dan 4-5 teman yang diundang kebanyakan non-muslim, ia bilang kalau kami bisa datang sekitar satu jam atau lebih dari jadwal, sesudah acara doa-doanya selesai.

“Wah, hebat… sudah diterima di British Council nih” seru seorang tetangganya mengomentari Emen yang waktu itu tampak sumringah dan berpakaian rapi. Beberapa waktu menjelang yudisium, Emen memang jarang muncul. Kalaupun muncul, ia juga jarang terlihat pergi dengan pakaian awut-awutan. Bahkan, ia kemudian juga mengajakku membeli sepatu. Rupanya, ia akan mendapat beasiswa dari NU untuk kuliah S2 di Amerika. Ia memang sempat beberapa minggu di Amerika, mengikuti beberapa acara, tapi rencana kuliah di Ohio University itu rupanya gagal. Meski bukan kali pertama ia terpaksa menelan kekecewaan dan kegagalan, mungkin kali ini agar tidak mengecewakan, Emen sengaja diam-diam saat melamar ke BC. Tahu-tahu saja dia menunjukkan surat kontrak kerjanya dan akan segera berangkat bekerja di Jakarta segera setelah wisuda.

Karena beberapa bulan setelah wisuda aku juga pindah dari Surabaya. Kontak kami pun lebih lewat media. Awalnya, lewat e-mail ia sering mengirimkan informasi lowongan yang ‘seram-seram’; bekerja di PBB, proyek-proyek NGO asing. Karier yang meski bergengsi tapi tak terbayangkan akan bisa didapat seorang fresh graduate macam diriku waktu itu (bahkan sampai sekarang). Setelah itu, komunikasi hanya kadang lewat SMS atau telepon, biasanya sekadar tanya kabar atau menggosipkan teman-teman. Di British Council, Emen memang mendapatkan karier yang menjadi impian banyak di antara kami. Gaji besar, sering jalan-jalan ke luar negeri, acara-acara menarik, institusi bergengsi, dll. Setelah ia di Jakarta, beberapa kali kami sempat bertemu. Di Solo maupun Jogja. Aku juga sempat dua kali menginap, satu di tempat kosnya satu di rumah temannya ketika aku mengikuti seleksi lamaran kerja di Jakarta. Penampilan Emen kini menjadi bersih, rambut-rambut di wajah selalu ia cukur, demikian juga potongan rambut beruban agak gondrong itu kini selalu terpangkas rapi. Perutnya tetap buncit, dan lehernya kini hampir tidak terlihat. Ia juga memiliki hobi baru, memotret. Beberapa kali bertemu dengannya, ia selalu membawa kamera canggih dengan teropong lensa yang panjang, serta tak lupa selalu membawa tripod.

“Sudah lama kenal Mumu?” tanya seorang teman Emen, sesama penghobi fotografi, waktu ia ke Jogja. Dalam hati aku termangu. Mumu? Sebelum ini, Mumu yang aku kenal hanyalah seorang teman di Jogja bernama asli Mualimin. Aku rasa nama itu mungkin pemberian teman-temannya di Jakarta. Tapi, aku merasa tidak perlu menanyakan itu pada Emen alias Mumu. Aku hanya membatin, kenapa di Surabaya tidak ada yang berpikir untuk memanggilnya Mumu? “Yak opo ceritane isok ngono. Yowis mene aku nok Nyogja, cerito pas ketemu nok kono…” (Gimana ceritanya sampai bisa begitu? Ya sudah, besok aku ke Jogja, ceritakan saja waktu bertemu”). Demikian kata-kata Emen yang terakhir, bahasa Jawa dialek Suroboyoannya selalu ia pakai saat bicara denganku, meski kadang terselip bahasa Indonesia ala anak Jakarta. Sekitar seminggu lalu ia menelepon setelah mendengar kabar terbaruku saat ini. Tapi, esok harinya ia tidak menghubungi lagi, mungkin batal ke Jogja. Memang itu sering terjadi.

Anak El-Shadday's picture

tulisan bagus lagi..;

hmm menarik karena ada 2 latar belakang yang diceritakan. menarik lagi karena aku berasal dari salah satu latar belakang itu dan sekarang hijarah ke latar belakang yang lain. tak kiro mung cah solo, jogja and jakarta wae. ternyata onok arek suroboyo tho? hehehehe.. met kenal mas Y but the one who endure to the end, he shall be saved.....
__________________

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

y-control's picture

mantan

sudah bukan arek suroboyo, tapi belum tau besok2 lagi.. met kenal juga mas anak :P
Bayu Probo's picture

he he he he

piye kabarmu? thanks sharingmu