Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

X and Y

y-control's picture

Ini tidak akan membahas album Coldplay. Saya hanya selalu ingat dengan apa yang diistilahkan dengan gen X ini setiap mendengar atau melihat video 1979 atau lagu-lagu Pumpkins serta band-band era grunge sejenisnya. Konon batas akhir dari golongan itu adalah sampai pada mereka yang lahir tahun 1981. Berarti disini saya termasuk sisa-sisanya.

Generasi X, generasi yang hilang, yang bingung, anak kandung zaman modern, mereka yang sebenarnya sejak muda telah sadar dan mengerti bahwa lingkungan dan kehidupan di sekitar mereka sedang semakin terkikis oleh kuasa-kuasa para pemilik modal namun demikian mereka tetap rajin menonton MTV dan menikmati budaya yang ada di hadapannya. Sebagai sekedar sisa, jika menghitung umur saya sekarang, generasi itu mestinya telah berada atau sedang berada di puncak tahap kematangannya. Kebanyakan telah menentukan pilihannya. Beberapa sudah terkenal karena melawan, namun tak sedikit juga yang malah menjadi penerus era cuci otak dan penghisapan yang kini semakin kejam dan makin cerdik dalam melangkah.

Lupakan generasi X itu. Mari lihat penggantinya. Saya tak tahu siapa yang menamainya tapi yang jelas dimana-mana kita bisa lihat kini sepak terjang para generasi Y! Generasi Y, dalam pelafalan bahasa Inggris sama dengan 'why'. Dulu sempat dilecehkan generasi sebelumnya sebagai generasi yang lebih nyaman, lebih rapi, lebih artifisial, ahistoris, bahkan apolitis. Mungkin itu ketika mereka masih berusia 15-17an tahun. Kini sudah bisa dilihat bahwa hal semua tuduhan itu tidak tepat lagi.

Betapa ketika melihat anak-anak muda seperti Astrid Reza (On-Off), Stefani Hid (penulis), Dina Dellyana (Homogenic), Eric Wiryanata (DeathRockStar) dan banyak lagi. Perbedaan yang bisa saya tangkap malah mereka-mereka ini melompat jauh lebih maju dari generasi sebelumnya. Benar, kehidupan mereka mungkin lebih nyaman, namun itu juga bisa membawa dampak bahwa mereka lebih berpendidikan. Memang ada juga (dan selalu ada) yang terperosok menjadi seperti Agnes Monica. Artifisial? Bukankah semuanya pun demikian? Dan saya rasa itu masih lebih baik daripada mereka yang dulu mengolok-olok tapi sekarang malah menjadi kolaborator musuh sendiri. Tuduhan apolitis bahkan sepertinya juga sudah mentah sendiri kalau kita lihat betapa pesat mereka berkarya dalam usia semuda itu. Progresifnya indie scenes, vokalnya suara zine, betapa cantik, keren dan sophisticatednya wajah-wajah anggota komunitas Buma yang saya lihat di koran dulu, yah mereka adalah anak-anak muda yang kreatif dan pemberani tanpa meninggalkan gaya-gaya khas kemudaan mereka.

Apakah sejarah berulang? Mungkin iya, dan semoga menuju ke arah yang lebih baik. Bagaimana dengan tuduhan ahistoris? Anak kandung posmodernisme dan budaya konsumtif? Saya tak tahu, rasanya lebih bijaksana kalau semuanya menunggu, yang jelas sejauh ini terus terang saya malu, senang campur iri. Tapi saya tak sendiri, dalam pengantarnya di edisi baru 'Orang-orang Bloomington' yang sampulnya abu-abu itu, Budidarma yang sudah tua itu pun mengakui dan menggambarkannya dengan baik. Sayapun sudah begitu senang membayangkan bagaimana para penulis muda itu bergoyang diantara musik berdentum dan lampu disko. Kreatif namun tetap funky.

(mungkin akan disambung..:-)

Indonesia-saram's picture

Jangan Lupa...

Sekarang memang posmodern. Dan jangan lupa, semuanya tak lain dari sebuah pembongkaran makna lama, pembentukan makna baru, dan pembongkaran makna yang baru dibentuk, dan seterusnya. Istilah kerennya dekonstruksi. (Gara-gara si Derrida, nih!) Ada yang meniru, ada yang sekadar ingin ekspresif, ada juga yang planga-plongo.

"Karena bahasa Indonesia dahulu adalah lingua franca"

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.